Di hati orang Jawa, malam Satu Suro memiliki makna tersendiri. Tidak saja masa transisi dari penanggalan lama ke baru, Ia juga sebagai masa yang dianggap malam yang sarat dengan energi magis dan spiritual oleh masyarakat Jawa. Dipercaya malam itu, pintu-pintu alam gaib terbuka lebar, dan roh-roh nenek moyang turun ke dunia untuk memberikan berkah dan perlindungan.
Penanggalan Jawa ini adalah kreasi dari seorang santri yang jadi Raja Agung di Mataram ketiga, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Ia juga pengamal thoriqoh yang bijaksana. Serat Sastra Gendhing tulisannya yang berisi ajaran spiritual, yang menunjukkan kecintaannya pada dunia tasawuf. Kebijaksanaan tersebutlah yang mampu menyatukan penanggalan yang beragam saat itu. Dari situ saja, bisa dirasakan keyakinan akan waktu (zaman) disatukan, yang kemudian menjadi keyakinan bersama. Sejak saat itu, malam satu suro adalah hari laku spiritual bagi orang jawa.
Salah satu laku spiritual yang dilakukan orang Jawa pada malam itu adalah jamasan (siraman) pusaka. Satu proses ritual pembersihan benda-benda pusaka peninggalan leluhur seperti keris, tombak, dan lain-lain. Tradisi ini tidak hanya sekadar membersihkan benda fisik belaka, tetapi juga mengandung makna spiritual yang mendalam sebagai penghormatan kepada nenek moyang atas peninggalannya (warisan budaya luhur).
Tidak semata tradisi, pun jamasan adalah praktek pelestarian nilai-nilai budaya. Istilah jamasan ini juga terkait dengan istilah jamus. Jamus merujuk pada kata pusaka. Namun maknanya lebih sebagai kitab atau serat yang berisi tentang ajaran atau lelaku spiritual, seperti jamus kalimasada, pusaka berbentuk kitab sakti milik Prabu Puntadewa (Yudhistira). Pusaka ini diyakini berisi ajaran tentang kesempurnaan, kebijaksanaan, dan pedoman hidup yang baik, baik secara spiritual maupun duniawi.
Prosesi jamasan pada dasarnya adalah tindakan mengingatkan “putra-wayah” tentang warisan leluhur, yang harus “diuri-uri”, secara konteks zamannya. Begitu juga bangsa ini yang diwarisi satu jamus yang dalam konteks modern disebut konstitusi UUD 1945. Kelahiran jamus modern ini, berawal dari berkumpulnya berbagai “mpu” di Sidang BPUPKI untuk merumuskan berbagai ajaran leluhur yang hidup dan berkembang di Nusantara.
Adalah Soepomo seorang tokoh penting dalam sejarah Indonesia, terutama dalam perumusan jamus UUD 1945. Karenanya Ia dikenal sebagai salah satu Bapak Konstitusi Indonesia. Pemikirannya berdasar atas keberadaan adat istiadat di nusantara yang bercirikan kekeluargaan dan manunggaling kawula-gusti. Menurut kritik Marsilam Simanjunjak (pemikir sosdem mutakhir) bahwa pikiran Soepomo mengandung filsafat Spinoza yang mendukung totalitarianisme integralis.
Pada saat “mondok” di kampus Leiden, Ia memperdalam permasalahan Hukum Adat dan Agraria pada Cornelis van Vollenhoven, seorang profesor hukum di Universitas Leiden yang dikenal sebagai “arsitek” ilmu adat recht dan ahli hukum internasional. Soepomo sendiri dari kalangan bangsawan Jawa yang kental akan kepemimpinan gaya Mataram Islam (Jawa). Tentu saja pada saat di bangku kuliah mengkontekstualisasikan pikiran bawaan dan mendialektikakan dengan pikiran modern. Lahirlah satu disertasi “De Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta” atau “Reorganisasi Sistem Agraria di Wilayah Surakarta” tahun 1927. Dan Soepomo berhak menyandang gelar doktor dari Universitas Leiden.
Dalam disertasi tersebut Soepomo memberikan analisis secara detail mengenai hukum agraria tradisional dan kolonial di Surakarta. Analisa tersebut menunjukkan pemahamannya yang mendalam tentang masalah agraria pada masa itu. Pikiran dalam disertasi tersebutlah yang menjadi dasar pemikiran Soepomo mengenai konsep negara integralistik, di mana negara dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan harmonis, bukan sekedar kumpulan individu atau kelas sosial.
Selain itu negara integralistik, bagi Soepomo selain menekankan pentingnya persatuan, juga berazaskan kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, serta keadilan rakyat dalam konteks kebudayaan Nusantara yang khas. Soepomo menolak paham individualistik dan paham kelas, serta menganggap negara dan warga negara sebagai satu kesatuan utuh yang
harmonis. Sebagai “priyantun Jawa” Soepomo juga menekankan keseimbangan antara aspek lahir (fisik, materi) dan batin (spiritual, moral) dalam kehidupan bermasyarakat. Baginya spiritulitas nusantara yang membentuk Keindonesiaan untuk tetap bertahan. Praktek dari kebersamaannya adalah musyawarah sebagai sarana pengambilan keputusan bersama dalam menyelesaikan berbagai masalah negara. Baginya dengan musyawarah dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Harus diakui, Soepomo adalah salah satu “Mpu” perumus “jamus” dasar negara dan konstitusi Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam membentuk negara Indonesia yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur bangsa. Soepomo paham betul struktur masyarakat Nusantara, lebih sebagai kumpulan masyarakat yang utuh. Masing-masing strukturalnya memiliki hubungan kuktural yang berdiri sendiri, walaupun mereka punya ikatan kekeluargaan, seperti masyarakat adat dan pesantren. Kedua kumpulan masyarakat tersebut praktek kesehariannya persis seperti pembacaan Soepomo saat meracik konsepsi jamus konstitusi negara Republik Indonesia.
Demikianlah, manakala Konstitusi Republik Indonesia di-launching, sambutan begitu luas dan cepat diterima oleh kumpulan-kumpulan masyarakat. Media sangat terbatas untuk mengabarkan, sementara media sosial belum ada, namun sambutan atas konsepsi konstitusi dengan cepat diterima oleh masyarakat. Pun bagi masyarakat pesantren, selain ada
wakil dari pesantren dalam perumusan, banyak idiom-idiom yang dilekatkan pada pasal-pasal konstitusi sehingga penerimaan begitu cepat. Tidak itu saja, idiomatik praktek ritus keagamaan juga mendasari konstitusi negara baru. Karenanya dukungan masyarakat pesantren terhadap konsepsi dasar negara dan konstitusi tersebut adalah nyata.
Setidaknya, satu Suro kali ini perlulah kita merenung kembali apakah yang kita lakukan sekarang bagian dari “nguri-nguri” jamus konstitusi atau telah meninggallkannya.