OPINI  

Sehona Holil di Sebuah Pagi Selasa Pon

Esai Cerita Gus Haidar Hafeez, Penyair Pesantren, Pengasuh Arrumuz PP Darul Ulum Karangpandan, Pasuruan.

Pagi itu telah berkumpul Marjui, Supi-i, Sujoto Sanai dan Matamin. Mereka para tukang yang akan memulai gawe besar membuka pondasi rumah Sehona Holil. Pagi itu hari Selasa Pon, seperti biasa tamu Sehona Holil sudah mengantri tamu-tamu hendak sowan. Mulai dari santri bertanya tentang konflik baca qiroatul qur’an bin-nahwi, pedagang minta pelarisan, suwuk orang sakit, istri akan melahirkan, menentukan hari perkawinan, sarang hujan, akan mulai bercocok tanam hingga bos besar di Surabaya akan buka pondasi untuk gudang dan pabrik baru atau juga sebab tamu yang datang sekedar melepas rindu.

“Marjui, kesini!” kata Sehona Holil kepada Marjui tukang senior yang memimpin proyek pembangunan rumah sehona Holil. Marjui yang sedang mengukur tanah dengan kempat anak buahnya bergegas menuju arah panggilan Sehona Holil. Sehona Holil membuka kertas yang dia ambil dari saku bajunya. Gambar rumah yang sudah di bikin jauh sebelum membuka pondasi. Marjui mendengar dengan seksama arahan dari sehona Holil. Marjui melihat dengan jeli dan tertera dengan jelas judul besarnya. Rumahku surgaku mulai Selasa Pon. Lalu Marjui mengembalikan gambar rumah kepada Sehona Holil.

“Sudah bawa saja, itu aku gambar buat kamu agar sesuai dengan keinginanku.”

Marjui hanya mengangguk dan melipatnya lalu di masukkan kedalam kantong bajunya.
“Iya sudah, paham ya Marjui. Aku akan menemui tamu.”

Sehona Holil menuju langgar kayu yang untuk sementara waktu sebelum rumahnya selesai juga di fungsikan sebagai balai tamu. Dan para tamu mendapati Sehona Holil menuju arah langgar kayu langsung satu persatu sambil membungkuk tertib berebut bersalaman. Sehona Holil menaiki tangga kayu. Terompah kulitnya dilepas di bawah tangga kayu. Salimin santri yang selalu mendampingi Sehona Holil bergegas menyandang sandal Sehona Holil dan membaliknya ke arah keluar langgar. Sehona Holil mempersilahkan seluruh tamu untuk masuk langgar.

Kopi Jawa atau kopi ndeso ditumbuk kasar sengaja di bikin tubruk kesukaan Sehona Holil dan hampir semua lelaki Madura. Rengginang menemani obrolan pagi selasa pon itu. Canda tawa memulai obrolan pagi Sehona Holil, sosok orang tua, kiyai sepuh yang humanis dan humoris. Sehona Holil sama dengan kebanyakan kiyai-kiyai berilmu tua lainnya, suka guyon dan gojlokan. Sehona Holil adalah Gus Durnya zaman ketika itu. Bagi sehona Holil tak ada kamus masalah diselesaikan dengan jalan sedih apalagi jalan air mata.

Marsulam sahabat kecilnya yang kini sukses menjadi tabib di Surabaya duduk berhadapan dengan Sehona Holil. Dari lingkaran duduk para tamu, tamu-tamu itu nyaman dan betah dengan bersahajanya Sehona Holil mejumpai dan menjamu. Kelakar dan gojlokan adalah sebetuk kasih sayang serta keakraban sehona Holil dalam menyapa para tamunya.

“Marsulam, kau bawa kabar apa hari ini?
“Hanya kabar rindu.”
“Ah! Bisa aja kau ini. Kayak remaja dirudung cinta.”
Haha semua pada tertawa. “Kulaan, yai.”
Sehona Holil mendadak tertawa dan diikuti tawa membahana para tamu.

Setelah tawa mulai reda sehona Holil mempersilahkan minum kopi sambil dirinya nyeruput kopi bercangkir keramik putih motif bunga bikinan Cina.

“Siapa namamu?” tanya Sehona Holil kepada tamunya yang sejak tadi hanya diam paling paling tertawa kecut saat semua dalaing bahagia bersama guyonan ala santri.

“Sukkur, ada kabar apa kok sepertinya sedih banget?”
“Anu yai, istri saya mau lahiran tapi susah.”
“Oh iya tenang ini di baca. Kalau lahir selamat kau kuberi nama selamet.”

Sukkur segera pamit dan pulang. Tak lama kemudian sambil berlarian menuju langgar di mana Sehona Holil menjumpai para tamunya. Tergopoh-gopoh dan mengagetkan semua yang ada di situ. Sukkur mengatakan Selamet lahir Selamet lahir.

“Memangnya kenapa, Sukkur?” tanya Sehona Holil. “Selamet lahir.”
“Kau baca doa yang tadi itu?”
“Iya kiyai.”
Semua pada tertawa bahagia menyaksikan Sukkur.
“Sudah ya cukup. Ini waktunya saya jualan kapur.”

Semua pada berpamitan. Dan Marsulam berpamitan paling belakang sembari mengatakan.
“Yai kalau untuk membangun rumah sebaiknya jangan hari ini sebab ini hari menurut perhitungan astronomi kurang baik”.
“Oh begitu. Terus kapan enaknya?”
“Tiga hari lagi.”
“Iya iya baik, baik.”
“Marjui! Marjui!” Sehona Holil memanggil kepala tukang. Marjui segera menghadap sehona Holil. “Iya kiyai. Ada apa.”
“Sudah digali pondasinya.”
“Belum kiyai”
Befini, kata sahabat saya ini dia dukun terkenal di Surabaya. Sebaiknya jangan gali pondasi hari ini. Jadi hari ini kamu semua pulang saja. Tiga hari kemudian atau hari kamis pagi di mulai lagi pekerjaan ini.”
“Iya kiyai.”
Marjui dan kempat rekannya segera pulang. Dan Marsulam, sahabat Sehona juga ikut berpamitan pulang.

Agak lama kemudian, Salimin disuruh Sehona Holil menjemput Marjui dan keempat yang lain, guna memulai kembali pekerjaan membuat rumah. Sesampainya di Kademangan, Marjui yang sejak tadi sangat muskil menuai jawaban dari Sehona Holil.

“Tadi itu, saran tamu saya yang harus dimuliakan dalam apa sajanya, tak terkecuali dalam ikut memikirkan kebaikanku. Kali ini sudah tidak ada tamu lagi, aku kembali ke pendapatku, bila ini adalah hari baikku membangun baity jannatiku.”

Arrumuz Darka, 25 Juni 2024