Madinah, jurnal9.tv -Keberangkatan jemaah haji Indonesia dari Madinah ke Makkah tahun ini tak hanya diwarnai antusiasme ibadah, tapi juga tantangan teknis yang berdampak langsung terhadap lansia dan penyandang disabilitas. Salah satu masalah yang mencuat adalah potensi terpisahnya jemaah dari pendampingnya, akibat sistem distribusi yang diatur oleh delapan syarikah (perusahaan layanan haji).
Namun, di balik tantangan tersebut, Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Daerah Kerja Madinah menunjukkan respons cepat dan inovatif. Petugas haji di berbagai sektor Madinah melakukan langkah di luar standar operasional prosedur (SOP) untuk memastikan jemaah disabilitas dan lansia tetap mendapatkan perlakuan manusiawi dan inklusif.
“Mereka berani mengambil keputusan penting, mencabut jemaah dari manifest dan memisahkan dari rombongan agar tetap bisa berangkat bersama pendampingnya. Ini langkah luar biasa, dan kami beri apresiasi setinggi-tingginya,” ujar Deka Kurniawan, Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) saat melakukan pemantauan langsung di Madinah, Selasa (20/5).
Deka menyebut langkah ini bukan hanya teknis administratif, tapi wujud nyata dari empati dan kemanusiaan. Banyak dari jemaah yang mengalami disabilitas, termasuk lansia dengan demensia, akan sangat rentan jika diberangkatkan tanpa pendamping. “Mereka bisa mengalami pemicu kejiwaan yang memperparah kondisi mentalnya,” jelas Deka.
Sebelumnya, sistem distribusi keberangkatan oleh syarikah berpotensi menyebabkan jemaah terpisah dari keluarga atau pendamping medis. Dalam beberapa kasus, jemaah disabilitas atau lansia bahkan sempat diberangkatkan ke Makkah tanpa pendampingnya. Kata Deka, ini bisa menyebabkan kebingungan, linglung, bahkan laporan jemaah hilang.
Namun, setelah situasi ini dipahami secara menyeluruh, PPIH Madinah bersama KND segera melakukan pemetaan dan mitigasi. Jemaah-jemaah yang berisiko dikumpulkan di hotel transit, kemudian diberangkatkan secara mandiri dalam kelompok yang lebih terkendali, bersama pendamping atau keluarga. “Ini tidak ada di SOP, tapi dilakukan karena ada rasa kemanusiaan,” ungkap Deka.
Tim PPIH juga aktif melakukan pendataan lanjutan ke berbagai hotel untuk mengidentifikasi jemaah yang berpotensi mengalami masalah. Para petugas diminta turun langsung, menyisir kamar-kamar untuk menanyakan kondisi jemaah lansia, mereka yang memiliki gangguan kognitif, atau yang secara fisik memerlukan pendampingan ekstra. Tujuannya agar tidak ada jemaah yang ‘terpaksa’ berangkat tanpa kesiapan.
“Kami briefing langsung para petugas di sektor lansia dan disabilitas agar memetakan kebutuhan pendamping. Kami tidak menunggu besok, sore ini harus dapat datanya agar bisa diantisipasi lebih awal,” ujar Deka.
KND memandang kebijakan PPIH Madinah ini sebagai perubahan positif dibandingkan awal musim haji, ketika sistem syarikah belum sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Bahkan, Deka menilai layanan di Madinah saat ini mengalami peningkatan nyata dalam proses dan hasilnya, berkat inovasi di lapangan.
“Ini adalah kemajuan besar. Inisiatif petugas bukan hanya soal negosiasi, tapi juga perhatian personal. Seperti menenangkan, memberi makan, bahkan memijit jemaah yang stres. Ini belum banyak diketahui orang, tapi sangat berdampak,” ujarnya.
Deka juga menegaskan bahwa tema haji ramah lansia dan disabilitas tidak boleh hanya menjadi slogan. Ia berharap pengalaman tahun ini menjadi pelajaran berharga untuk penyelenggaraan tahun depan yang sudah berada di bawah koordinasi Badan Pengelola Haji (BPKH).
“Kebutuhan pendamping, jumlah jemaah disabilitas, hingga aksesibilitas hotel harus menjadi bagian dari perencanaan sejak awal,” tandasnya.
Dengan semangat kolaborasi dan keberanian melampaui SOP demi kemanusiaan, langkah-langkah ini menunjukkan bahwa PPIH Madinah benar-benar beradaptasi dan bertindak cepat saat masalah nyata muncul.
Haji yang ramah disabilitas dan lansia bukan lagi cita-cita di atas kertas, tetapi sedang dibangun nyata di lapangan, hari demi hari.