Surabaya, Jurnal9.tv- Untuk memeringati hari santri nasional, pondok pesantren Tebu Ireng Jombang mengadakan upacara yang bertempat di lapangan Ponpes Tebu Ireng. Upacara ini berlangsung pada pukul 06.00 WIB, Sabtu (22/10/2022).
Apel Nasional tersebut bertujuan untuk mengenang jasa para santri yang telah ikut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Para Santri Tebu Ireng mengikuti upacara dengan hikmat.
Ketua PW IPNU Jatim, M Fakhrul Irfan Syah mengatakan, bahwa santri sudah harus beranjak dari kolonial menjadi milenial. Dimana NU sudah hampir mencapai usia keemasannya, yaitu 100 tahun atau abad kedua. “Di usia yang bisa disebut cukup lama tersebut, NU harus mempunyai perbedaan sebagaimana yang dibanggakan oleh ketua umum PBNU kita, Gus Yahya. Nahdlatul Ulama sendiri sekarang memiliki misi gegantik yang didalamnya terdapat misi-misi kemandirian ekonomi dan peradaban dunia,” jelasnya dalam talkshow di Tv9 Nusantara. Hadir dalam talkshow yang sama, Haikal Atiq Zamzami, Peneliti muda NU, Muhammad Zikky, Dosen PENS, Wakil Ketua LPTNU Jatim, dan Gus Rizal Mumaziq.
Sementara itu, Haikal Atiq Zamzami, Peneliti muda NU, menggaris bawahi dari narasi KH. Abdul Hakim Mahfud, bahwa santri adalah garda terdepan melawan penjajah di masa kemerdekaan. “Pada waktu itu kekuatan tentara masih dikekang, tidak jauh beda dengan kondisi saat ini, santri tetap harus menjadi garda terdepan dan harus bisa menguasai zamannya. Tantangan terbesar untuk saat ini bagi para santri adalah dunia digital,” jelas Haikal.
Menurut dosen PENS ITS, sebagai generasi milenial kita harus siap mengahadapi dunia yang sudah unlimited. Mulai dari tata ekonomi. “Blog jack itu tidak hanya digunakan di dunia kripto tapi sudah masuk ke berbagai lini termasuk pemilihan langsung jual beli dan sebagainya. Dan untuk pengaturan keuangan mungkin saat ini diatur oleh Negara, nanti gimana kalau tidak ada yang mengatur, kita bisa membuat otoritas keuangan sendiri dalam negara. Jika semua itu terjadi kita tidak bisa mengacu pada mana pun, karena memang tidak ada, jadi apa yang dikatakan oleh gus yahya itu benar, adanya fiqih beradaban untuk menjawab permaslahan-permasalahan yang kita hadapi saat ini,” terang Mohammad Zikky.
Santri sudah harus bisa menguasai literasi digital, karena jika tidak paham akan literasi digital maka akan tertinggal dan kesulian menghadapi permasalahan di zaman sekarang. “Kita sebagai santri tidak bisa mengacu pada kitab-kitab yang kita pelajari di pondok saja, tapi juga harus mengetahui banyak hal di dunia ini. Tantangan ini tidak hanya terjadi secara lokal saja tapi sudah menjadi tantangan secara global, yang artinya mau tidak mau kita harus siap mengahadapi tantangan di zaman sekarang ini,” imbuhnya.
Terkait dengan revolusi, Irfan juga menanggapi bahwa santri harus bermuhasabah dan tidak boleh gaptek (gagap teknologi. “Biasanya kita diajarkan sikap tawadhu dan sebagainya, untuk sekarang ini, kita sebagai seorang santri harus bisa menampakkan diri, bersiap-siap menyincing lengan baju lebih cepat. Artinya bagaimana cara kita untuk menyambut abad kedua Nahdlatul Ulama,” kata Irfan.
Mas Diki memberi pendapat tentang peradaban, beliau mengatakan bahwa peradaban yang baik akan mencerminkan kondisi negara, kondisi sosial masyarakat kita baik atau tidak. Kita tidak bisa menolak peradaban yang sudah terjadi, ada yang menolak tapi seiring berjalannya waktu orang-orang tersebut bisa menerima revolusi tersebut. Santri harus benar-benar berperan aktif bagaimana memoles peradaban ini menjadi peradaban yang islami.
Haikal menambahkan, diakui atau tidak NU selalu tertinggal satu langkah apabila membahas peradaban. “Banyak aspek yang menyebabkan kita selalu terlambat, contohnya seperti pendidikan, infrastruktur, dan lain sebagainya. Di tengah kondisi yang serba kompleks, serba rentan dan tidak ada kepastian. Kita harus bisa beradaptasi, selain itu kita juga harus bertranformasi, dan kita juga bisa berinovasi. Nah hal tersebut membuat kita seperti dituntut untuk bekerja double,” sesalnya.
Tantangan santri adalah bagaimana caranya membuka mindset seorang santri. Bisa kita lihat dari beberapa pondok pesantren bahwa tidak semua santri itu hanya belajar tentang keagamaan saja, tapi juga ada yang belajar sosial, ilmu politik, ekonomi dan lain-lain. Itulah mindset baru yang barus betul-betul ditanamkan pada santri. (ells/snm)