Yogyakarta, jurnal9.tv -Penasehat Presiden Bidang Haji, Prof. DR. H. Muhadjir Effendy, M.Ap. menjadi pembicara pada Pengajian Ramadan 1446 H Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan tema “Pengembangan Wasathiyah Islam Berkemajuan Tinjauan Teologis, Ideologis, dan Praksis. Pengajan digelar Selasa (4/3) di UMY Student Dormitory, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Di hadapan 300-an audien, Muhadjir menegaskan Muhammadiyah harus menjadi kekuatan ekonomi yang mandiri, yang bisa membiayai dirinya sendiri. “Tidak bisa Muhammadiyah mengandalkan bantuan. Muhammadiyah harus mandiri. Karena Muhammadiyah-lah yang mampu bertranformasi seperti itu, dengan modal kader yang disiplin dan jaringan yang luas,” katanya.
Muhadjir mengawali pengajiannya dengan membedah istilah wasathiyah dengan menyitir surat Albaqarah 143. Ummatan wasatan diartikan sebagai pengikut agama yang mengambil jalan tengah atau penganut prinsip moderat. “Wasit, penengah,” katanya.
Sikap itu pula yang ditunjukkan KH Ahmad Dahlan dan KH Ibrahim sebagai as sabiqunal awwalun tidak dijumpai perlawanan terang-terangan kepada pemerintah kolonial. Sekalipun bukan bersetuju dengan mereka. KH Ahmad Dahlan menjalankan sikap akomodatif untuk memuluskan starteginya. “KH Ahmad Dahlan menawarkan diri menjadi guru agama di sekolah pamong projo atau OSVIA,” ungkapnya.
KH Ahmad Dahlan bersikap akomodatif terhadap kebijakan pemerintah kolonial di bidang pendidikan. Berbeda dengan Taman Siswa maupun Boedi Oetomo. “Antara lain dalam bentuk kesediaan Muhammadiyah menerima bantuan guru untuk sekolah particuliere,” terangnya.
Muhammadiyah mengalami transformasi menjadi lebih konfrontatif terhadap pemerintah kolonial seiring menguatnya atmosfir tuntutan kemerdekaan. Maka tampilah pimpinan Muhammadiyah sesuai zamannya seperti KH Hisjam, KH Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo. “Seiring dengan keinginan tokoh-tokoh Islam mengambil peran terhadap arah haluan negara bangsa yang akan lahir,” ungkapnya.
Peran kemasyarakatan dan kebangsaan Muhammadiyah dari waktu ke waktu adalah nyata. “Tidak pernah surut,” tegasnya. Namun, sebagai kekuatan Islam tengahan juga harus melakukan otokritik dan reformulasi.
Hadir dalam pengajian tersebut, Salmah Orbayinah, Ketua Uum PP Aisyiyah; HM Sayuti, Sekretaris PP Muhammadiyah, Irwan Akib, Syamsul Anwar, Bambang Setiaji, dan Ahmad Dahlan Rais. Nazaruddin Malik, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Muchlas, Rektor Universitas Ahmad Dahlan, dan Achmad Nurmandi, Rektor UMY. Dan tentu saja, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir.
Dalam paparannya Haedar Nashir menggarisbawahi bahwa gerakkan Muhammadiyah berbeda dengan gerakan-gerakan Islam sebelumnya. “Muhammadiyah tidak pernah bercita-cita mendirikan Islamic State, namun Muhammadiyah bercita-cita mewujudkan Islamic Society,” katanya.
Menurut Haedar, Muhammadaiyah itu wasathiyah dengan karakter berkemajuan. “Gerakan Islam yang modern. Harus bisa memberika alternatif. Karena pemikiran KH Ahmad Dahlan itu pemikiran yang melampaui zamannya,” uangkapnya. (*)