banner 728x250
OPINI  

Kesederhanaan dan Keteladanan: Kisah Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar Nyopiri Cucu ke Pondok

Oleh Khoirul Anwar

Sepulang dari Pesantren Al Yasini Pasuruan, Minggu (7/7/2024), sebelum balik ke Surabaya istri tiba-tiba pingin muter lewat Pesantren Sidogiri. Jaraknya memang tak jauh. Sekitar 3-4 kilometer.

Kangen suasana Sidogiri, kata mantan pacar penulis ini. Pas lewat kawasan Sidogiri ramai banget. Rupanya sama seperti pesantren lainnya, musim balik santri tiba. Jalanan pun tersendat oleh ratusan kendaraan.

Warung-warung pun sekitar pondok ramai. Karena hanya ingin nostalgia, kami pun tidak berhenti. Hanya lewat menikmati keramaian di kawasan itu.

Tak ada cerita lain hingga masuk tol Kejayan. Kecuali merenungkan dan bincang santai tentang betapa sebuah legacy para muassis Sidogiri yang begitu bermakna bagi kehidupan masyarakat kekinian seperti sekarang ini.

Sehari setelah di rumah, iseng membuka medsos. Nah, sampai ke akun FB-nya Gus Nanal Ainal Faiz. Di situ beliau memposting foto Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dan cucunya.

Langsung saja akun itu saya share ke istri. Karena sepertinya Kiai Mif berada di sekitaran Pesantren Sidogiri saat kami lewat di jalan IIIC yang kala itu padat, panas, dan ramai. “Kok kita ndak ketemu beliau ya?” komentar istri yang dilanjut ngobrol tentang keteladanan.

Benar, kalau memang pas waktunya sama saat kami lewat, tentu kami bisa membayangkan suasana saat Kiai Mif berada di sana. Panas, padat, warung-warung sepanjang jalan juga berjubel.

Namun dalam unggahan Gus Nanal itu Kiai Mif tampak santai. Menemani sang cucu sambil nongkrong di sebuah warung. Subhanallah!

Keteladanan dan Keteguhan

Di tengah gemerlap dunia yang kian hari kian menuntut kesempurnaan, kisah Kiai Miftachul Akhyar di jalanan Pesantren Sidogiri ini menjadi teladan yang istimewa. Ini adalah kisah tentang kesederhanaan yang memancar dari keteguhan seorang pemimpin nahdliyin. Ormas Islam yang memiliki pengikut 58 persen dari total muslim di Indonesia versi riset LSI Denny JA.

KH Miftachul Akhyar yang mengantarkan sendiri cucunya untuk mondok di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, mungkin menjadi sebuah tindakan yang tampak biasa bagi sebagian orang. Tetapi sesungguhnya itu adalah sesuatu yang luar biasa. Apalagi ketika diketahui bahwa beliau melakukannya sendiri, menyetir mobilnya tanpa diiringi oleh ajudan atau pengawal pribadi.

Di zaman di mana posisi dan jabatan sering kali mengangkat seseorang jauh dari kesederhanaan, Kiai Mif menunjukkan bahwa menjadi seorang pemimpin tidak berarti kehilangan sentuhan manusiawi dan keseharian yang biasa.

Bahkan, menurut Gus Nanal, sesampainya di Sidogiri, Kiai Mif tidak langsung menuju ndalem (kediaman kyai) sebagaimana mungkin dilakukan banyak orang dengan posisinya. Tidak ada ajudan yang menelepon terlebih dahulu untuk meminta disiapkan ini dan itu.

KH. Miftachul Akhyar memilih duduk di salah satu warung yang menjamur di sekitar pondok, membaur dengan wali santri lainnya. Beliau memesan kopi hitam yang pekat dan menikmati rokok kreteknya. Menghirup dalam-dalam aroma khas tembakau yang menggambarkan suasana akrab dan penuh kesederhanaan.

Kiai Mif duduk di bangku kayu yang usang. Ia berbincang ringan dengan para wali santri lainnya. Tertawa lepas. Gayeng bicaranya, seperti wali santri lainnya. Tampak sekali, di tengah kesibukan dan jabatan yang diembannya, Kiai Mif mampu merasakan kebahagiaan dari hal-hal sederhana.

Etos dan Etika yang Kuat

Sikap dan kesantunan Kiai Mif ini menunjukkan etos yang kuat. Seorang kakek, yang juga seorang kiai, menunjukkan betapa pentingnya memberikan contoh nyata dalam tindakan sehari-hari. Mengantarkan cucu ke pondok, meskipun bisa saja diserahkan kepada orang lain. Namun Kiai Mif melakukan sendiri sebagai bentuk tanggung jawab dan kasih sayang.

Ini tentu bukan sekadar tentang membawa cucu ke pesantren. Tetapi tentang menanamkan nilai-nilai keteladanan dan tanggung jawab melalui tindakan langsung. Maka, ketika sang cucu melangkah memasuki gerbang pesantren, ada harapan besar yang Kiai Mif tanamkan. Bahhwa sang cucu akan tumbuh menjadi pribadi yang teguh dan sederhana seperti dirinya.

Seperti ditulis Gus Nanal, ketika ditanya mengapa beliau sering kali menyetir sendiri dalam berbagai kesempatan, Kiai Mif hanya tersenyum dengan kerendahan hati yang khas dan menjawab;, “Saya itu lihat rata-rata Rois Aam punya keistimewaan sendiri. Ada yang muhaddits, alim fiqih, ada yang sufi. Keistimewaan saya mungkin ya ini; bisa nyupir!”

Ini tentu sebuah jawaban yang sederhana namun sarat makna. Itu menunjukkan bahwa keistimewaan tidak harus selalu dalam bentuk pengetahuan atau spiritualitas yang tinggi. Namun juga bisa dalam kesederhanaan dan kemandirian.

Peristiwa Sidogiri ini menyiratkan bahwa kesederhanaan adalah harta yang tak ternilai. Dalam kesehariannya, KH. Miftachul Akhyar menampilkan sikap tawadhu’ yang mendarah daging. Tawadhu’ atau rendah hati ini tidak hanya terlihat dalam ucapan, tetapi tercermin dalam tindakan nyata.

Kiai Mif yang penulis tahu sejak di PWNU Jatim tidak segan-segan bergaul dan membaur dengan siapa saja tanpa merasa perlu menonjolkan diri. Keteladanan semacam inilah yang menjadi cermin bagi banyak orang bahwa kesederhanaan dan kebesaran jiwa dapat berjalan beriringan.

Maka keteladanan beliau ini mengingatkan kita bahwa dalam menjalani kehidupan, terutama dalam posisi yang tinggi, sikap sederhana dan rendah hati adalah cermin kebesaran jiwa yang sesungguhnya. Dunia mungkin akan terus menuntut lebih banyak kesempurnaan dan kemewahan, tetapu kisah-kisah seperti Kiai Mif ini menunjukkan bahwa kebahagiaan dan ketenangan jiwa sering kali ditemukan dalam kesederhanaan dan keteguhan menjalani kehidupan dengan penuh kerendahan hati.

KH. Miftachul Akhyar, melalui tindakan-tindakannya, telah memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwa menjadi besar bukan berarti harus selalu dilihat besar oleh orang lain, namun menjadi besar dalam tindakan-tindakan kecil yang mencerminkan ketulusan hati. Kesederhanaan bukanlah tentang seberapa sedikit yang kita miliki, tetapi tentang seberapa tulus kita dalam menjalani kehidupan dan berbagi dengan orang lain.

Dari Rais Aam PBNU ini kita dapat belajar bahwa kebesaran sejati terletak dalam kemampuan untuk tetap menjadi diri sendiri, rendah hati, dan bersikap sederhana di tengah segala kemewahan dan kemegahan dunia. Sebuah keteladanan yang membawa manfaat luas bagi siapa saja yang melihat dan meresapi makna dari setiap tindakan kecil yang penuh ketulusan dan kerendahan hati. Wallahu a’lam bisshawab. (*)

  • Penulis adalah Khoirul Anwar, wakil ketua PCNU Kota Malang, pengurus LTN PBNU