banner 728x250

NU-Muhammadiyah Harus Aktif Sadarkan Penganut Paham Islam Radikal dengan Narasi Kontra-Diskursus

JAKARTA – Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mengemban tugas berat dalam merawat ke-Indonesia-an. Sebagai kekuatan civil Islam utama di Indonesia, dua ormas ini didorong terus melakukan gerakan penyadaran dan perlawanan terhadap gerakan radikalisme yang antidemokrasi Pancasila serta menyimpang dari ajaran Islam rahmatan lil-alamin.

NU dan Muhammadiyah diharapkan terus menciptakan narasi-narasi tandingan mengenai isu radikalisme. Sebab narasi-narasi radikalisme dominan di media sosial dan dianggap benar adanya bagi mereka yang relatif baru mempelajari Islam. Narasi itu diharapkan mampu manjadi kontra-diskursus atas pemahaman kelompok Islam radikal dan memberi penjelasan yang utuh tentang Islam. Jika disuarakan secara melalui media resmi organisasi, lembaga pendidikan, dan pengajian-pengajian kultural yang ada, maka gerakannya akan semakin masif.

Dorongan terhadap NU dan Muhammadiyah ini adalah salah satu rekomendasi hasil penelitian Said Romadlan, kandidat doktor FISIP Universitas Indonesia saat sidang terbuka Promosi Doktor Ilmu Komunikasi di hadapan Tim promotor Prof. Dr. Ibnu Hamad, M.Si dan Prof Effendi Gazali, M.Si, M.P.SI.D., Ph.D sebagai co-promotor. Disertasi Said Romadlan mengangkat judul “Diskursus Gerakan Radikalisme dalam Organisasi Islam, Studi Hermeneutika pada Organisasi Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tentang Dasar Negara, Jihad, dan Toleransi”. Dalam sidang terbuka Yang digelar secara daring pada Senin (27/7) itu, Said berhasil dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan.

Lebih lanjut Said menyatakan, bagi organisasi Islam NU dan Muhammadiyah dan Pancasila adalah pilihan final dan terbaik karena Pancasila merupakan hasil perjanjian seluruh elemen bangsa. Dalam pemahaman Muhammadiyah, Pancasila adalah darul ahdi wa syahadah (Negara Konsensus dan Kesaksian). Sedangkan NU memahami Pancasila sebagai mu’ahadah wathaniyah (Kesepakatan Kebangsaan). “Peneguhan sikap Muhammadiyah dan NU mengenai Pancasila tersebut sekaligus menjadi kritik dan perlawanan atas upaya-upaya kelompok tertentu untuk mengganti dan mengubah Pancasila sebagai ideologi bangsa,” tutur Said.

Pemahaman dan sikap Muhammadiyah dan NU atas Pancasila sebagai pilihan terbaik dan final merupakan hasil penafsiran ayat Alquran dan refleksi kedua organisasi Islam terbesar Indonesia tersebut atas Pancasila. Muhammadiyah merujuk pada Alquran Surat Saba’ ayat 15 “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”, yang artinya: “sebuah negeri yang baik dan berada dalam ampunan Allah Swt”. Kalimat tersebut oleh Muhammadiyah ditafsirkan sebagai Negara Pancasila. Sedangkan NU mengacu pada Alquran Surat al-Baqarah ayat 30: “khalifah fil ardhi”, “khalifah” ditafsirkan NU sebagai melaksanakan amanat Allah melalui NKRI dan Pancasila.

Temuan Said menyebutkan, Pancasila sebagai pilihan terbaik dalam pandangan Muhammadiyah dan NU bukanlah pandangan politik yang didasarkan atas kepentingan pragmatis dan jangka pendek. Pandangan kedua organisasi Islam moderat ini dihasilkan melalui proses refleksi dan dialektika keduanya atas sejarah lahirnya Pancasila di mana tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU terlibat langsung dalam proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara. “Selain itu, secara kontekstual peneguhan sikap Muhammadiyah dan NU atas Pancasila juga merupakan perlawanan kedua organisasi Islam ini terhadap upaya-upaya kelompok-kelompok tertentu yang hendak mengganti dan mengubah Pancasila”, lanjut Said.

Disertasi Said juga menguraikan pandangan Muhammadiyah dan NU mengenai jihad dan toleransi terhadap non-muslim. Dalam pandangan Muhammadiyah dan NU jihad bukanlah diwujudkan dalam bentuk kekerasan, apalagi terorisme. Bagi Muhammadiyah jihad adalah jihad lil-muwajahah, yakni bersungguh-sungguh menciptakan sesuatu yang unggul dan kompetitif. Sedangkan bagi NU jihad adalah sebagai mabadi’ khaira ummah, yaitu bersungguh-sungguh mengutamakan kemaslahatan umat.

“Muhammadiyah dan NU sejak awal dikenal sebagai organisasi Islam yang toleran terhadap non-muslim. Bagi Muhammadiyah toleransi terhadap non-muslim sebagai ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan), sedangkan bagi NU adalah sebagai ukhuwah wathaniyah, persaudaraan kebangsaan” paparnya.

Said mendorong konsep-konsep ini perlu dikemas dalam narasi lugas sebagai kontra-diskursus bagi isu radikalisme yang gencar dihembuskan kelompok Islam radikal beberapa tahun belakangan ini.

(hkm/shk)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *