banner 728x250
HUKUM  

Hufron, Pakar Hukum Tata Negara, Kabinet Merah Putih 2024: Koordinasi dan Doelmatigheid van Bestuur

Surabaya, jurnal9.tv -Prabowo Subianto resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, di Gedung Nusantara MPR-DPR-DPD RI, Jakarta, pada Minggu pagi. Pelantikan tersebut menandai dimulainya era baru pemerintahan Indonesia dengan susunan kabinet yang lebih besar dan ambisius dibandingkan kabinet sebelumnya.

Dalam pelantikan ini, Presiden Prabowo memperkenalkan Kabinet Merah Putih, yang berisi 48 menteri, 56 wakil menteri, dan 5 kepala badan. Kabinet ini jauh lebih besar dibandingkan kabinet pemerintahan Jokowi-Ma’ruf yang hanya memiliki 34 menteri dan 17 wakil menteri. Peningkatan jumlah menteri dan wakil menteri ini menjadi sorotan berbagai pihak, menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dan efisiensi pemerintahan baru ini.

Tinjauan Yuridis atas Jumlah Menteri

Menanggapi hal ini, Dr. Hufron, SH., MH., pakar hukum tata negara dari Universitas 17 Agustus Surabaya, menyatakan bahwa secara yuridis tidak ada masalah dengan jumlah menteri yang ditunjuk Presiden Prabowo. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam undang-undang tersebut, jumlah kementerian tidak lagi dibatasi, melainkan ditentukan berdasarkan kebutuhan pemerintahan yang sedang berjalan.

“Jadi, secara hukum tidak ada batasan jumlah menteri selama sesuai dengan kebutuhan presiden. Ini disebut dengan Rechtmatigheid van bestuur atau legitimasi hukum pemerintah,” ujar Dr. Hufron.

Tantangan Efisiensi dalam Pemerintahan

Meskipun demikian, banyak pihak yang mempertanyakan apakah kabinet yang besar ini mampu bekerja secara efektif. Istilah Doelmatigheid van bestuur atau asas kemanfaatan pemerintahan, menjadi penting dalam menilai efektivitas kabinet baru ini. Kabinet yang besar memang memungkinkan pembagian kerja yang lebih spesifik, namun di sisi lain juga membawa tantangan dalam hal koordinasi, sinkronisasi, dan biaya anggaran.

Menurut Dr. Hufron, kabinet yang terdiri dari banyak menteri ini akan diuji dalam enam bulan pertama, terutama dalam hal apakah mereka dapat menunjukkan program-program nyata yang berdampak pada masyarakat luas. Salah satu kekhawatiran utama adalah kemungkinan terjadinya tumpang tindih kewenangan antar kementerian, terutama jika koordinasi dan sinkronisasi tidak berjalan dengan baik.

“Peningkatan jumlah kementerian bisa menimbulkan tantangan besar terkait dengan koordinasi, karena kementerian-kementerian yang baru dipecah harus memastikan tugas pokok dan fungsinya jelas. Jika tidak, kita akan melihat overlapping kewenangan yang dapat memperlambat pengambilan keputusan,” tambah Dr. Hufron.

Koordinasi dan Tantangan Birokrasi

Tantangan lain dari kabinet yang besar ini adalah persoalan sinkronisasi antar kementerian, khususnya pada kementerian yang memiliki lingkup kerja yang mirip. Sebagai contoh, adanya pemecahan di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menjadi beberapa kementerian baru yang terfokus pada keamanan dan hak asasi manusia. Hal ini, menurut Hufron, harus diikuti dengan penajaman tugas dan fungsi masing-masing kementerian agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.

Lebih lanjut, Dr. Hufron menekankan pentingnya sinkronisasi antara kementerian-kementerian yang berurusan dengan isu-isu serupa, seperti Kementerian Hukum dan Kementerian HAM. Jika tidak ada koordinasi yang jelas, pelaksanaan program-program strategis pemerintah bisa tersendat. Dalam konteks ini, asas Doelmatigheid van bestuur menjadi krusial, karena keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan akan diukur berdasarkan manfaat nyata yang dirasakan masyarakat.

Efektivitas dan Reformasi Birokrasi

Selain persoalan koordinasi, Dr. Hufron juga menyinggung kemungkinan adanya persoalan anggaran dalam pengelolaan kabinet yang besar. Dengan bertambahnya jumlah kementerian, wakil menteri, dan badan-badan baru, beban anggaran negara juga meningkat. Hal ini bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi yang mendorong pemerintahan yang ramping, lincah, dan efisien.

Namun demikian, pemerintahan Prabowo-Gibran telah menegaskan bahwa kabinet besar ini bertujuan untuk memperkuat efektivitas pemerintahan dalam menghadapi tantangan global dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Dalam hal ini, masyarakat dan para pengamat akan menunggu dan mengevaluasi apakah kabinet besar ini mampu menjalankan tugasnya dengan tangkas dan efisien.

Pada akhirnya, meski kabinet besar ini memberikan tantangan tersendiri, Presiden Prabowo yakin bahwa kabinet ini akan mampu mempercepat pelaksanaan visi dan misi pemerintah. Efektivitas kabinet akan diuji oleh hasil nyata yang dapat dirasakan masyarakat dalam beberapa bulan ke depan.