Yogyakarta, jurnal9.tv -Sebuah diskusi kolaborasi interaktif mengenai seni dan pesantren bertema “Mozaik Pesantren: Menyulam Inspirasi Maestro Seni Dalam Harmoni Transformasi Sosial”, Minggu, (23/2) digelar di Asrama Mahasiswa Sunan Komplek H, Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta. Hadir tak kurang 150 peserta dari berbagai kalangan mulai mahasantri, akademisi, pegiat seni dan bahkan kyai dan pengurus asrama. Tampil sebagai pembicara kunci studium general, seniman lukis Indonesia yang memiliki reputasi internasional, Nasirun, S.Sn. dan Ketua Lesbumi PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta, Gus Awwaluddin, S.Sos.
Mengawali paparannya, Gus Awwaludin, memperkenalkan bentuk seni yang ditulis Prof. Dwi Marianto dalam bukunya ‘Art & Levitation’ Gus Awwaludin menegaskan sebagai sebuah ekspresi, maka seni bisa berwujud bentuk yang menunjukkan pemaknaan dari seorang seniman atas kehidupan. Kalau Seni rupa menggambarkan sesuatu yang tak tergambarkan, maka seni sastra menbahasan sesuatu yang tak terkata-katakan. “Sementara, seni musik melagukan sesuatu yang tak ternadakan,” jelasnya.
Dalam pandangan Gus Awwaluddin, seni dapat tumbuh secara progresif dalam dunia pesantren, karena pesantren sejatinya sebuah gudang seni dengan kiai sebagai senimannya. Mahakarya yang dihasilkan dari proses pendidikan pesantren dan kyai, lanjutnya adalah seorang santri yang cakap terhadap berbagai lini kehidupan, seperti mengaji sebagai bentuk aktivitas transendental kepada Tuhan melalui jalur keilmuan serta mengabdi dan bermasyarakat sebagai bentuk aktivitas sosial kemanusiaan. “Jadi, tanpa perlu diulas lebih lanjut pesantren merupakan representasi dan wujud nyata dari salah satu produser seni di kehidupan ini,” tegasnya.
Sorogan dan Seni
Dalam perspektif pegiat seni rupa, Cak Nasirun lebih melihat seni dan pesantren dari salah satu tradisi kepesantrenan, yakni sorogan. Relasi kiai dan santri dalam sorogan memiliki linieritas dengan dunia seni karena memiliki makna model pembelajaran antara siswa secara vertikal terhadap guru dengan hak otoritatif seorang guru dalam memberikan pengarahan dan pembelajarannya. “Metode sorogan ini pada realitasnya terbukti telah memberikan model pembelajaran yang efektif pada tahap perkembangan intelektualitas seorang santri di pesantren,” ungkapnya.

Dalam dunia kesenian, lanjut Cak Nasirun, sorogan yang dilakukan oleh seorang seniman ialah dengan mengupayakan pelestarian karya ataupun legacy dari para seniman terdahulu, karena seni memiliki dua hal yang bersifat probabilitas, yaitu ekspresi dan apresiasi. Menurutnya, apresiasi terhadap karya seni dan legacy seniman terdahulu merupakan alternatif untuk melakukan sorogan dalam bidang seni yang bertujuan untuk melahirkan sanad kabudayan. “Sanad kabudayan inilah yang nantinya menjadi alat validitas bagi seorang seniman dalam menciptakan karya seni, ucap Cak Nasirun, sambil menegaskan sudah seyogyanya pesantren menjadi vivarium katalisator dalam merawat dan meneruskan strategi dakwah para pendahulu yakni walisongo melalui pendekatan seni dan budaya.
Atas berlangsungnya kegiatan ini, Faizal Basri, Lurah Komplek H Pondok Pesantren Krapyak memberikan apresiasi kepada semua pihak dan berharap studium general seni ini bisa menambah ilmu para santri. Seni yang diartikan oleh Susanne K. Langer
sebagai ekspresi yang diciptakan melalui indra dan pencitraan, mengandung substansi bahwa perspektif seni bersifat subjektif dan bebas. Siapapun, termasuk memiliki hak esensial dalam berekspresi untuk dituangkan melalui varietas seni dalam bentuk seni rupa, seni theater, seni musik dan seni sastra. “Karena itu, bagi kami para santri, seni adalah bahasa universal yang menyatukan, menginspirasi dan membawa perubahan,” tambahnya.(*/Shevchenko Rizky)
Untuk diskusi lengkapnya bisa disaksikan di link berikut: