Oleh: Zaenol Hasan (Dosen Ma’had Aly dan STIS Nurul Qarnain Jember)
Apakah penjualan emisi karbon dapat benar-benar menyelesaikan krisis lingkungan, atau justru hanya menjadi bentuk komodifikasi polusi? Di tengah perdebatan global mengenai cara terbaik untuk menangani emisi karbon dan gas rumah kaca, pertanyaan ini semakin relevan untuk dijawab, terutama dalam konteks perspektif Islam, yang menempatkan manusia sebagai khalifah (pemimpin) yang bertanggung jawab atas bumi.
Di era modern ini, permasalahan lingkungan menjadi salah satu isu yang paling mendesak untuk diatasi. Polusi udara, salah satunya melalui peningkatan emisi karbon, berdampak serius terhadap keseimbangan ekosistem dan kehidupan manusia. Salah satu solusi yang diperkenalkan di tingkat global adalah penjualan emisi karbon atau perdagangan karbon ( carbon trading ). Namun, dari perspektif Islam, solusi ini memerlukan tinjauan yang mendalam, terutama dalam kerangka fiqh bi’ah , yang mengatur tentang tanggung jawab manusia terhadap lingkungan.
Fiqh bi’ah atau fiqh lingkungan adalah cabang hukum Islam yang mengatur tata kelola lingkungan dan alam semesta. Dalam Islam, manusia dianggap sebagai khalifah (pemimpin) di bumi, yang bertanggung jawab menjaga dan melestarikan alam. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“هوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا”
“ Dialah yang menjadikan kamu dari bumi (tanah) dan memerintahkan kamu memakmurkannya ” (QS. Hud: 61).
Ayat ini menegaskan bahwa manusia diperintahkan untuk menjaga keseimbangan lingkungan, bukan merusaknya. Sejalan dengan ini, terdapat larangan untuk berbuat kerusakan di muka bumi, sebagaimana firman Allah:
“وَلا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا”
“ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya ” (QS. Al-A’raf: 56).
Dari sini jelas bahwa menjaga kelestarian alam merupakan perintah syariah yang tidak dapat ditawar-tawar.
Salah satu permasalahan lingkungan yang sangat mendesak saat ini adalah meningkatnya emisi karbon dioksida ( CO2 ) yang dihasilkan dari aktivitas manusia, terutama industri dan transportasi. Gas rumah kaca seperti karbon dioksida berkontribusi besar terhadap perubahan iklim, yang pada akhirnya mengakibatkan pemanasan global, mencairnya es di kutub, hingga pergeseran cuaca ekstrem.
Dampak dari emisi karbon ini tidak hanya terbatas pada kerusakan lingkungan secara fisik, tetapi juga memiliki dampak langsung terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Fenomena seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan adalah sebagian dari dampak yang dirasakan masyarakat global. Di sinilah muncul perdebatan mengenai cara efektif untuk mengurangi emisi karbon, salah satunya melalui mekanisme perdagangan karbon.
Penjualan Emisi Karbon: Solusi atau Ancaman?
Penjualan emisi karbon adalah mekanisme di mana perusahaan yang memproduksi lebih banyak emisi dari batas yang ditentukan dapat membeli ” kuota ” emisi dari perusahaan lain yang menghasilkan emisi lebih sedikit. Secara teori, hal ini bertujuan untuk mengurangi emisi secara bertahap di seluruh dunia. Namun, dalam perspektif fiqh bi’ah , mekanisme ini menimbulkan beberapa pertanyaan penting.
Pertama, apakah perdagangan emisi karbon sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam? Islam mengajarkan pentingnya al-‘adl (keadilan) dalam segala aspek kehidupan. Dalam konteks perdagangan karbon, beberapa negara berkembang merasa dirugikan karena mereka harus menanggung dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh negara-negara maju yang memiliki industri besar. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan, di mana pihak yang lebih banyak merusak harus bertanggung jawab lebih besar.
Kedua, penjualan emisi dapat dilihat sebagai bentuk komodifikasi polusi. Ini berarti polusi tidak dihilangkan, melainkan diperjualbelikan. Padahal, Islam sangat menekankan pada upaya meminimalkan kerusakan dan pencemaran. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan:
“اتَّقُوا اللعانَيْنِ، قَالُوا: وَمَا اللعانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ”
“ Jauhilah dua perbuatan yang mendatangkan laknat. Para sahabat bertanya, ‘Apakah dua perbuatan itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang buang hajat di jalan umum atau di tempat berteduh ” (HR. Muslim).
Hadis ini menunjukkan larangan keras untuk mencemari lingkungan atau tempat yang digunakan oleh orang banyak. Dari sini, jelas bahwa Islam tidak hanya melarang kerusakan langsung, tetapi juga segala bentuk tindakan yang menyebabkan polusi atau merugikan orang lain.
Dari sudut pandang fiqh bi’ah , solusi atas krisis emisi karbon tidak semata-mata bisa diselesaikan dengan memperjualbelikan kuota emisi. Tindakan proaktif yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam adalah mengurangi emisi di sumbernya. Beberapa langkah yang relevan dengan kehidupan di era digital saat ini meliputi:
Pertama , Penggunaan Teknologi Hijau: Islam sangat mendorong penggunaan teknologi untuk kebaikan umat manusia. Di era digital ini, umat Islam dapat mendorong penggunaan teknologi yang ramah lingkungan seperti energi terbarukan (solar, angin, dan sebagainya) yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Kedua , Investasi dalam Energi Bersih melalui Wakaf dan Zakat: Salah satu solusi inovatif adalah memanfaatkan dana wakaf dan zakat untuk mendukung proyek-proyek energi bersih. Wakaf dapat digunakan untuk membangun infrastruktur energi terbarukan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat luas, sedangkan zakat dapat diarahkan untuk membantu negara-negara berkembang beralih ke teknologi yang lebih ramah lingkungan.
Ketiga , Pendidikan dan Kesadaran Lingkungan: Di era digital, informasi dapat disebarkan dengan cepat dan luas. Umat Islam perlu meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan melalui pendidikan berbasis digital, kampanye sosial media, serta program-program pendidikan yang fokus pada tanggung jawab ekologis menurut syariah.
Keempat , Kerja Sama Global Berdasarkan Prinsip Islam: Dunia digital memungkinkan terciptanya kolaborasi yang lebih luas. Umat Islam dapat berperan aktif dalam kerja sama internasional yang mendukung kebijakan pengurangan emisi secara global, dengan tetap mengedepankan prinsip keadilan dan menjaga maslahah (kesejahteraan umum).
Alhasil, dalam perspektif fiqh bi’ah , penjualan emisi karbon tidak sepenuhnya sejalan dengan prinsip keadilan dan tanggung jawab ekologis dalam Islam. Solusi yang lebih tepat adalah mengurangi emisi di sumbernya, mengembangkan teknologi ramah lingkungan, dan memanfaatkan instrumen keuangan syariah seperti zakat dan wakaf untuk mendukung transisi menuju ekonomi hijau ( Green Economic ). Dengan demikian, umat Islam dapat berperan aktif dalam menjaga bumi dari kerusakan, sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah.