Home » LP Ma’arif Minta Tunda POP Setahun, Ombudsman RI Sarankan Tiga Hal Ini pada Menteri Nadiem
PERISTIWA

LP Ma’arif Minta Tunda POP Setahun, Ombudsman RI Sarankan Tiga Hal Ini pada Menteri Nadiem

JAKARTA, JURNAL9.tv – Pro dan kontra Program Organisasi Penggerak (POP) yang diinisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI memasuki babak baru. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi masukan minggu lalu, kali ini giliran Lembaga Pendidikan (LP) Maarif NU, Ombudsman RI yang buka suara.

LP Maarif NU, lembaga yang membawahi ribuan sekolah NU di seluruh Indonesia ini mendesak Mendiknas melakukan penundaan selama paling tidak setahun. Hal ini agar Kementerian Pendidikan punya waktu mematangkan dulu konsepnya. LP Ma’arif NU PBNU membuka opsi bergabung dalam program itu tahun depan setelah mempelajari dan mencermati revisi konsepnya.

“Apabila Kemendikbud memaksakan POP dilaksanakan tahun ini maka LP Maarif NU menyatakan tidak bergabung dalam POP Kemendikbud,” tegas HZ Arifin Junaidi, Ketua LP Ma’arif PBNU.

 

Menurut Arifin, tahun ini LP Maarif NU PBNU sedang fokus melaksanakan peningkatan kapasitas kepala sekolah dan guru serta inovasi pendidikan secara mandiri. Karena dilaksanakan secara mandiri, maka pihaknya minta kepada Kemendikbud untuk tidak mencatumkan LP Ma’arif NU PBNU dalam daftar penerima POP tahun ini.

“Kami menolak hanya dijadikan legitimasi program saja,” imbuhnya

Desakan penundaan POP Mendiknas ini dinilai wajar oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Lembaga ini juga menyarankan Kementerian menjalankan program sesuai standar layanan publik oleh pemerintah kepada masyarakat.

Sebagaimana diketahui, Ombudsman atau ORI adalah lembaga negara yang dibentuk untuk mengawasi penyelenggaraan Pelayanan Publik oleh Penyelenggara Negara (Pemerintah Pusat dan daerah) termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Swasta yang menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.
Anggota ORI, Dr Ahmad Suaedy, menyatakan sebagai layanan negara, kebijakan POP dinilai sejak awal kurang terbuka disosialisasikan kepada masyarakat luas. Khususnya kepada organisasi penggerak pendidikan di masyarakat.

Penolakan NU dan Muhamadiyah sangatlah masuk akal karena telah terjadi salah paham di depan, sebelum kebijakan itu diberlakukan.

“Ya. Saya setuju (ditunda), karena sejak awal tidak transparan sehingga menimbulkan salah paham,” tegasnnya.

Suaedy mengingatkan tiga hal yang harus dijalankan Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud dalam menjalankan program layanan publik. Pertama, setiap program yang diajukan perlu transparan, akuntabel dan partisipatif, termasuk penunjukan partner seleksi agar tidak memilki konflik kepentingan. Kedua, Kemendikbud perlu lebih menekankan pada pemerataan sebaran pendidikan dan mutu pendidikan yang sampai sekarang masih terjadi kesenjangan terlalu jauh antara pusat dan pinggiran serta kelompok kaya dengan masyarakat miskin. Ketiga,
pelibatan lembaga-lembaga bisnis sosial pendidikan itu tentu baik, tetapi pemerintah harus mengontrol dengam ketat orientasi dan sasarannya.

“Saat ini negara masih harus fokus memberi layanan mereka yang jauh tertinggal dan terpinggir, tak boleh hanya beraorientasi layanan elit untuk elit,” jelasnya.

Sebelumnya, Mendiknas Nadiem Makarim telah merespons kegelisahan masyarakat terkait program yang dicanangkannya. Lewat sebuah video yang disebar di media sosial, Nadiem memberi klarifikasi, meminta maaf kepada beberapa pihak, serta mengungkapkan bahwa program tersebut akan ditunda pelaksanaannya. Namun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai sampai kapan penundaan itu akan dilakukan dan bagaimana revisi detail teknisnya.(hkm/shk)