Esai Dr. Drs. A. Hanief, MS, Ketua Program Studi Doktor Sekolah Kajian Stratejik & Global (SKSG), Universitas Indonesia, Alumni PP. Sidogiri.
Pada 25-27 Oktober 2024, lalu saya mengikuti International Conference on Strategic & Global Studies, ICSGS 2024 di Kampus Jiangxi University of Finance and Economics (JUFE) Nanchang, Provinsi Jiangxi, Republik Rakyat China. Konferensi tahun ini diselenggarakan atas kerjasama SKSG-UI dengan School of International Economics & Trade, JUFE. Saya mewakili SKSG-UI mempresentasikan gagasan perbaikan kebijakan konstruktif dan perlunya kebijakan investasi baru ke depan, baik di sisi pemerintah Indonesia maupun pemerintah China.
Dalam sesi plenary session yang diikuti semua peserta berjumlah 342 orang itu, pihak tuan rumah, diwakili oleh Prof. Wang Yonghui, Ph.D dari Central China Normal University (CCNU), Wuhan. Makalah presentasi saya berjudul “Indonesia-China Socio Political Relationship. Policy Implementation Under The Belt and Road Initiative”.
Kebijakan Investasi Baru Berbasis Ekonomi Kerakyatan Indonesia dan China telah menjalin Hubungan baik cukuo lama dan perlu terus ditingkatkan, baik kebijakan pada sisi pemerintah Indonesia dan juga pemerintah China. Hal yang perlu mendapat perhatian khusus adalah kebijakan yang diberorientasi memperkuat ekonomi kerakyatan (people based economy). Pertukaran perdagangan yang perlu menyentuh aras ekonomi rakyat. Dengan memperkuat kerjasama antar koperasi, UMKM, dan sentra industri rakyat di Indonesia dengan UMKM dan komune-komune ekonomi di RR China.
Mengapa ekonomi kerakyatan ini penting ? Bila selama ini kebijakan Investasi dengan China lebih fokus memperkuat 2 hal, yaitu pembangunan infrastruktur dan industri manufaktur. Keduanya lebih banyak bersifat G to G (dari pemerintah ke pemerintah), juga dari B to B (dari pebisnis ke pebisnis). Tentu pola investasi ini bersifat padat modal dan hanya berputar disekitar pemerintah dan pengusaha besar. Dengan keuntungan terbesar tetap ada pada pihak China. Perbaikan kebijakan baru perlu dilakukan dengan memperkuat kerjasama ekonomi kerakyatan, koperasi, dan UMKM. Tentu dalam skala yg lebih luas, selektif, dan berpotensi besar untuk berkembang.
Bila saat ini investasi China di Indonesia adalah nomor 2 terbesar setelah Singapura. Dengan Investasi terbesar di bidang infrastruktur dan industri manufaktur, maka kebijakan ke depan adalah membuka opsi kebijakan ketiga, yaitu penguatan investasi berbasis ekonomi kerakyatan, koperasi, & UMKM.
Masih banyak macam perdagangan yang telah berjalan selama ratusan tahun. Tetapi belum tersentuh kebijakan investasi antara kedua negara. Bahkan pemerintah China sendiri belum menunjukkan kepedulian untuk menjadikan obyek investasi baru go internasional ke manca negara. Juga belum ada usaha untuk memperkuat dan memberdayakan sektor ini dalam setiap kerjasama bilateral.
Beberapa sektor yang sudah ratusan tahun berjalan antara lain adalah perdagangan TCM (Tradisional Chinese Medicine). Dari dulu hingga sekarang perdagangan ini belum bergeser. Masih dilakukan secara tradisional dari Chinese ke Chinese, dari pedagang ke pedagang, dari toko ke toko. Sedang perputaran uang dari bisnis ini diperkirakan sekitar 3 triliun dari data yang saya peroleh di tahun 2017. Sedang RR-China saat ini terdapat 7 universitas tematik khusus terkait Chinese medicine.
Seperti Beijing University of Chinese Medicine, Hubei University of Chinese Medicine, dll. Tentu banyak selain yang berbentuk fakultas khusus TCM di beberapa universitas umum. Potensi ini tentu dapat menjadi salah satu pendorong modernisasi dan penguatan ekonomi kerakyatan di Indonesia. Apalagi jika disinergikan dengan kekayaan obat herbal Indonesia yang biasa kita kenal sebagai jamu, jampi, atau empon-empon. Ternyata jenis tanaman obat herbal Indonesia yang berada di garis katulistiwa adalah daerah terkaya nomer 2 setelah Brazil. Potensi dan kekayaan herbal di kedua negara (Indonesia dan China) hingga saat ini belum disinergikan dan dikembangkan. Potensi komoditas ini juga belum bergeser dari pedagang tokoan dan usaha rumahan, menjadi suatu industri modern. Bahkan pemerintah kedua negara juga belum tergerak untuk memodernisasi dan membuat kebijakan investasi baru yang dapat menggerakkan ekonomi kerakyatan.
Tentu saja banyak kerumitan masalah, tantangan, dan hambatan yang ada di lapangan. Terutama tantangan dari pihak industri farmasi dan pengobatan Barat yang sudah berakar kuat di Indonesia. Baik di kalangan dokter, apotek, rumah sakit, dan industri farmasi. Hambatan juga dapat terjadi karena resistansi kultural dengan masuknya shinse, obat herbal, dan pendirian rumah sakit traditional chinese medicine. Namun hambatan itu bukan tanpa solusi, jika dilakukan dengan sinergi positif antar kekuatan kultural besar di Indonesia. Hambatan ini juga pernah dipertanyakan kepada saya. Saya memberi saran agar pedagang TCM bekerjasama dengan rumah sakit milik NU, Muhammadiyah, dan agama lain yang memiliki basis kultural kuat sebagai soko utama untuk menembus pasar, perluasan pangsa, dan resistansi kultural. Begitu pula Kedubes RR-China juga bisa memberi dukungan pendirian fakultas/ Program Studi Herbal Medicine di perguruan tinggi NU, Muhammadiyah, agama lain yg kuat basis di akar rumput. Bila kerjasama ini dilakukan, dipastikan dapat mengurangi atau terhindar dari resistansi kultural dari masyarakat Indonesia.
Walhasil, dari uraian di atas, saya menyodorkan tiga hal penting hal untuk meningkatan hubungan ekonomi bilateral Indonesia-China. Pertama, perlunya pengembangan opsi kebijakan ketiga di Indonesia, selain kebijakan investasi di bidang infrastruktur dan bidang industri manufaktur yg padat modal dan berputar di sekitar pengusaha besar. Kedua, perlunya kebijakan investasi yang berorientasi pada penguatan ekonomi kerakyatan, koperasi, dan UMKM. Tentu dalam skala yang lebih luas, selektif, dan berpotensi besar untuk berkembang besar. Ketiga, perlu penguatan kerjasama kultural, terutama organisasi dan lembaga yang memiliki basis kultural dan kekuatan di akar rumput masyarakat Indonesia. Hal ini penting untuk menembus pasar, memperluas pangsa, dan mengurangi resitansi kultural di masyarakat Indonesia. Wallahu A’lam.
Nanchang, Jiangxi, 28 Oktober 2024