Home » Gus Im: Kakek, Ayah, dan Kakak Saya Kiai. Tapi, Saya Preman
PERISTIWA

Gus Im: Kakek, Ayah, dan Kakak Saya Kiai. Tapi, Saya Preman

SURABAYA, JURNAL9.tv –Gus Im, begitu orang biasa memanggilnya. Salah satu nama di antara keluarga Wahid yang tidak terlalu populer di permukaan. Sesama cucu Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari dan putra KH Wahid Hasyim, nama Gus Im tidak semenjulang kakaknya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) atau KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah). Maklum, Gus Im memilih berjuang di jalur bawah tanah yang sepi publikasi.

Tahun 2000, saat masih berumur 47 tahun, dalam sebuah wawancara bersama Tempo, Gus Im mengakui bahwa dirinya keluar dari orbit tradisi keluarga Wahid: masuk pesantren dan menjadi kiai. “Saya memang paling nyeleneh dibandingkan dengan yang lain. Kakek, bapak, dan kakak saya, semuanya kiai. Nah, saya ini preman. Saya bisa lebih sinting dari pada Gus Dur,” jelas Gus Im.

Sebagaimana pengakuannya, Gus Im memang paling beda. Lahir di Jakarta, tinggal di Menteng, tidak mengenal pendidikan pesantren, tidak betah sekolah sebentar pernah kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) dan Teknik Kimia Institut teknologi Bandung (ITB). Tidak menjadikiai, Gus Im aktif dalam dunia pergerakan dan menguasai banyak hal yang tidak bisa dikuasai orang NU kebanyakan. Pikiran dan gerakan-gerakannya menginspirasi banyak anak muda NU dan bukan NU. Banyak tokoh muda menyebut Gus Im sebagai guru mereka dalam dunia aktivis medan pergerakan sosial.

“Dulu, ketika LKiS masih jaya, ada sebuah buku sangat tipis, buku inilah yang kemudian memprovokasi pikiran-pikiran saya,” ujar Chafid Wahyudi, seorang akademisi cuma Aktivis muda NU asal Surabaya sesaat setelah mendengar kabar berpulangnya Gus Im, Sabtu (1/8/2020). Buku tipis yang dimaksud itu karya Gus Im dkk. Judulnya, Tikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia.

Kajian wacana kritis macam begitu memang kegemaran Gus Im. Bukan hanya teori, tapi dalam penguasaan teknis lapangan juga mumpuni. Sebagaimana Gus Dur, Gus Im juga dikenal dekat dengan para aktivis mahasiswa. Aktivitas-aktivitas Gus Im sering menyerempet bahaya sehingga tidak jarang sosoknya menjadi buruan aparatur intelijen, tapi selalu berhasil lolos. Beberapa orang percaya Gus Im memiliki semacam kesaktian sehingga bisa terhindar dari kejaran. Namun Gus Im dengan enteng menjawab bahwa itu bisa terjadi karena saking seringnya dikejar-kejar, ia jadi hafal cara kerja para intel dan bisa mengakalinya. “Saya punya naluri survival yang agak lebih tinggi di atas rata-rata,” kata Gus Im sambil tertawa kepada Tempo.

Saat ditunjuk sebagai konsultan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, Gus Im membuktikan diri piawai meladeni permainan para debitor kelas kakap yang sangat sukar didekati. Di masa itu, Gus Im berhasil menarik nama-nama sekelas Tommy Winata, Bambang Trihatmodjo, dan Tommy Soeharto untuk ke BPPN sambil membawa data perusahaan mereka. Kata Gus Im, hal itu bisa terjadi mungkin karena beliau sudah mengenal mereka sejak 20 tahun sebelumnya. Gus Im mengaku pernah berbisnis kecil-kecilan, dan para pebisnis kakap itulah yang sering membuatnya terlempar dari persaingan. Gus Im dipaksa mengalah dengan kompensasi uang. Tentu saja Gus Im menolak, sebab baginya itu menyangkut moral dan harga diri. Gus Im menduga hal itulah yang membuat para konglomerat kelas wahid Indonesia itu tabik dan respect kepadanya.

Sikap hormat itu melahirkan kecintaan. Dan kecintaan itulah yang membuat kita merasa sangat kehilangan saat kabar duka itu datang dari Jakarta Sabtu pagi (1/8) pukul 04.18 WIB. Gus Im berpulang di usianya yang memasuki 67 tahun.

Savic Ali, aktivismuda NU yang selama sebulan menunggui Gus Im yang terbaring sakit beberapa kali mendengar cucu pendiri NU ini berkata “kullunafsindzaaiqatulmaut.” Setiap yang bernyawa akan meninggal. Sugeng tindak, Gus Im! (shk)