HUKUM  

Elemen Masyarakat Sipil Surabaya Menolak Pengesahan RUU Penyiaran

Surabaya, jurnal9.tv – Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran terus mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Di Surabaya, kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari jurnalis, mahasiswa, konten kreator, seniman, dan aktivis hak asasi manusia menggelar konsolidasi pada Selasa (21/5/2024).

Eben Haezer, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, mengungkapkan bahwa konsolidasi ini digagas oleh Komite Advokasi Jurnalis Jawa Timur yang terdiri dari AJI, Kontras, dan LBH Lentera. Tujuan konsolidasi ini adalah untuk menggali masukan dan respons dari berbagai elemen terkait RUU Penyiaran.

“Kami ingin menggali masukan dan pendapat mereka terkait RUU Penyiaran. Dalam diskusi kali ini, kami sepakat bahwa ada prosedur yang salah dalam pembentukan RUU Penyiaran,” kata Eben, Rabu (22/5/2024).

Eben menyoroti sejumlah pasal dalam RUU Penyiaran yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip kemerdekaan pers. Salah satunya adalah Pasal 50b ayat 2c yang melarang penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi.

“Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” ujarnya. Eben menjelaskan bahwa UU Pers 40 Tahun 1999 melindungi kerja pers, sehingga RUU Penyiaran ini bertentangan dengan undang-undang tersebut.

Larangan penayangan produk jurnalisme investigasi dinilai dapat membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi. “Ini melanggar kepentingan publik, karena hak publik untuk tahu adalah hak asasi manusia. Tugas ini dititipkan kepada jurnalis,” tegasnya.

Meski tegas menolak RUU Penyiaran, Eben mengakui bahwa UU Penyiaran Nomor 23 Tahun 2002 juga memiliki masalah. Namun, ia menekankan pentingnya kajian ulang yang melibatkan partisipasi publik yang bermakna.

“DPR RI harus lebih transparan dalam merancang RUU Penyiaran dan melibatkan publik sebelum penyusunannya. Harus kembali ke awal, transparan dalam merumuskan pasal-pasal, dan melibatkan publik untuk menghindari pasal yang berpotensi melanggar kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi,” tuturnya.

Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Surabaya, Falentinus Hartayan, yang juga hadir dalam konsolidasi itu, menilai RUU Penyiaran sebaiknya tidak terburu-buru disahkan karena banyak pasal kontroversial dan bermasalah.

“Jangan terburu-buru RUU Penyiaran ini menjadi undang-undang, karena ada banyak pasal yang kontroversial,” kata Falen.

Ia menyoroti potensi tumpang tindih fungsi dalam RUU ini, terutama pada Pasal 42 ayat 2 yang memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik penyiaran.

“Di pasal itu KPI bisa menangani sengketa, padahal fungsi menyelesaikan sengketa pers adalah tugas Dewan Pers menurut UU 40 tahun 1999 tentang Pers. Jadi ada tumpang tindih,” jelasnya.

Fathul Khoir, Koordinator Kontras Surabaya, menambahkan bahwa RUU ini memiliki indikasi untuk membungkam demokrasi dan kebebasan berekspresi. “Dalam diskusi tadi, ada indikasi bahwa RUU ini bisa membungkam demokrasi dan kebebasan berekspresi,” ujarnya.

Menurut Fathul, aturan yang sangat normatif dalam RUU ini berpotensi digunakan sebagai alat sensor oleh pihak berwenang terhadap lembaga penyiaran atau konten digital.

Untuk diketahui, elemen masyarakat yang hadir dalam konsolidasi di Surabaya pada Selasa malam lalu, antara lain AJI Surabaya, IJTI Korda Surabaya, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Kontras Surabaya, LBH Lentera, LBH Surabaya, Aksi Kamisan, dan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI).