OPINI  

Partisipasi Politik Perempuan Dalam Bayang-Bayang Budaya Patriarki

Oleh:
Dr. Ahmad Hudri, MAP.

Dalam setiap Pemilihan Umum (Pemilu) peran dan partisipasi perempuan selalu menjadi perbincangan sebagai bagian penting dalam konfigurasi politik. Peran dan partisipasi perempuan merupakan bagian pondasi dalam membangun demokrasi. Inklusifitas demokrasi terutama dalam penyelenggaraan pemilu juga diukur dari seberapa banyak keterwakilan perempuan yang turut berkontestasi dalam kontestasi politik terutama Pemilu. Partisipasi perempuan dalam dunia politik selalu menjadi sorotan utama dalam perdebatan mengenai kesetaraan gender.

Dalam kontestasi politik, perempuan seringkali menghadapi berbagai hambatan yang menghalangi mereka mencapai posisi yang setara dengan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain stereotip gender, budaya patriarki, dan kurangnya representasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik.

Partisipasi politik perempuan merupakan hal yang penting dalam membangun sebuah negara yang demokratis dan inklusif. Namun, peran dan partisipasi perempuan dalam politik terhambat oleh karena adanya budaya patriarki yang masih kuat dalam masyarakat. Menyoroti Budaya Patriarki ini Ade Irma Sakina dalam Dessy Hasanah Siti A. (2017) menjelaskan bahwa Patriarki berasal dari kata patriarkat yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Budaya patriarki adalah budaya yang menempatkan kekuasaan dan kontrol laki-laki terhadap perempuan, sehingga perempuan berada pada kondisi tidak memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam dunia politik.

Dalam budaya patriarki, perempuan seringkali dianggap sebagai objek yang harus tunduk pada kehendak laki-laki. Mereka seringkali diberikan peran domestik sebagai ibu atau istri yang hanya mengurus rumah tangga, sehingga ini menjadi hambatan bagi perempuan berkesempatan untuk berpartisipasi dalam politik. Hal ini membuat partisipasi politik perempuan menjadi rendah, sehingga representasi perempuan dalam kehidupan politik sangat minim yang menurut Perdana (et.al 2017) disebabkan masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat yang melihat pemimpin adalah laki-laki. Namun, perlahan tapi pasti, kesadaran akan pentingnya partisipasi politik perempuan semakin meningkat. Para perempuan mulai menyadari bahwa mereka memiliki potensi dan kualifikasi yang sama dengan laki-laki untuk berperan dalam politik. Mereka juga mulai menyadari bahwa keberagaman gender dalam politik dapat membawa dampak positif bagi pembangunan negara.

Dengan diberlakukannya kuota pencalonan perempuan minimal 30% memiliki pengaruh terhadap partisipasi perempuan sebagai kontestan dalam pemilu. Apalagi dengan adanya ketentuan diskualifikasi menjadi peserta pemilu apabila dalam suatu daerah pemilihan (Dapil) tidak terpenuhi quota 30% perempuan yang dapat memaksa partai politik untuk memenuhi kuota sebagaimana ketentuan tersebut.

Pada Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2009 sampai dengan Pemilu Tahun Pemilu tahun 2024 ini, terjadi peningkatan angka pencalonan perempuan dalam legislatif terutama di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam Pemilu Tahun 2009 terdapat 31,8 persen perempuan terdaftar sebagai calon anggota legislatif (Caleg) DPR. Selanjutnya di Pemilu Tahun 2014 dengan 12 partai politik terdapat 2.061 orang atau 37,4 persen. Sedangkan di Pemilu Serentak Tahun 2019 , Caleg perempuan tercatat sebanyak 3.200 orang atau 40% dari jumlah keseluruhan caleg DPR. Dan pada Pemilu 2024 KPU mencatat Caleg perempuan sebesar 37,7 persen atau 3.896 orang. Terdapat kenaikan 0,3 persen dari pemilu 2019. Meski mengalami kenaikan jumlah calon perempuan dari pemilu ke pemilu, akan tetapi realitasnya angka keterpilihan perempuan di DPR masih dibawah 30%.

Dari enam kali penyelenggaraan pemilu sejak Pemilu era Reformasi pemilu Tahun 1999, prosentase keterwakilan perempuan di DPR mengalami peningkatan. Pada Pemilu Tahun 1999 yang merupakan pemilu demokratis, belum ada ketentuan kuota afirmasi pencalonan perempuan 30 persen, jumlah keterpilihan perempuan di DPR sebanyak 45 orang atau 9 persen. Namun dalam Pemilu Tahun 2004 dimana ketentuan kuota 30% perempuan diterapkan untuk pertama kalinya, peningkatan angka keterwakilan perempuan yaitu sebesar 11 persen atau sebanyak 61 Caleg perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR. Pada pemilu 2009 jumlah calon perempuan terpilih sebesar 18,4 persen atau sebanyak 101 calon perempuan.

Tren kenaikan prosentase jumlah Caleg perempuan terpilih pada pemilu sebelumnya mengalami penurunan pada Pemilu 2014. Pada pemilu 2014 prosentase keterpilihan Caleg perempuan sebesar 17,6 persen atau 97 orang. Mengalami penurunan sebesar 0,8 persen. Namun, jumlah keterpilihan perempuan di DPR tertinggi adalah di Pemilu Tahun 2019 sebanyak 118 orang atau setara dengan 20,5 persen dari sejumlah 575 anggota DPR. Sedangkan pada pemilu tahun 2024 dengan jumlah total 580 anggota DPR, dimana saat ini masih berproses Pemungutan Suara Ulang (PSU) di beberapa Dapil berdasarkan putusan Permohonan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) oleh Mahkamah Konstitusi. Menurut siaran Pers Perludem, hasil pemilu tahun 2024 untuk DPR , bahwa prosentase keterwakilan perempuan di DPR mencapai 22,1 persen atau 128 kursi. Mengalami peningkatan sebesar 1,6 persen.

Dengan tingkat keterpilihan perempuan di DPR yang masih rendah di bawah angka afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan pada saat proses pencalonan, menandakan bahwa representasi politik perempuan belum sepenuhnya terwakili. Ini artinya jika mengacu kepada pendapat yang dikemukan oleh Nurcahyo (2016) belum menggambarkan representasi politik perempuan dimana representasi politik perempuan cukup penting dalam demokrasi yang ramah gender (gender democracy).

Belum tercapainya keterpilihan perempuan dalam kontestasi pemilu sebagaimana afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan ini sebagai gambaran bahwa masyarakat Indonesia belum sepenuhnya percaya bahwa sejatinya perempuan punya potensi dan kapasitas yang sama dengan laki-laki. Stigma patriakis masih sangat berpengaruh terhadap cara pandang pada umumnya masyarakat. Budaya patriarki masih akrab dalam kehidupan masyarakat. Ini menjadi gambaran bahwa laki-laki masih berada pada posisi di atas perempuan, sebagaimana dikemukakan Nurmila (2015: 2) bahwa masyarakat Indonesia masih menganut sistem patriarki, sehingga posisi perempuan dalam masyarakat masih dipandang tidak melebihi laki-laki. Laki-laki diposisikan sebagai prioritas, unggul dan dominan dalam masyarakat. Penegasan serupa juga disampaikan oleh Yusalia (2014:198) yang menyatakan bahwa budaya patriarki mengacu pada kondisi sosial budaya yang memberikan pandangan bahwa laki-laki adalah superior. Maksudnya adalah bahwa laki-laki berada pada posisi lebih hebat dari perempuan sehingga bisa mengendalikan dan menguasai perempuan.

Budaya seperti ini tumbuh dari waktu ke waktu dan memunculkan mitos-mitos tertentu di masyarakat.
Adanya budaya patriarki juga juga disebabkan oleh pandangan biologis yaitu perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan. Pendapat ini dikatakan oleh Nurcahyo (2016:27) bahwa kenyataan adanya perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis menjadi argumen sebagai titik permulaan terbentuknya budaya patriarki. Menurutnya, Perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak setara. Perempuan yang tidak memiliki otot sebagaimana layaknya lak-laki pada umumnya menjadi alasan menempatkan perempuan berada pada posisi lebih lemah.

Selain disebabkan masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat, juga oleh karena proses rekruitmen kader partai politik yang tidak ramah ramah terhadap isu gender. Hal ini terbukti dengan masih kesulitannya partai politik mendapatkan calon anggota legislatif perempuan. Belum lagi tidak maksimalnya partai politik mendukung keterpilihan calon anggota legislatif perempuan menjadi salah satu faktor penyebabnya. Kalau pun kuaota keterwakilan perempuan ini terpenuhi hanya sebatas memenuhi syarat administrasi supaya terhindar dari diskualifikasi.

Kedepan, agar tercipta lingkungan politik yang lebih inklusif dan representatif, kuota keterwakilan perempuan perlu ditingkatkan, tidak hanya sebesar 30 persen, tetapi bisa ditingkatkan menjadi 50 persen. Artinya secara kuantitas ada kesetaraan jumlah laki-laki dan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif. Ini akan menjadi bahan uji apakah persoalan gender hanya persoalan kesempatan yang artinya adalah jumlah kuota atau karena faktor lain, semisal oleh karena faktor budaya patriarki sebagaimana ulasan di atas. Atau karena faktor perempuan memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda dengan laki-laki.
Untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, diperlukan upaya bersama dari seluruh pihak, baik Pemerintah perlu membuat kebijakan yang mendukung partisipasi politik perempuan, seperti kuota perempuan di DPR. Selain itu, masyarakat juga perlu memberikan dukungan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik tanpa dibayangi oleh budaya patriarki. Satu hal yag penting adalah bahwa partisipasi politik perempuan merupakan langkah penting dalam membangun negara yang lebih demokratis dan berkeadilan serta memberikan manfaat kepada masyarakat.

Penulis adalah:

  • Pemerhati Masalah Sosial Politik
  • Dewan Pakar Pegunu Kota Probolinggo
  • Ketua KPU Kota Probolinggo 2014-2019 & 2019-2024