Mungkin bisa benar perkataan, tidak ada yang kebetulan. Kabar kondisi kritis dan berpulangnya Mas Imam Aziz masuk di gawaiku pas posisiku di Gunung Sugih, Lampung Tengah. Ada jejak yang nyata, yang ditorehkan oleh Mas Imam Aziz di salah satu pesantren di kabupaten tersebut, yang bernama Darus Sa’adah. Pesantren tersebut telah ditunjuk menjadi tempat perhelatan pengambilan keputusan tertinggi organisasi kaum Nahdliyyin, muktamar NU. Setelah sukses di muktamar sebelumnya, di Jombang, mas Imam Aziz ditunjuk kembali menjadi Ketua Panitia Nasional Muktamar NU di Lampung Tengah.
Di tengah-tengah covid-19, Mas Imam Aziz sebagai Ketua Pelaksana Muktamar berusaha mempertahankan prinsipnya, bahwa semua perhelatan NU harus dilaksanakan di Pesantren. Pembukaan Muktamar dilangsungkan di Pesantren Darus Sa’dah. Baginya NU adalah kumpulan pesantren. Karena apapun kondisinya, bagi Mas Imam pelaksanaan muktamar harus berlangsung di Pesantren. Akan tetapi, dengan berbagai alasan politik, lanjutan kegiatan setelah pembukaan muktamar digeser ke kampus-kampus negeri milik negara di Kota Bandar Lampung. Memang diaspora santri sudah masuk di kampus dan bahkan banyak santri yang menjadi pemimpin kampus negeri. Sehingga mereka merasa perlu menunjukkan menunjukkan pada “dunia” bahwa santri sudah berhasil memasuki dan memimpin kampus-kampus yang ilmunya berbasis sekular.
Persoalannya bukan di situ, tapi di pesantren itu mengutamakan adab dan akhlak, selain itu ada pula unsur barokah dan mahabbah (cinta). Unsur-unsur itu tidak dimiliki oleh sistem pendidikan kampus. Karenanya Mas Imam Aziz sejak pasca Muktamar NU di Makasar, selalu mewacanakan setiap perhelatan NU kembali ke Pesantren. Ini bukan semata kecintaan Mas Imam Aziz pada pesantren, karena pendidikan beliau yang utama sejak kanak-kanak di pesantren. Orang tua beliau juga seorang Kyai yang sangat ‘alim, tinggal di Pati. Akan tetapi ini adalah wujud nyata dari ketawadlukan Mas Imam Aziz kepada para muasis NU, adalah para pendidik di pesantren.
Hingga muktamar Lampung berakhir, Mas Imam Aziz masih bertanggung jawab membantu pembangunan aula muktamar di Gunung Sugih, Lampung Tengah. Itu adalah praktek politik yang ditiru oleh Mas Imam Aziz dari para pendahulunya. Selain untuk memenuhi unsur luhur yang terkandung dalam pesantren, juga upaya membantu pembangunan pesantren dan perputaran ekonomi di pedesaan, dimana pesantren NU adanya di pedesaan. Ini adalah cara-cara cerdas kyai-kyai yang pada level tertentu ditinggalkan oleh sebagian santri.
Seperti para pendahulunya dari kalangan pesantren, Mas Imam Aziz adalah sosok tokoh yang memenuhi idiom, setiap masa ada tokohnya, setiap tokoh ada masanya. Mas Imam adalah sang penggerak perubahan. Beliau bersama sahabat-sahabatnya mampu menggerakkan kaum muda NU untuk men-sintesa-kan antara Islam dan problem-problem sosial yang nyata-nyata hadir di masrakat. Inilah latar yang melahirkan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS). Lembaga yang berisi para pemikir muda Islam, khususnya dari kalangan santri. Lembaga yang tidak saja bersifat kajian, tapi juga praksis, termasuk membangun jejaring dengan lembaga-lembaga diberbagai daerah, yang juga digerakkan oleh anak muda NU.
Pada tahun-tahun awal 1990-an, terasa sekali, jejaring itu bergerak menuju perubahan, anak muda dari kalangan santri keluar dari “kejumudan” santri dan segala stereotype-nya. Mereka tampil dipermukaan, dan Mas Imam Aziz adalah salah satu tokoh yang mampu menggerakkan. Bahkan kaum muda NU saat itu sudah mulai melakukan pembelaan terhadap kaum tertindas. Satu praktek upaya perubahan struktural yang dilakukan oleh kalangan kaum muda NU.
Selain itu, Mas Imam Aziz adalah sosok humanis, lengkaplah seorang penggerak perubahan yang humanis. Beliau sangat perhatian dengan anak-anak jalanan, yang hidupnya terkatung-katung “liar” di jalanan. Dengan membangun tempat singgah untuk anak-anak jalanan, Mas Imam Aziz dialog mengenai semua permasalahan mereka. Tidak itu saja, beliau dorong upaya penyelesaian masa lalu, tragedi kemanusiaan 1965-1966. Baginya peristiwa itu tidak bisa ditimpakan pada satu kelompok bangsa, karena telah berlangsung tindakan negara terlibat (baik itu memfasilitasi, atau membiarkan) dalam perilaku di luar kemanusiaan. Mas Imam Aziz membidani Syarikat Indonesia, dalam rangka membangun rekonsiliasi akar rumput. Sekali lagi, kegiatan ini beliau kerjakan secara standart akademik, dengan anak-anak Muda NU dengan jaringan yang luas. Melaksankan penelitian dengan menggunakan oral history. Dalam setiap gerakannya, Mas Imam Aziz selalu bersama kader-kader muda.
Pada titik ini, Mas Imam Aziz betul-betul seorang mentor gerakan bagi kaum muda NU untuk rakyat. Selama Mas Imam menjadi ketua 2 di PBNU (dua periode sebelum ini) beliau selalu menerima keluh kesah petani atau rakyat tertindas lainnya. Beliau terima curahan hati rakyat tani dengan penuh cinta, baik di rumah maupun di kantor PBNU. Tidak segan-segan Mas Imam Aziz pasang badan bila ada kebijakan negara yang tidak berpihak pada rakyat. Bagi Mas Imam Aziz tidak ada rasa putus asa dalam mendampingi rakyat tertindas, tidak kata lelah mendidik kader-kader muda untuk bersama rakyat tertindas, dan tidak ada kata menyerah bagi penguasa yang dzolim.
Selamat menempuh perjalanan pulang mas. Jejak sang penggerak perubahan yang humanis ada nyata. (*)