Makkah, Jurnal9.tv – Manusia mempunyai watak keras, yang tak mau menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kalau maunya A, maka harus dituruti A tersebut. Ini adalah gambaran watak batu. Keras, susah menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi sekitar. Banyak orang gagal melakukan penyesuaian diri, karena kebatuan dirinya. Istilah populernya, ” angel, angel”. Watak ini lebih mementingkan dirinya sendiri. Ia hanya melihat situasi menggunakan ukuran kacamatanya sendiri yang sempit. Berbagai persoalan diukur melalui ukuran dirinya sendiri, tidak peduli situasi, kondisi dan orang lain.
Perjalanan haji adalah perjalanan fisik, spiritual dan akal. Bukan sebuah perjalanan traveling penuh hura-hura, tetapi perjalanan penuh perjuangan keras menghadapi kondisi alam dan situasi yang ruwet. Perjalanan haji adalah perjalanan menuju kenaikan maqam spiritual. Perjalanan ini hanya bisa dibeli dengan jerih payah dan kepasrahan. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa bekal terbaik (haji) adalah ketaqwaan. Bukan uang, jabatan atau lainnya. Siapapun boleh berbekal uang dan jabatan, namun itu bukan bekal terbaik.
Orang berhaji akan dihadapkan dengan suhu cuaca yang sangat panas. Ini tentu tantangan bagi orang tak terbiasa menghadapinya. Menu makanan yang tidak cocok dengan selera akan menjadi problem serius bagi yang sangat perhatian pada selera makanan. Belum lagi problem kasur di tenda/maktab yang berhimpitan, tidak muat, airnya macet, ACnya tidak dingin dan sebagainya. Ini adalah problem keseharian yang bisa menjadi masalah serius bagi jamaah. Problem kerikil jadi batu gunung.
Lempar jumrah, adalah melempar batu yang diarahkan kepada syetan yang menggoda nabi Ibrahim. Di Mina, jamaah haji melakukan lempar jumrah ula, wustha dan aqabah. Nabi Ibrahim sebenarnya tidak sedang berkelahi dengan syetan, tetapi beliau ingin membuang keraguan dalam hatinya, ingin memastikan wahyu yang diterima. Ini bisa menjadi pelajaran bagi jamaah haji, melempar batu pada hakikatnya adalah membuang watak batu dalam dirinya. Manusia harus mampu melempar kebatuan dirinya melalui melemparkan batu ke tugu-tugu simbol syetan.
Watak egois adalah watak batu, watak manja juga demikian. Watak-watak tersebut adalah bagian dari watak syetan. Haji mengajarkan manusia menundukkan watak-watak syaithaniyah dalam diri manusia melalui perjalanan yang melelahkan. Justru di Mina, banyak jamaah haji gagal melakukan membuang watak batu itu, padahal yang dilakukan adalah melempar batu kerikil ke tugu syetan. Mereka lupa banyak “batu” dalam dirinya harus dibuang di Mina.
Jika jamaah haji mampu membuang “batu” yang ada dalam dirinya, maka ia akan bersih batinnya dan siap naik maqam menjadi haji mabrur. Jika gagal, yang terjadi ia pulang membawa “gunung” egoisme yang memberatkan hidupnya, meski ia tetap disebut sebagai haji.
Penulis : M Sururi.