OPINI  

Catatan 7 Hari Wafat KH. Sholeh Hayat: Sholihul Hayat, Sholihul Mamat

Oleh: Dr. Yusuf Amrozi, Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi (LPTNU) Jawa Timur, Dosen UINSA Surabaya

Selasa, 30 April 1991 Kiai Sholeh Hayat berjumpa dengan KH. Hamim Djazuli (Gus Miek). Saat beliau mengenalkan nama beliau, Gus Miek langsung menimpali Sholihul Hayat, Sholihul Mamat. Semoga wafat dalam kebaikan, doa Gus Miek. Kiai Sholeh langsung menjawab, Amin..!

Doa atau dokumentasi dialog dengan Gus Miek tersebut diabadikan oleh KH. Sholeh Hayat dengan tulisan kaligrafi yang dipigora, yang dipajang di dinding rumah beliau. Dan dibalik pigora tersebut, ditulisi tanggal saat berjumpa dengan Gus Miek (30/4/91). Saat kami takziah ke rumah duka selepas pemakaman, Mas Fatchur Ridlo (menantu almarhum) mengambil dari dinding dan menunjukkannya kepada kami.

Saya bertemu pertama kali dan mengenal almarhum saat saya menjadi pengurus LP Maaarif NU Jawa Timur tahun 2003. Saat itu kantor PWNU Jawa Timur berada di Jalan Raya Darmo No. 196 Surabaya (sekarang menjadi kantor TV 9 Nusantara). Saat itu beliau sudah menjadi wakil ketua PWNU. Sebagai pengurus anyaran di lingkungan Nahdlatul Ulama, saya melihat beliau sosok yang tegas, enerjik, sekaligus pribadi yang ceria.

Seingat saya tahun-tahun itu beliau menjadi anggota DPRD Propinsi Jawa Timur. Di sela-sela kesibukannya sebagai legeslator, beliau masih aktiv di PWNU. Bahkan sesekali masih nyambangi ruangan LP Maarif yang diatasnya lorong parkir kendaraan kantor PWNU. Di kantor Maarif, beliau menyapa pengurus dan staf Maarif atau kawan-kawan yang biasa nonggkrong di kantor tersebut. Yai Sholeh biasa mengobrol dengan para pengurus senior Maarif seperti Alm. KH Suhaimi Syakur (Pak Imik), Alm. Pak Dr. Saerozi (Ketua Maarif saat itu), Alm. Pak Muslih Husnan, dll.

Tidak semua pengurus Maarif saat itu sdh wafat. Yang masih hidup saat ini misalnya KH. M. Faqih Arifin-Lamongan, H. Imam Syaerofi, dll. Boleh dibilang suasana saat saat itu sangat gayeng. Bersahaja. Penuh humor, gojlokan biasa. Kalau disela-sela kepenatan, terutama tim penyusun soal ujian maarif, diselingi dengan main kartu remi atau gaple. Termasuk kehadiran Kiai Sholeh Hayat akan menambah ramainya suasana dengan kabar-kabar dari luar.

Misalnya cerita humor tentang klasifikasi maqom orang NU. Konon orang NU dapat diklasifikasikan menjadi 3; NU Biasa, Gila NU, dan NU Gila. Istilah ini memang hanya metafor saja. NU Biasa kalau orang tersebut ikut ngurusi NU dengan kewajaran berdasar waktu. Kira-kira ngurus NU pada jam kerja atau siang hari, selebihnya istirahat atau berkumpul bersama keluarga. Ini yang masuk kategori pertama.

Kategori kedua Gila NU. Yang masuk kategori ini adalah yang selepas jam kantor atau sore hari hingga malam (tengah malam). Kategori ini terkadang para aktivis atau pengurus NU yang siang hari bekerja dikantor atau usaha masing-masing, sehingga kober berkumpulnya adalah malam hari. Atau ada juga yang memang mengurus NU sedari pagi hingga malam hari, yang karenanya mendapat stempel ‘Gila NU’.

Kategori ketiga yang lebih parah lagi, yaitu yang ‘NU Gila’, yaitu yang kira-kira tengah malam hingga dini hari bahkan subuh masih belum pulang dari kantor. Mendengar anekdot ini kawan-kawan staf Maarif atau semuanya yang mendengar cerita ini langsung tertawa terpingkal-pingkal. Sebab saat itu menang tidak jarang temen pengurus yang pulangnya dini hari, karena besoknya kerja. Bahkan ada yang tinggal atau bermalam di kantor untuk beberapa hari. Saya saat itu juga terkadang bermalam di kantor. Sangat menikmati nikmatnya ‘Ber-NU’, termasuk apa yang di inisiasi oleh para senior kami diantaranya Kiai Sholeh Hayat tersebut.

Waktu berlalu, tak terasa demikian cepat. Saat kantor PWNU telah berpindah di Jl. Masjid Akbar Timur No. 9 Surabaya, memang kondisi berubah. Kantor lebih luas, dan hanya sedikit teman-teman lembaga atau banom yang sampai bermalam di kantor. Bahkan mungkin sekarang sudah tidak ada. Walau demikian, saya kira hal ini tidak mengurangi kadar tiga pelevelan yang saya ceritakan diatas. Yang jelas interaksi bergeser ke media virtual. Berganti di whatsapp grup. Buktinya terkadang dini hari masih cekikikan melototin HP, saling berkomentar di grup WA komunitas NU.

Yang jelas pergeseran waktu, berpindahnya sekretariat PW, Kiai Sholeh Hayat masih tetap eksis di kepengurusan. Baik saat di jajaran tanflidiyah hingga akhir-akhir ini beliau di Syuriah. Pada periode kepemimpinan ketua Tanfidliyah Gus Kikin ini Kiai Sholeh tercatat di wakil katib. Ini yang agak jarang terjadi. Artinya Yai Sholeh Hayat mampu berperan atau berkontribusi secara positif di kepengurusan serta juga mampu menjaga interaksi secara baik sehingga awet di NU.

Memang benar sebutan kawan-kawan di NU, beliau boleh dibilang kamus NU berjalan. Sebagai yang bergelar sarjana hukum, konsenitas beliau terhadap regulasi NU, atau aset NU sangat diperhatikan. Maka ketika pagi hari, Jumat 20 Desember 2024 saya mendapat kabar beliau wafat, Innalillahi wa Inna ilaihi Rajiun…! saya langsung mbatin terus siapa lagi yang ingat atau menjadi saksi hidup terhadap berbagai peristiwa atau hal-hal yang terkait dengan itu, yang belum sempat terdokumentasikan?

Suatu saat ada NU Award yang diadakan PWNU Jatim. Insyaallah NU Award yang terakhir kemarin. saya beda tim dengan beliau. Sebagai yang paling senior, beliau menjadi ketua tim dengan sangat bersemangat. Saat visitasi di salah satu PCNU unggulan di Jatim, setelah mengentry data di laptop nampaknya beliau lupa tidak men save ke flasdis yang disediakan oleh panitia.

Selanjutnya saat tiba waktu rapat pleno penentuan juara di kepanitiaan NU Award di PW, saat data ditayangkan kok cabang tersrbut nilainya jeblok. Karena curiga, Pak Fahrudin (sekretariat panitia), langsung ngecek di file excell yang ada di flasdis tersebut, ternyata lupa tidak di save. Untungnya data di laptop yang digunakan tersebut telah tersimpan.

Dalam batin saya saat itu, kok cek mentoloe, anggota tim yang muda-muda tidak menghandel yang teknis itu, justru beliau Yai Sholeh yang nanganin sendiri. Singkat cerita peserta pleno saat itu ikut lega semua. Masalah terselesaikan, dan tidak sampai ke PCNU lagi untuk visitasi ulang. Totalitas mengabdikan diri di NU sudah tidak diragukan. Menurut cerita Mas Fatchur, bahkan saat Ibu gerah, pas berbarengan dengan Konferwil NU di Genggong-Probolinggo, Yai Sholeh tetap berangkat Konferwil.

Selamat jalan Yai Sholeh Hayat, saya ikut bersaksi panjenegan orang baik. Wafatpun di hari baik, hari Jumat sesuai apa yang didoakan oleh Gus Miek, Sholihul Hayat, Sholihul Mamat…! Amin. (*)