Tepat di hari pertama bulan Dzul Qo’dah 1426 H, sebuah buku yang dipersembahkan secara khusus teruntuk mendiang KH. Sholeh Hayat, Wakil Katib Syuriyah PWNU Jawa Timur diterbitkan. Fresh from the oven. Buku setebal 84 halaman itu, diberi judul ‘Shalihul Hayat, Shalihul Mamat: Obituari Teladan Kesalehan KH. Sholeh Hayat’. Kami para penulis mendedikaaikan penulisan dan penerbitan buki ini, selain untuk mengenang kebaikan orang yang sudah kembali ila rahmatillah, juga dimaksudkan menjadi tangga kecil dalam memahami sejarah perjalanan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, khususnya di Jawa Timur.
KH. Sholeh Hayat yang ditulis obituarinya dalam buku ini, adalah sosok yang pas untuk menggambarkannya. Pak Sholeh, begitu biasa dipanggil oleh kolega dan yuniornya telah 9 periode menjadi pengurus harian PWNU Jawa Timur, sejak menjabat sebagai Wakil Sekretaris pada periode 1984-1988, hingga berkhidmah sebagai Wakil Katib Syuriyah periode 2024-2029 saat beliau wafat. Perinciannya, 3 periode menjadi wakil sekretaris (1984-1996), 4 periode menjadi wakil ketua (1996-2018)
dan 2 periode berada di posisi syuriyah sebagai wakil Katib (2018-2029). Sebenarnya, di masa transisi kepengurusan di tahun 2023-2024, Pak Sholeh sempat menduduki jabatan sebagai salah satu Wakil Rois Syuriyah. Sebuah posisi yang dengan berat beliau terima, karena sudah didesak dengan keputusan rapat. Info dari salah satu ‘Khodam NU Raya Darmo’, Zaini Ilyas menyebutkan Pak Sholeh pernah sekali periode ‘terlempar’ dari etape sebagai wakil sekretaris, dan ditunjuk menjadi Ketua Lajnah Auqof (Lembaga Wakaf), yakni di awal kepemimpinan Ketua KH. Hasyim Muzadi. Periode berikutnya, Pak Sholeh sudah kembali berkhidmah di jajaran pengurus harian.
Buku ini terdiri dari empat bagian, dan tambahan satu bagian pembuka sebagai ‘tarjamah’ atau biografi singkat yang bisa mendasari pembaca untuk mengenali kehidupan organisasi Pak Sholeh. Di bagian ini, kami menurunkan tulisan Sejarawan Muda, Ayung Notonegoro yang mendirikan dan mengelola Komunitas ‘Pegon’ yang konsern pada arsip sejarah, terutama yang masih bertuliskan pegon atau arab melayu. Ayung menulis dengan baik tentang Pak Sholeh sebagai ‘lampu petunjuk’ bagi penulisan sejarah yang utuh atas perjalanan NU di tempat kelahirannya, dengan adanya kekayaan dan khazanah arsip yang didokumentasi dan disimpan dengan baik oleh almarhum. Bagi Ayung, wafatnya Pak Sholeh, adalah alarm bagi kita semua, bahwa urgensi penggalian sejarah dan penyusunannya sudah berada di titik kulminasi tertingginya. Satu demi satu, sumber hidup sejarah NU meninggalkan kita, saat tepat untuk memulai dan bergerak.
Kesalehan, menjadi diksi yang kita pilih sebagai narasi utama dalam empat bagian yang terdiri dari beberapa tulisan testimoni dan obituari dari beberapa kolega dan kader Pak Sholeh. Keshalehan dipilih, berangkat dari dhawuh Kiai Kharismatik, KH Chamim Djazuli atau Gus Miek yang memberi julukan Pak Sholeh dengan Shalihul Hayat, Shalihul Mamat. Frasa ini pula yang akhirnya yang kami pilih sebagai judul buku: Shalihul Hayat, Shalihul Mamat, Obituari Teladan Keshalehan KH Sholeh Hayat.
Bagian pertama mengunggah tentang Keshalehan Pak Sholeh dalam memimpin keluarga. Ada tiga tulisan memorial dari dua putra-putri, Mas Adi dan Mbak Atika dan satu anak menantu, Mas Fathur Ridho. Bagian kedua tetang Kesalehan Pak Sholeh dalam Kepemimpinan Organisasi dan Pengkaderan. Sejumlah tokoh dan aktivis NU menulis dengan baik. Mulai salah satu icon Majalah AULA, Wahid Asa, Sesepuh IPNU, Cak Darsono hingga Cak Fuad Anwar yang malang-melindtang di dunia aktivisme IPNU, PWNU hingga PKB Jawa Timur. Ada juga tulisan komandan pengkaderan PWNU Jawa Timur, Gus Taufiq Jalil yang saat ini sedang bertanggung jawab atas PD PKPNU dan PMKNU. Ada juga mantan Ketua PW Fatayat, Mbak Yayuk Istichanah, Mantan wartawan LKBN ANTARA yang kader IPNU, Edy M Ya’kub hingga Yusuf Amrozi yang sejak belia menjadi aktivis Maarif PWNU dan kini menggerakkan Lembaga Perguruan Tinggi (LPTNU).
Di bagian ketiga, Kesalehan Ketekunan Berorganisasi, tak kalah menarik. Kesaiksan di bagian ini bertabur bintang, mulai Prof. Kacung Marijan, guru besar UNAIR, wakil rektor UNUSA dan wakil ketua PWNU, yang menjadi saksi intlektual perjalanan PBNU dan PWNU Jawa Timur melewati masa penting perumusan Kembali ke Khittah NU 1926 melalui Muktamar ke-27 NU di Situbondo. Ada tulisan yunior dekat Pak Sholeh di IPNU dan kolega di DPRD Jawa Timur, Pak Muzammil Syafi’i serta wartawan AULA M. Subhan yang banyak kisah tentang penulisan sejarah Maarif NU. Tulisan bernuansa akademik mengangkat konsep ‘Soft Communication Skill’ ditulis dengan bagus oleh Prof. Mas’ud Sa’id, Ketua ISNU Jatim yang saat ini sudah menjadi pimpinan penting di PP ISNU. Dan yang menarik, dua penulis, yakni Ust Makruf Khozin dan Mas Muhaimin, khusus bertestimoni tentang komitmen tinggi Pak Sholeh terkait pembentengan ASWAJA melalui Aswaja NU Center Jatim.
Bagian terakhir, tentu saja tentang literasi sejarah Pak Sholeh yang di atas rata-rata para pengurus di PWNU Jawa Timur. Gus Noor Shodiq Askandar, Wakil Ketua yang mempandegani program ekonomi PWNU Jawa Timur menuliskan dengan bagus kesan dan amatannya. Demikian juga Pimpinan Redaksi DUTA MASYARAKAT, Cak Kaiyis dan Mas Afif Amrulloh yang lama di Majalah AULA yang menuliskan kelebihan dan teladan Pak Sholeh dalam hal penulisan dan perhatiannya pada Sejarah. Sebagai penutup dalam bagian ini sekaligus semacam epilog buku, ada dua tulisan. Pertama analisis Dr. Tri Chandra Aprianto, Akademisi Sejarawah Universitas Jember yang juga Sekretaris Lembaga Pengembangan Pertanian (LPP) PBNU. Tulisan kedua dan terakhir adalah kenangan Sekretaris PWNU Jawa Timur, Ir. Muhammad Faqih, MSA, Ph.D yang menulis sejumlah gagasan almarhum di penghujung khidmah pada jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada segenap penulis atas waktu dan refleksi obituarinya. Demikian pula kepada PWNU Jawa Timur, khususnya KH. Abdul Hakim Mahfudz, Ketua kami, yang memberi kesempatan menulis dan menerbitkan buku yang tentu jauh dari sempurna. Pak Sholeh sosok penting di PWNU Jawa Timur yang telah menjadi mata rantai pergerakan keagamaan dan kemasyarakatan NU. Pak Sholeh adalah salah satu pemegang tongkat estafet perjalanan NU, yang beliau perankan dengan baik dan mumtaz hingga akhir hayatnya. Terima kasih Pak Sholeh, perjuangan, keteladanan dan kesalehanmu abadi. Amin. (*)