Surabaya, jurnal9.tv -Langkah DPR yang memaksakan perubahan Undang-Undang Pilkada bisa dianggap sebagai Pembangkangan Konstitusi dan dapat memicu adanya Krisis Konstitusi, mengingat secara yuridis konstitusional putusan MK berdasarkan Pasal 24C UUD 1945 memiliki kekuatan final dan mengikat. Sejak dibacakan, maka putusan MK telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat semua lembaga negara yang ada, termasuk DPR serta seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, kengototan DPR bisa menimbulkan perlawanan rakyat, dalam bentuk pembangkangan sipil terhadap pelaksanaan Pilkada dan bisa menurunkan legitimasi kepemimpinan daerah.
Demikian disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Dr Hufron, SH., MH., Kamis (23/8) menanggapi penolakan keras mahasiswa, kalangan akademik, aktivis demoktrasi dan masyarakat luas terhadap rencana sidang pariputna pengambilan DPR RI dengan agenda pengambilan keputusan
Usulan Badan Legislatif (Baleg) DPR RI terkait revisi UU Pilkada. Rapat paripurna itu ternyata urung digelar, karena tidak memenuhi syarat quarom rapat dan akhirnya DPR kembali menggunakan putusan MK. “DPR mencoba mencari opsi antara mengikuti putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 atau Putusan MA No. 23.P/HUM/2024, terkait batas usia calon kepala daerah dihitung pada saat penetapan atau pelantikan.
Asumsi bahwa butuh Perubahan UU Pilkada untuk menetapkan apakah mengikuti amar putusan MK atau MA tidaklah tepat, karena hal tersebut bukan opsional atau pilihan tapi adalah sebuah kepastian hukum untuk mengikuti putusan MK,” tegas Hufron.
Doktor Hukum jebolan Universitas Brawijaya ini menunjukkan dasar hukum pendapatnya, yakni pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), yang menyebutkan salah satu materi muatan undang-undang adalah Tindak lanjut dari putusan MK. Menurutya, kewenangan DPR membentuk UU diatur dalam konstitusi, tetapi bilamana hendak melakukan perubahan UU Pilkada, maka DPR RI terikat oleh putusan Mahkamah Konstitusi. “Jika ternyata DPR kemudian tidak mengindahkan putusan MK, berarti DPR telah secara kasat mata dan telanjang menabrak konstitusi atau melakukan pembangkangan konstitusional atau constitutional disobedience,” tegasnya.
Hufron menyebut, bilamana proses legislasi dalam rangka perubahan RUU Pilkada dipaksakan oleh DPR dan Presiden untuk disetujui bersama, hal tersebut akan berpotensi melahirkan krisis konstitusi atau constitutional crisis yang tidak berujung dan berkepastian hukum.
Ia memisalkan, RUU Pilkada dibahas dan disetujui bersama antara DPR dan Presiden, setelah itu disahkan Presiden sebagai UU Pilkada, maka UU Pilkada tersebut ada potensi untuk dilakukan Judicial Review ke MK oleh masyarakat yang merasa proses legislasinya tidak benar dan tidak melalui proses partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation. Dan terdapat kemungkinan juga, lanjut Hufron, MK akan membatalkan UU Pilkada itu, kemudian parlemen lakukan perubahan lagi, begitu seterusnya, sementara proses dan pentahapan pilkada serentak 2024 sudah di depan mata.
“Oleh karena itu, saya khawatir akan terjadi krisis konstitusional, dan akan berpengaruh terhadap legalitas dan legitimasi hasil pilkada, termasuk legitimasi Pasangan kepala daerah yang terpilih.
Di samping itu, Gufron juga menyebutkan adanya potensi ‘perlawanan’ atas pembangkangan konstitusional oleh Parlemen, berupa pembangkangan oleh masyarakat sipil atau civil society disobedience.
Masyarakat bisa memboikot pelaksanaan pilkada serentak 2024, dan akan sangat berbahaya karena tingkat partisipasi pilkada serentak menjadi rendah, sehingga menurunkan tingkat legitimasi kepala daerah terpilih. “Bilamana proses pembangkangan masyarakat sipil semakin meluas akselerasinya dikhawatirkan terjadi konflik horizontal yang berujung terhadap disintegrasi Bangsa,” tambahnya.
Hufron menghimbau semua pihak, mulai DPR, pemerintah, masyarakat, dan semua elemen masyarakat untuk mencegah terjadinya krisis dan pembangkangan konstitusi serta pembangkangan sipil. “Kita tidak berharap adanya DPR atau DPRD Jalanan, yang bisa memicu terjadinya Reformasi Jilid II,” katanya mengingatkan. (*)