Indonesia Butuh Energi Alternatif, Gusdurian: Libatkan Ormas Kelola Tambang Tidaklah Tepat

Yogyakarta, jurnal9.tv -Jaringan GUSDURian meminta Presiden Joko Widodo meninjau ulang keputusan memberikan komsesi izin pada organisasi keagamaan mengelola tambang batu bara dan mineral. keputusan ini secara hukum bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang di dalamnya mengatur tentang pemberian izin usaha tambang, di mana penerima izin usaha tambang adalah badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan dengan cara lelang.

Inayah Wahid, Pokja Keadilan Ekologi Jaringan Gusdurian, Selasa (11/6) menyatakan keputusan ini ironis, karena seharusnya ormas keagamaan ditempatkan sebagai kekuatan penjaga moral, nilai, dan etika bangsa, serta pendampingan umat demi kemaslahatan dan kesejahteraan, termasuk penyelamatan bumi dengan penggunaan energi baru dan ekonomi hijau yang lebih ramah lingkungan.

Polemik tambang untuk ormas ini muncul menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Aturan baru itu menyertakan pasal 83A yang memberikan kesempatan organisasi keagamaan untuk memiliki Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).

Inaya menengarai adanya proses pengambilan keputusan penyelenggara negara yang berpotensi penyalahgunaan kewenangan. Menurutnya, Industri pertambangan di Indonesia penuh dengan tantangan lingkungan dan etika, termasuk degradasi lahan, penggundulan hutan, dan penggusuran masyarakat lokal. “Selama ini Jaringan GUSDURian telah mendampingi berbagai kasus semacam ini, seperti kasus Wadas, Kendeng, Tumpang Pitu, Gorontalo, Pandak Bantul, Banjarnegara, Mojokerto, dan lain-lain,” cetusnya.

Menurut Inaya, pelibatan organisasi keagamaan sebagai entitas penerima ‘hadiah’ izin pertambangan oleh Presiden memunculkan diskursus tentang peran organisasi kemasyarakatan selama ini sebagai penjaga moral etika bangsa, termasuk dalam hidup bermasyarakat dan
penyelenggaraan negara, termasuk di dalamnya kebijakan industri ekstraktif. Idealnya, kata putri bungsu Gus Dur ini, organisasi keagamaan terus mengingatkan pemerintah untuk mengambil setiap kebijakan berbasis prinsip etik. “Selain itu, keterlibatan organisasi keagamaan dalam sektor pertambangan menimbulkan banyak risiko turunan,” cetusnya.

Menurut Inaya, Watak organisasi keagamaan yang memiliki banyak pengikut di akar rumput, sementara industri pertambangan memiliki watak seperti di atas, membuat keterlibatan organisasi keagamaan berpotensi menciptakan ketegangan sosial apabila terjadi persoalan di tingkat lokal. “Jumlah organisasi keagamaan yang jumlahnya sangat banyak, termasuk di daerah-daerah, sehingga sangat mungkin terjadi kerumitan pada tingkat pelaksanaan yang bisa berujung kepada makin besarnya penyalahgunaan wewenang pengambil kebijakan,” tambahnya.

Inaya juga mengingatkan saat ini dunia masuk era baru, banyak negara di dunia yang mulai mencari energi alternatif agar ketergantungan pada batu bara bisa dihentikan dalam beberapa tahun ke depan. Aktivitas tambang batu bara secara global, menurutnya, sudah dikategorikan sebagai bahan bakar kotor dikarenakan prosesnya yang merusak alam dan menghasilkan polutan berbahaya. Bisnis ini merupakan bagian dari industri ekstraktif yang mengolah dan menguras sumber daya alam yang bisa menimbulkan penghancuran habitat, mengakibatkan polusi, dan penipisan sumber daya,
serta bencana alam lainnya.
Jaringan GUSDURian sebagai organisasi yang berupaya melanjutkan nilai, pemikiran, dan keteladanan Gus Dur mengkritisi peraturan tersebut. “Rekam jejak Gus Dur menunjukkan
konsistensinya menolak industri ekstraktif yang merusak sumber daya alam dan mengeksklusi rakyat dari ruang hidupnya,” tandas Inaya.

Dalam catatan Inaya, Gus Dur adalah satu-satunya presiden Indonesia yang tidak pernah memberikan konsesi tambang serta melakukan moratorium penebangan hutan untuk keberlanjutan kelestarian ekosistem. Karena itu, Inaya meminta pemerintah tegas melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan yang selama ini terjadi serta melakukan pemulihan dampak sosial ekologis akibat perampasan lahan, penggusuran, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam. “Kami mengajak warga masyarakat untuk terus mengkritisi kebijakan pemerintah dan memastikan bahwa penyelenggaraan negara tetap sesuai dengan konstitusi dan diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat,” tegasnya (*)