OPINI  

Gen Z, FOMO, dan Kontestasi Politik

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pemilu 2024. Pemilih dari generasi Milenial mendominasi dengan jumlah 66,8 juta atau 33,6 persen , pemilih dari Gen Z sebesar 46,8 juta atau 22,85 persen, jadi pemilih Gen Z dan Milenial sebesar 56,45 persen dari total pemilih, sebuah ceruk pemilih yang sangat besar untuk diperebutkan oleh kontestan politik yang akan berlaga pada pemilu 2024.

Kali ini saya tidak akan membahas tentang pemilih Milenial, tulisan ini akan fokus pada Gen Z, pertama karena sebagian besar dari mereka adalah pemilih pemula, dan kedua, mereka memiliki perilaku yang berbeda dengan generasi Milenial.

Saya menyebut Gen Z sebagai mobile generation. Berbeda dengan generasi Milenial yang mengenal smartphone sejak usia remaja, Gen Z sudah mengenal dan menggunakan smartphone sejak usia dini, ini berimbas pada penetrasi internet Gen Z lebih tinggi dibanding Milenial, survei Alvara Research Center pada tahun 2022 menyebutkan 98,8 persen Gen Z sudah terkoneksi dengan internet, sebagian besar dari mereka akses internet lebih dari 7 jam dalam satu hari.

Begitu dominannya penggunaan media digital tersebut tentu berpengaruh sangat besar terhadap segala aspek kehidupan mereka, mereka memiliki ketergantungan yang sangat tinggi dan tidak bisa dipisahkan dari smartphone yang mereka genggam.

Lalu apa implikasi ketergantungan Gen Z terhadap internet ini? Pertama, sebagian besar informasi yang mereka dapatkan bersumber pada smartphone mereka. Informasi yang mereka dapatkan pun bukan dengan kesengajaan atau kesadaran mereka, mereka tidak memiliki intensi untuk mencari informasi. Informasi yang meraka dapatkan sebagian besar ”didrive” oleh algoritma sosial media. Gen Z adalah ”generasi algoritma”.

Kedua, Survei Alvara Research Center tahun 2022 menghasilkan bahwa Gen Z lebih rentan stress dan diliputi kecemasan, sebesar 28,3 persen Gen Z merasa cemas, angka ini lebih tinggi dari Milenial dan Gen X.  Survei ini juga menyebutkan kecemasan Gen Z sebagai besar disebabkan oleh kecemasan yang berkaitan dengan masa depan mereka. Hasil survei Alvara tersebut ternyata selaras dengan hasil survei yang dilakukan oleh Mckinsey tahun 2023. Survei yang dilakukan terhadap 42  ribu responden di 26 negara termasuk Indonesia dan dirilis bulan April 2023 itu menyebutkan bahwa 18 persen Gen Z mengalami masalah kesehatan mental, angka ini juga lebih tinggi dibanding Milenial dan Gen X.

Lalu apa penyebab Gen Z paling dominan dilanda kecemasan? Menurut hasil riset Mckinsey tersebut penyebabnya karena Gen Z terjangkiti fenomena FOMO (Fear of Missing Out) akibat penggunaan social media yang berlebihan.

Menurut Lexico Dictionaries, FOMO merupakan perasaan cemas yang timbul karena sesuatu yang menarik dan menyenangkan sedang terjadi, sering disebabkan karena unggahan di media sosial. FOMO didefinisikan sebagai rasa takut karena tertinggal atau tidak mengetahui peristiwa, informasi, atau pengalaman, dan orang lain mendapat pengalaman berharga dari sesuatu tersebut.

Fenomena ticket war berbagai konser musik dan event olah raga yang kerap terjadi akhir-akhir ini juga oleh sebagian pengamat pemasaran sebagai akibat dari FOMO yang masif terjadi di Indonesia terutama anak muda.

Fenomena FOMO sangat kuat di Gen Z juga disebabkan oleh kerakteristik Gen Z yang memiliki rasa ingin tau atau kepo yang sangat besar, bahkan dalam survei Alvara Research Center menuruk Gen Z salah satu kunci sukses mereka dimasa depan adalah curiosity, rasa penasaran atau keingintahuan yang besar terhadap sesuatu.

FOMO tidak selamanya berakibat buruk selama masih bisa dikendalikan, tapi akibat pengaruh sosial media yang tinggi Gen Z tidak bisa lepas dari FOMO ini. Gen Z adalah ”generasi FOMO”.

Kembali ke urusan politik, lalu bagaimana kaitan antara Gen Z, FOMO, dengan kontestasi pemilu 2024?

Ketika jumlah pemilih Gen Z yang sangat besar tadi tentu para kontestan politik berharap bisa mendapatkan atensi suara sebesar-besarnya dari pemilih Gen Z. Setidaknya ada tiga strategi umum yang bisa digunakan oleh kontestan politik dalam membangun komunikasi sekaligus meraih suara Gen Z.

Pertama, kampanye social media adalah wajib, tidak ada pilihan lain. Tapi tidak semua sosial media bisa menjadi wahana kampanye yang efektif untuk mendekati Gen Z. Sosial media yang berbasis visual lebih menjanjikan dibanding sosial media berbasi text. Survei Alvara menunjukkan Gen Z lebih menyukai konten visual dibanding konten naratif.

Kedua, ”Menunggangi FOMO”, kontestan politik harus mampu menjadi bagian dari trend yang berkembang di anak muda, atau bila perlu menciptkan trend yang bisa diterima oleh Gen Z. Kontestan politik harus mampu memahami setiap kegelisahan Gen Z dan menjadikan dirinya sebagai ”hero” yang mampu menjadi solusi atas kegelisahan yang sedang dihadapi oleh Gen Z.

Ketiga, Ciptakan enggagement dengan Gen Z dan komunitasnya. Mendekati Gen Z tidak bisa dilakukan hanya dengan komunikasi satu arah, kontestan politik harus hadir dan menjadi bagian kehidupan Gen Z, kontestan politik harus menjalin hubungan yang intim dengan Gen Z. Menurut bahasa anak muda, kontestan politik harus ”relate” dengan Gen Z.

Selamat menyelami FOMO Gen Z dan berselancar di media digital yang tak bertepi.

Penulis : Hasanuddin Ali, Researcher, Statistician, Nahdliyien.