ARAFAH, Awal Sebuah Kelahiran Baru

Makkah, Jurnal9.tv – Seseorang yang telah tuntas menjalankan ritual ibadah haji akan disebut sebagai Haji. Memang ini beda dengan shalat. Siapapun yang rajin shalat tidak akan dapat embel-embel gelar “S”, namun jika sudah haji akan diberi gelar “H”.

Apakah ada perbedaan substantif dalam pemberian gelar ini? Anda boleh tidak sepakat soal ini. Gelar Haji dalam sejarahnya adalah strategi kolonial Belanda untuk membuat tanda pembeda. Orang yang sudah haji di era itu akan ditandai sebagai tokoh agama atau orang kaya yang diduga berpotensi melawan pemerintahan kolonial.

Bagi sebagian orang, gelar itu tidak substantif, tetapi berproses manjadi haji adalah hal substansial. Sebab menjalani prosesi ibadah haji penuh dengan makna yang akan mendatangkan pencerahan baru.

Sejak kecil kita diberi penjelasan bahwa Arafah sebagai penanda puncak ritual haji sebagai miniatur padang mahsyar. Seluruh manusia berkumpul menunggu keputusan Tuhan, mana yang akan masuk neraka atau surga. Pemahaman ini sudah menjadi pemahaman umum masyatakat. Tak mengherankan jika kemudian, banyak orang berangkat haji bersiap “menyambut” kematian, menghadap Allah.

Kematian dan kehidupan adalah ujian bagi manusia, demikian firman Allah dalam Al Qur’an. Artinya kematian dan kehidupan (kelahiran) adalah dua sisi dari keping mata uang. Sama saja, sama sebagai ujian. Bahkan para penyair ada yang mengatakan, “manusia lahir dan mati berkali-kali”.

Orang berhaji adalah mereka yang bersiap dilahirkan sebagai manusia baru, sebagai haji. Hal ini diawali kesadaran sebagai manusia. Kesadaran ini adalah salah satu makna kata Arafah. Mengenal diri sebagai manusia adalah juga makna Arafah. Hal ini juga relevan dengan peristiwa kesadaran Nabi Ibrahim dalam memahami wahyu dari Allah untuk melakukan pengorbanan putranya, nabi Ismail. Bahwa perintah yang diterimanya adalah Perintah Allah SWT.

Kesadaran sebagai manusia semakin menemukan makna kekinian, ketika dalam waktu yang sama, di tempat yang sama, seluruh manusia berkumpul. Berbeda warna kulit, kebangsaan dan sebagainya adalah kodrat Allah, namun ketaqwaan adalah ciri pembeda dasar dari semua manusia. Oleh karena itu, berlomba berbuat baik, menjadi kredo mukmin sejati.

Menjadi manusia baru, tidak bisa diawali tanpa sebuah kesadaran mendasar ini. Permulaan yang bersifat praktis akan kehilangan daya dorong. Maka, wukuf di Arafah dengan cara berdiam diri, berkomtemplasi adalah sebuah titik permulaan untuk menyiapkan diri ditransformasi oleh ritual-ritual haji selanjutnya. Melalui ini diharapkan semua manusia yang wukuf di Arafah memiliki daya dorong kuat dan menyiapkan diri menerima takdir sebagai manusia baru.

Kepasrahan Nabi Ibrahim dalam menerima wahyu dan menjalankannya, serta keikhlasan Nabi Ismail adalah teladan yang harus ditiru. Maka Rasulullah SAW, dalam pidatonya sangat menekankan kesadaran kemanusiaan yang mendasar. Dengan modal kesadaran, pencerahan Arafah, selanjutnya akan berproses mencari kekurangan/dosa dan membersihkan diri melalui mencari kerikil untuk dilempar kepada syetan-syetan yang akan menjadi penghalang dalam proses mencapai haji mabrur.

Selamat menempuh perjalanan baru, menjadi manusia baru yang lebih bertaqwa.

Wallahu a’alamu bisshowab.