Blitar, jurnal9.tv -Program perhutanan sosial tidak hanya menyangkut lahan semata. Ada banyak aspek yang harus diperhatikan yang akan berdampak pada keberhasilan program perhutanan sosial. Aspek sumber daya manusia, teknologi, bisnis dan lainnya.
PBNU sangat konsern pada program perhutanan sosial. Lebih dari 32 ribu desa seluruh Indonesia hidup dalam garis kemiskinan. Jika mengacu pada data afiliasi warga Indonesia terhadap NU yang mayoritas, maka bisa dipastikan bahwa warga miskin yang hidup di kawasan hutan adalah warga NU. Oleh karena itu, PBNU harus mengurusi kesejahteraan warga NU yang hidup di kawasan hutan.
“NU yang selama ini lebih mengurusi hal-hal keagamaan, namun sekarang harus serius memperhatikan kesejahteraan warganya”, demikian pernyataan Tri Candra Aprianto, Koordinator Nasional Perhutanan Sosial NU. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Lokakarya “Membangun Peluang Kemitraan dalam Rangka Ketahanan dan Kesejahteraan Masyarakat” di Pendopo Ronggo Hadi Negoro, Kabupaten Blitar.
Masalah hutan adalah masalah global. Masyarak Eropa misalnya, mengaitkan ekspor produk dari Indonesia dengan kehutanan di Indonesia. Perlu pembuktian kepada dunia, bahwa masyarakat adalah pihak yang layak dipercaya dalam mengelola hutan.
“kita harus bekerjasama dengan banyak pihak, agar tujuan perhutanan sosial benar-benar bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, imbuh Candra, demikian akrab dipanggil. Banyak praktek pengelolaan hutan selama ini hanya memakmurkan konglomerasi. Belajar dari masa lalu, maka Candra mengingatkan,”jangan sampai proses Off Taker menjadi Take over”, proses bantuan dari pihak lain menjembatani produksi hasil hutan, kemudian berubah menjadi penguasaan hutan oleh para pelaku bisnis. Masyarakat kembali jadi penonton dari program perhutanan.
Nilai lebih dari proses pembangunan hutan, seperti penggunaan teknologi tepat guna, nilai ekonomi dan lainnya, harus kembali ke desa, kembali ke masyarakat. Dengan demikian mengelola hutan akan menjadi mata pencaharian yang diminati oleh generasi muda.