Cita-cita akhir dalam perjalanan hidup kita adalah meraih surga dan terbebas dari api neraka. Untuk menggapai cita-cita itu Allah telah memberi fasilitas. Fasilitas tersebut adalah kefitrahan. Surga adalah tempat yang suci, sehingga syarat penghuni surga adalah mereka-mereka yang suci. oleh karena itu, Allah telah menentukan kelahiran kita dalam keadaan fitrah (suci). Namun dalam perjalanan hidup manusia, setelah mencapai aqil baligh, manusia bergelut dengan salah dan dosa, bahkan perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya akan membuat diri kita bergelimang dengan dosa dan najis yang semua itu menjadi penghalang masuk surga. Tetapi, Allah tetap memberi sarana untuk menyucikannya. Di antaranya adalah seperti ibadah puasa yang telah kita jalani selama satu bulan yang lalu.
Janji Allah jelas, melalui sabda Nabi Muhammad SAW : man shaama ramadhaana iimaanan wahtisaaban ghufiro lahu maa taqaddama min dzanbihi. ( Barang siapa yang puasa Ramadan dengan penuh keimanan dan berharap ridha Allah, maka diampuni dosanya yang telah lalu). Karena itu, sesungguhnya satu sisi adalah kebahagiaan ketika kita telah melewatkan puasa Ramadhan, karena telah bisa menjalani ibadah puasa, diberi umur panjang oleh Allah SWT. Sekarang Ramadhan sudah berlalu, apakah kesucian yang kita raih itu dipertahankan atau justeru sudah dikotori kembali. Ketika sudah mendapati janji Allah fitrah melalui puasa, maka ada ibadah sosial untuk menyempurnakan fitrah itu, di antaranya adalah zakat fitrah yang bertujuan menyucikan jiwa agar kembali kepada fitrah. Nah, sekarang tinggal kita muhasabah kepada diri kita masing-masing, apakah mampu mempertahankan kefitrahan atau tidak.
Rasulullah SAW bersabda : laisa ‘ied liman labisa jadiid, walaakinnal ied liman kaana thaa’atuhu taziid (orang yang kembali kepada fitrah, bukan orang yang pakaiannya baru, tetapi hakekat orang yang kembali fitrah adalah mereka yang taatnya bertambah). Hal ini seiring dengan sebutan bulan “Sawwal” yang berarti “meningkat”. Selama bulan Ramadan telah digembleng, mental kita terfokus untuk meraih pahala sebanyak-banyaknya. Ketika itu, ibadah tidak terasa berat, misalnya untuk berjamaah shalat Maghrib, shalat Isya’, Tarawih, shalat malam, shalat Shubuh selalu dengan berjamaah, dilanjutkan dengan pengajian-pengajian. Semua dijalankan dengan ringan, tanpa ada rasa berat. Setelah di luar Ramadhan, apakah kita masih bisa mempertahankan akifitas yang mulia itu. Apakah setelah selesai Ramadhan masjid-masjid kembali kosong seperti biasanya? Kalau ia, berarti bulan Sawwal yang berarti bulan peningkatan, tetapi amalannya tidak meningkat. Dan berarti dia tidak bisa mempertahankan kefitrahannya.
Tetapi, karena kita bertekat untuk mempertahankan kefitrahan kita, maka walaupun Ramadhan sudah berlalu, tetapi suasana Ramadhan tetap terhunjam dalam hati kita. Kita tetap semangat untuk berangkat ke masjid ketika waktu shalat telah tiba, dan tetap semangat untuk melakukan perintah-perintah Allah yang lainnya. Karena ini adalah pembuktian Ramadhan yang telah kita alami. Allah berfirman dalam surah Ar Ruum [30] : 30. Yang maknanya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Maksud Fitrah Allah addalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Manusia bukan malaikat, juga bukan binatang, tetapi manusia adalah di antara keduanya. Ketika berpuasa, kita diajarkan untuk menjadi manusia yang fitrah. Ketika itulah diri kita mempunyai unsur ruhaniah atau unsur malaikat, saat itulah akal kita yang dominan. Dan ketika lepas maghrib, maka unsur jasmaniahlah yang dominan, sedang jasmaniah adalah perwakilan dari unsur binatang. Manusia, satu sisi dibekali akal, tetapi satu sisi juga dibekali nafsu. Maka ketika malam hari orang yang berpuasapun, ketika punya hasrat nafsu maka dia dihalalkan untuk berhubungan suami isteri. Dan itu dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dari Anas bin Malik r.a. bahwa ia berkata, “Tiga orang Sahabat datang ke rumah Rasulullah untuk menanyakan tentang ibadah beliau. Setelah diceritakan kepada mereka tentang ibadah Rasulullah, mereka menganggapnya terlalu sedikit. Sehingga mereka berkata, ‘Keadaan kita dengan beliau jauh berbeda, sesungguhnya Allah SWT telah mengampuni dosa-dosa beliau yang lalu dan yang akan datang!’
Maka salah seorang di antara mereka berkata, ‘Aku akan shalat malam terus menerus.’ Seorang lagi berkata, ‘Aku akan berpuasa terus menerus tanpa putus.’ Yang lain berkata, ‘Aku akan menjauhi kaum wanita dan tidak akan menikah selamanya.’ Lalu datanglah Rasulullah saw. menemui mereka, beliau bersabda, “Apakah kalian yang mengucapkan begini dan begitu!” Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah! Namun selain berpuasa aku juga berbuka (tidak berpuasa), selain shalat aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku,” (HR Bukhari dan Muslim).
Sesungguhnya Islam tidak melarang untuk menperturutkan nafsu, tetapi Islam mengatur, kapan saatnya dihalalkan, kapan saat diharamkan. Sama halnya dengan berpuasa, ada saat tidak boleh makan dan saat diperbolehkan makan. Kapan saat tidak boleh berhubungan suami isteri, kapan diperbolehkan. Sehingga, dengan demikian puasa mengajarkan untuk menjadi manusia-manusia dewasa, bukan manusia-manusia yang kanak-kanak. Manusia yang kanak-kanak adalah manusia yang punya kecenderungan melakukan sesuatu berdasarkan suka dan tidak suka, senang dan tidak senang, tanpa berfikir resiko. Sementara orang yang berfikir dewasa tidak mengukur sesuatu dari suka dan tidak suka, tetapi yang menjadi ukurannya adalah baik atau buruk, benar atau salah, boleh atau tidak boleh. Sesungguhnya kalau ukurannya nafsu, menahan lapar dan haus itu tidak menyenangkan, tetapi karena itulah yang terbaik menurut Allah, maka ketika itulah kita melakukannya tidak berdasarkan senang atau tidak senang.
Pengendalian diri itulah yang dinilai tinggi oleh Allah, karena itu manusia dinilai mulia di sisi Allah, bahkan lebih tinggi dibanding malaikat. Karena manusia punya nafsu, tetapi mampu mengendalikannya, seperti Rasulullah SAW. Mampukah kita mempertahankan pelajaran puasa seperti itu? Di situlah akan terukur tingkat kefitrahan kita setelah Ramadhan.
Namun kita mengakui, dalam mengendalikan nafsu, kapan saatnya akal mendominasi, kapan saatnya ruhani yang mendominasi, kadang cenderung liar. Ketika nafsu tidak diperbolehkan oleh agama, kitapun kadang menabraknya. Itulah sebuah kesalahan dan sesuatu yang mengotori kefitrahan kita. Maka, dalam hal ini Allah masih memberi kesempatan untuk tetap suci, sebagaimana dijelaskan dalam surah Ali Imran [3] : 133. Yang maknanya : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk ora ng-orang yang bertakwa”.
Ada makna yang tersirat dalam ayat ini, “bersegeralah untuk meraih maghfirah dan bersegera meraih surga”. Kata maghfirah dihubungkan dengan surga. Ini memberikan pelajaran bahwa siapapun tidak akan mungkin bisa masuk surga kecuali dia mendapat maghfirah Allah SWT, baik dosa secara syar’i (melanggar hukum-hukum Allah) atau dosa akhlaqi, karena tidak sanggup mempertanggungjawabkan nikmat-nikmat Allah.
Allah berfirman dalam surah Al Jaatsiyah [45] : 29-30, yang maknanya : “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh Maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah keberuntungan yang nyata”.
Rahmah adalah surga. Siapapun tidak akan mungkin masuk surga jika tidak mendapat rahmah dan maghfirah (ampunan) Allah SWT. Semoga setelah melakukan ibadah di bulan puasa kita mampu mempertahankannya, agar sewaktu-waktu dipanggil oleh Allah kita tetap dalam kondisi suci.
*) KH Ilhamullah Sumarkan, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jawa Timur.
Comment un couple devrait – Il gérer cela une fois qu’il découvre que son conjoint triche ? La question de savoir si un mari doit pardonner à sa femme sa trahison est un sujet qui mérite d’être discuté. https://www.xtmove.com/fr/how-find-out-my-wife-deleted-call-logs-without-knowledge/