OPINI  

Dari Misykat hingga Sunting: Nihilnya Narasi Ke-NU-an di Pameran Museum Nasional

Oleh: Ayung Notonegoro, Founder 'Komunitas Pegon'

Gambar: Siti Walidah dan narasi Aisiyah, organ perempuan Muhammadiyah, dalam pameran Sunting di Museum Nasional (dok. Ayung)

Sesampainya di Museum Nasional di Jakarta, saya langsung bergegas menuju ruang pamer temporal. Pada April ini hingga pertengahan Mei nanti, Kementerian Kebudayaan sedang menyelenggarakan sejumlah pameran. Di antaranya bertajuk “Misykat: Cahaya Peradaban Islam”.

Pameran yang dibuka oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada 17 April lalu itu, menampilkan 300-an artefak yang menggambarkan perjalanan Islam di Nusantara. Narasi besarnya mengungkapkan tentang Islam telah masuk ke Nusantara sejak abad pertama hijriyah. Hal ini didasarkan pada sejumlah hasil riset di Situs Bukit Bongal, Sumatera Utara. Utamanya atas temuin sejumlah koin Islam dari Dinasti Umayyah dan Abbasiyah.

Namun, yang membuat saya mengernyitkan dahi, adalah konten di ujung pameran; Pers Islam Abad ke-19 dan 20 M. Sang kurator, Prof. Ichwan Azhari, memberikan satu etalase di sisi luar pameran. Menampilkan sejumlah majalah keislaman yang pernah terbit di Indonesia. Seperti Medan Moeslimin, Pantjaran Amal, Islam Berdjuang, Soeara M.I.A.I, Suara Muhammadijah dan Gema Islam.

“Mana Swara Nahdlatoel Oelama, mana Berita Nahdlatoel Oelama?” tanyaku dalam hati.

Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) merupakan majalah resmi yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (dulu dikenal dengan sebutan Hofdbestuur Nahdlatoel Oelama/ HBNO). Majalah berbahasa Jawa dan beraksara Pegon itu, pertama kali terbit pada 1 Muharam 1347 H (Juli 1927). Meskipun hanya majalah organisasi, tapi SNO memiliki peran penting dalam memperkuat Islam di Indonesia.

Jika boleh disebut, SNO banyak mengadvokasi tentang perjalanan haji umat Islam di Indonesia kala itu. Rajin mengabarkan tentang “Khabar Mekkah” guna memberikan informasi bagi para calon jama’ah haji ataupun bagi keluarga yang sedang ditinggal melaksanakan rukun Islam kelima tersebut. Sebut saja edisi Nomor 12 Tahun I, Dzulhijah 1347 H yang menceritakan secara detail utusan Nahdlatul Ulama menemui Raja Ibnu Saud kala itu untuk meminta pelayanan haji yang prima serta penetapan berbagai tarif yang paten agar para jamaah haji tak diakali calo.

Selain itu, ketika krisis global malaise berdampak pula ke Indonesia pada dekade 30-an, SNO menyuarakan gagasan-gagasan penting untuk membangun ekonomi umat. Di antaranya dengan mempromosikan pendirian koperasi hingga berupaya menjajaki perdagangan dengan Jepang.

SNO yang berhenti terbit pada 1935 dan kemudian rebranding menjadi Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) dengan berbahasa Indonesia, beraksara latin dan terbit setengah bulan sekali itu, juga tak kalah pentingnya dalam membangun peradaban Islam Indonesia. Majalah sarat memberitakan tentang dukungannya terhadap perjuangan bangsa Palestina menghadapi Israel. Ada banyak artikel dan seruan, seperti ajakan berdonasi hingga memanjat doa qunut nazilah, untuk mendukung Palestina. Di kala Indonesia saat itu masih berada di bawah kolonialisme pula.

Di majalah yang dipimpin oleh KH. Machfoedz Shiddiq ini juga menjadi ruang dialektika para tokoh bangsa. Seruan M. Yamin tentang Indonesia Berparlemen bersautan dengan artikel-artikel Dokter Soetomo. Gagasan-gagasan Soekarno tentang api Islam juga di-challange oleh Kiai Machfoedz (Ketua Umum HBNO 1937 – 1942) di majalah tersebut. Begitu pula gagasan-gagasan kebudayaannya Sanoesi Pane hingga Sutan Takdir Alisjahban juga didebat sedemikian rupa oleh tulisan-tulisan KH. Muhammad Dachlan (Menteri Agama RI 1967-1971). Semuanya tersaji di BNO dalam berbagai terbitannya.

“Apakah sang kurator tak tahu atau tak mau tahu?”

Tak sebatas itu. Ketika bergeser ke ruang pameran yang lain, kecenderungan menafikan kesejarahan Nahdlatul Ulama dalam panggung historiografi nasional juga kembali tampak. Kali ini, di pameran yang bertajuk “Sunting: Jejak Perempuan Indonesia Penggerak Perubahan” yang juga diresmikan oleh Menteri Fadli Zon pada Hari Kartini lalu (21/4/2025).

Narasi perjuangan perempuan dari masa Ratu Shima hingga era masa kini itu, lagi-lagi tak menyertakan sedikitpun kiprah tokoh-tokoh perempuan Nahdliyin. Sebut saja misalnya Nyai Djoeasih. Ia adalah pelopor Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM). Menjadi perempuan pertama yang berbicara di sidang Muktamar ke-XIII NU di Menes, Banten pada 1938. Perempuan asal Bandung itu, menjadi pelopor dalam gerakan perempuan di NU yang hari ini menjelma menjadi organisasi Muslimat NU, sebuah organisasi keperempuanan terbesar di Indonesia.

Selain itu, bisa juga memotret upaya NU dalam mengembangkan Madrasah Banat, sekolah dasar bagi kaum perempuan. Sebuah ikhtiar yang tidak mudah. Di tengah anggapan sebagian kalangan agamawan yang tak memberikan akses pendidikan bagi kaum perempuan, sejumlah kiai-kiai NU mendorong untuk merintis sekolah perempuan.

Setidaknya sampai tahun 1936, NU telah mendirikan 127 madrasah banat dengan ribuan murid perempuannya. Tersebar dari Pandeglang hingga Madura. Bahkan, meluas hingga ke Sumatera (Baca Verslag Muktamar XI NU di Banjarmasin pada 1936 dalam BNO, No. 18-19 Tahun V, 1 Juli 1936). Seiring waktu, Madrasah Banat terus berkembang dan melahirkan ribuan generasi perempuan Indonesia yang terpelajar.

Hilangnya narasi ke-NU-an dalam sejumlah pameran yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan ini, tak bisa dianggap kelalaian sederhana. Apalagi di tengah upaya Kementerian tersebut untuk menyusun ulang narasi Sejarah Nasional Indonesia. Ini merupakan alarm. Tanda bahaya. Jangan sampai terulang kembali sirnanya kesejarah perjuangan Nahdlatul Ulama dalam narasi besar kesejarahan Republik Indonesia.

Harus ada perhatian serius. Tak semata hanya menggerutu. Namun, bagaimana memperkuat upaya internal untuk menyusun historiografi Nahdlatul Ulama sendiri. Dengan memperkuat basis legitimasi intelektual pada narasi kesajarahan NU, akan lebih kuat untuk berkontribusi dalam narasi kesejarahan bangsa yang disusun oleh piranti negara.

Kesadaran akan sejarah ini, memang tak lekas memberikan kesejahteraan. Namun, mengabaikan sejarah hanya akan menggiring suatu bangsa pada kepandiran. Dengan belajar sejarahlah kita akan mengetahui apa yang harus dilakukan dalam menghadapi masa depan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Rais Akbar Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari, dalam Muqadimah Qonun Asasi:

“Barangsiapa belajar pada sejarah dan meneliti keadaan umat dari masa ke masa akan melihat penyebab kejayaannya.”

*) Oleh: Ayung Notonegoro, Founder ‘Komunitas Pegon’, meneliti, mendokumentasi dan mempublikasi khazanah kesejarahan Islam-Pesantren dan NU