Oleh: Zaenol Hasan (Dosen STIS Nurul Qarnain Jember)
Apakah mungkin sebuah kampus di bawah naungan pesantren bisa menjadi ruang inklusif yang menjembatani perbedaan antara mahasiswa santri dan non-santri? Pertanyaan ini menjadi relevan seiring semakin banyaknya kampus pesantren yang membuka pintunya bagi mahasiswa dari berbagai latar belakang. Namun, perbedaan antara mahasiswa dengan latar pendidikan pesantren dan non-pesantren sering kali menghadirkan tantangan tersendiri. Bagaimana kampus bisa menjadi ruang inklusif yang mendukung moderasi beragama di tengah keberagaman ini?
Gap Santri dan Non-Santri: Faktor-Faktor Penyebabnya
Kampus pesantren membawa karakteristik unik yang berlandaskan pada nilai-nilai keagamaan yang kuat, aturan ketat, serta tradisi pesantren yang sudah mapan. Lingkungan ini lebih mudah diadaptasi oleh mahasiswa berlatar belakang santri yang sudah terbiasa dengan kedisiplinan pesantren. Namun, bagi mahasiswa non-santri yang berasal dari sekolah umum atau lingkungan tanpa ikatan pesantren, hal ini bisa menjadi tantangan.
Berikut beberapa aspek yang sering menyebabkan adanya gap antara santri dan non-santri di kampus pesantren:
1. Perbedaan Pengetahuan Agama
Mahasiswa santri umumnya memiliki pengetahuan agama yang lebih mendalam karena latar belakang pendidikan mereka di pesantren. Mereka sudah terbiasa dengan ilmu-ilmu seperti fiqh, tauhid, tafsir, dan hadis. Sebaliknya, mahasiswa non-santri yang berasal dari latar pendidikan umum mungkin belum terbiasa dengan kajian agama yang mendalam. Perbedaan pengetahuan ini bisa membuat mereka merasa kurang percaya diri atau bahkan terasing dalam diskusi keagamaan di kampus pesantren.
2. Perbedaan Gaya Hidup dan Kedisiplinan
Mahasiswa santri sudah terbiasa dengan kehidupan yang diatur secara disiplin sesuai nilai-nilai pesantren, seperti waktu ibadah yang ketat dan gaya hidup yang cenderung konservatif. Sebaliknya, mahasiswa non-santri yang mungkin terbiasa dengan kebebasan lebih besar bisa merasa kurang nyaman atau bahkan terbatasi oleh aturan kampus yang ketat. Hal ini bisa membuat mereka merasa kurang leluasa dalam mengekspresikan diri di lingkungan kampus pesantren.
3. Pola Komunikasi dan Pergaulan yang Berbeda
Di lingkungan pesantren, komunikasi cenderung formal dan penuh tata krama, terutama antara senior dan junior. Santri terbiasa dengan batasan pergaulan yang lebih ketat dan sesuai syariah. Mahasiswa non-santri yang terbiasa dengan gaya komunikasi lebih santai mungkin merasa pola interaksi di kampus pesantren terlalu kaku atau formal. Perbedaan ini kadang menimbulkan kesalahpahaman atau jarak dalam pergaulan sehari-hari.
4. Perbedaan Preferensi dalam Kegiatan dan Organisasi
Mahasiswa santri lebih tertarik mengikuti kegiatan yang berfokus pada kajian agama atau organisasi berbasis dakwah, sementara mahasiswa non-santri cenderung tertarik pada kegiatan yang bersifat umum, intelektual, atau profesional. Perbedaan preferensi ini dapat memperbesar jarak antar kelompok, karena kedua belah pihak merasa lebih nyaman dalam kegiatan yang berbeda.
5. Stigma dan Stereotip
Stereotip dan prasangka sering kali menjadi faktor penguat adanya gap. Santri mungkin melihat mahasiswa non-santri sebagai kurang religius atau kurang disiplin, sementara non-santri bisa melihat santri sebagai kelompok yang konservatif atau kaku. Adanya stereotip ini memperdalam jurang pemisah, sehingga menimbulkan hambatan untuk saling berinteraksi dan memahami.
6. Perbedaan Harapan Akademik dan Karier
Mahasiswa santri cenderung mengarah pada karier yang berhubungan dengan dunia dakwah atau keagamaan, seperti guru agama atau ustaz. Sebaliknya, mahasiswa non-santri biasanya memiliki orientasi karier yang lebih beragam, seperti di bidang bisnis, sains, atau teknologi. Perbedaan tujuan akademik dan karier ini dapat menciptakan jarak psikologis yang memperkuat gap antara kedua kelompok.
Mengapa Moderasi Beragama Penting?
Moderasi beragama menjadi solusi untuk mengatasi perbedaan ini. Moderasi beragama mendorong sikap terbuka, toleran, dan menghargai perbedaan dalam bingkai agama. Dalam konteks kampus pesantren, moderasi beragama menjadi dasar bagi terciptanya ruang inklusif, di mana mahasiswa dengan latar belakang berbeda bisa berkembang tanpa merasa terasing atau dikucilkan.
Langkah-Langkah Menciptakan Kampus Inklusif
Untuk menciptakan lingkungan kampus yang inklusif, diperlukan langkah-langkah kolaboratif dari seluruh elemen kampus, baik mahasiswa, dosen, maupun manajemen kampus. Beberapa strategi yang bisa dilakukan meliputi:
1. Program Orientasi yang Inklusif
Program orientasi dapat diperluas untuk memperkenalkan tradisi dan nilai kampus kepada mahasiswa baru, khususnya non-santri. Program ini tidak hanya menjelaskan aturan, tetapi juga menyampaikan makna di balik aturan tersebut. Ini membantu mahasiswa non-santri memahami alasan dari setiap ketentuan, sehingga mereka lebih mudah beradaptasi.
2. Mengadakan Diskusi dan Kajian yang Terbuka untuk Semua. Kajian agama di kampus pesantren sering kali diadakan secara akademik, yang bisa menjadi intimidatif bagi non-santri. Menyediakan forum diskusi dengan pendekatan yang lebih inklusif dan terbuka bagi semua kalangan dapat membantu mereka terlibat tanpa rasa canggung. Dengan begitu, baik santri maupun non-santri bisa saling belajar dalam suasana yang kondusif.
3. Mengembangkan Kegiatan Kolaboratif antar kelompok melalui kegiatan sosial atau proyek kolaboratif, mahasiswa santri dan non-santri bisa saling mengenal. Kegiatan seperti bakti sosial atau proyek bersama mendorong mereka bekerja sama, berdiskusi, dan belajar satu sama lain, sehingga gap yang ada berkurang secara alami.
4. Memperkenalkan Nilai-Nilai Inklusif dalam Kurikulum Kampus bisa memasukkan nilai-nilai moderasi beragama dalam kurikulum. Dengan ini, mahasiswa belajar tidak hanya ilmu agama, tetapi juga pentingnya toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, serta penerapan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
5. Pelatihan Moderasi Beragama untuk Mahasiswa dan Staf Pelatihan moderasi dapat meningkatkan kesadaran tentang pentingnya inklusivitas. Melalui pelatihan ini, mahasiswa belajar menerapkan sikap moderat dalam kehidupan akademik dan sosial. Santri akan lebih terbuka terhadap perbedaan, sementara non-santri merasa lebih diterima.
Tantangan dan Potensi untuk Masa Depan
Tentunya, menciptakan kampus inklusif di bawah naungan pesantren memiliki tantangan, seperti stereotip atau ketidaknyamanan non-santri dalam lingkungan yang berbeda. Namun, jika kampus mampu berkomitmen pada prinsip moderasi, gap antara santri dan non-santri dapat dikurangi.
Pada akhirnya, keberagaman di kampus pesantren seharusnya menjadi kekuatan, bukan hambatan. Dengan moderasi, kampus pesantren bisa menjadi model inklusivitas dalam keberagaman akademik dan agama. Santri dan non-santri belajar dan tumbuh bersama, baik dalam akademik maupun dalam mengamalkan nilai agama secara lebih terbuka. Lingkungan inklusif ini dapat menjadi fondasi kuat bagi terciptanya masyarakat yang harmonis, penuh toleransi, dan saling menghargai.