OPINI  

Mbah Buyut Soleh Semendi, Putra Sultan Cirebon, Penyebar Islam di Timur Jawa

Oleh: Ahmad Zainal Abidin Abdulloh, PP Al Hasyimi Podokaton, Gondangwetan, Pasuruan.

Mbah Soleh Semendi atau dikenal dengan Mbah Semendi berasal dari Cirebon, putra Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Dikisahkan oleh Mbah Kyai Djasim Nur, Pengasuh Pondok Pesantren Daru Mafatihil Ulum Podokaton, waktu itu daerah Pasuruan, mayoritas masih menganut agama Hindu-Budha, dan daerah Winongan adalah yang paling kuat. Mbah Soleh Semendi tergerak dan berpamitan kepada ayahandanya, untuk berdakwah dan menyebarkan agama islam di kawasan ini.

Terlebih dulu, Mbah Semendi memikirkan dan merancang strategi dakwah yang paling tepat, dan ditemukan cara jitu, yakni menyebarkan agama Islam dengan cara menakklukkan lebih dulu para tokoh Hindu-Budha. Pertimbangannya, berdakwah dan menyebarkan agama pada orang-perorangan terlalu sulit dan butuh waktu lama. Selain itu, andai ada yang sudah masuk Islam, akan mudah kembali ke agamanya, bila dibentak dan diperintah oleh atasannya atau tokohnya.

Ditemuilah Mbah Labuh Geni, salah satu tokoh agama Hindu-Budha yang berpengaruh, dan berlanjut adu kesaktian antara kedua punggawa ini. Diceritakan, Mbah Labuh Geni melemparkan kerisnya, hingga terbang, dan disambut dengan lemparan imamah atau udeng Mbah Soleh Semendi. Imamah Mbah Semendi terbang dan memutari keris Mbah Labuh Geni, hingga akhirnya keris itu jatuh dan tidak bisa terbang lagi.

Melihat kehebatan Mbah Soleh Semendi, Mbah labuh Geni menyerah dan tunduk, menyatakan masuk Islam, mungacapkan syahadat dan menjadi santri Mbah Soleh Semendi.

Kabar masuk Islamnya Mbah Labuh Geni, menyebar ke penjuru masyarakat Hindu-Budha di Winongan hingga ke daerah Pasuruan umumnya. Mereka lantas berbondong-bondong menyatakan diri masuk Islam, mengikuti tokoh dan junjungannya, Mbah Labuh Geni yang lebih dulu mualaf.

Langkah Mbah Semendi menaklukkan tokoh agama budha, diikuti langkah berikutnya, mendirikan langgar atau surau, yang akhirnya menjadi tempat masyarakat belajar dan ngaji pada Mbah Semendi. Salah satu santrinya, adalah mbah Sulaiman Mojoagung dan Mbah Arif Segoropuro, kakak-beradik, putra Syarifah Khodijah binti Sunan Gunung Jati.

Sebelumnya, Mbah Sulaiman Mojoagung mendengar kabar, di Jawa bagian Timur ada seorang alim allamah dan sakti mandraguna bernama Mbah Soleh Semendi. Mbah Sulaiman bersama adiknya Mbah Arif, meminta idzin pada ibundaya, mencari ilmu di Pasuruan. Sang ibu pun memberi izin sambil menitahkan sebuah pesan. “Anakku, kalau kamu mencari ilmu, carilah ilmu dengan sungguh sungguh, dan jangan sampai kamu menikah di tengah kamu mencari ilmu,” tutur Syarifah Khodijah.

Dengan berbekal pesan Sang Ibu, kakak adik ini berangkat ke timur menyusuri Pulau Jawa. Setiba di Winongan, hari sudah malam. Mbah Sulaiman dan Mbah Arif mulai bergabung dengan santri lainnya, dan menempatkan dirinya paling rendah dari teman temannya, sebuah sikap tawadhu sebagai orang baru. Keduanya, tidak tidur di musholla, tapi tidur di Tegalan atau kebun dengan berbantal akar Pohon Gayam di sekitar surau.

Selang beberapa hari, di sebuah malam, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, sehingga memaksa keduanya berpindah ke musholla. Di tengah malam, Mbah Semendi keluar ke musholla dan melihat dua cahaya dari musholla yang bersinar terang. Keesokan harinya, saat Mbah Sulaiman dan Mbah Arif menghadap, Mbah Semendi melontatkan pertanyaan.

“Dari mana kamu berdua?” “Kami dari Cirebon, Kiai”
“Putranya siapa?”
“Kami berdua putranya Khodijah bin Syarif Hidayatulloh..”

Mbah Semendi bersuka cita dengan kehadiran dua santri baru ini. Beliau masih jelas teringat dengan dua sinar yang keluar dari dalam mushalla, saat kedua santri tidur di dalamnya. Di sebuah malam, Mbah Semendi mendatangi Mbah Sulaiman dan Mbah Arif , dan dhawuh. “Anakku, kamu akan aku jadikan menantu. Apakah kamu mau”? Teringat pesan ibunda, keduanya menjawab kompak. “Tidak, kiai.” Mbah Semendi terdiam dengan jawaban kedua santrinya. Namun Mbah Semendi mengulang pertanyaan itu setiap malam, dan kedua santri menjawab dengan jawaban yang sama.

Karena terus mengulang pertanyaan yang sama, hingga akhirnya, Mbah Sulaiman dan Mbah Arif bermusyawarah dan diperoleh sebuah kesimpulan. “Taat pada guru itu wajib, begitu pula taat pada orang tua, juga wajib. Jadi begini saja, sampean iyakan perintah Kiai, nanti masalah ibu , saya yang akan mengahadap dan menjelaskan,” kata Mbah Sulaiman pada Mbah Arif. Keputusan ini disampaikan pada Mbah Semendi. Dan terjadilah, Mbah Arif sebagai adik, menikah lebih dulu, sehingga memlersunting putri pertama Mbah Semendi. Selang beberapa waktu, disusul Sang Kakak, Mbah Sulaiman menikah dengan putri kedua, atau adik istri Mbah Arif.

Kabar Mbah Sulaiman dan Mbah Qrif telah menikah, sampai juga pada Syarifah Khodijah. Sang Ibunda pun marah dan berkata: “Siapa orangnya, yang berani-beraninya memgambil mantu kedua puteraku?!” Putri Sunan Gunung Jati itu pun langsung bergegas ke Pasuruan, untuk melihat kedua anaknya dan menemui sang mertua. Tidak sendirian, Syarifah Khodijah berangkat ke timur dengan membawa prajurit, pasukan penunggang kuda.

Memasuki wilayah Pasuruan, Syarifah Khodijah dan rombongan pasukannya istirahat sejenak di daerah Kraton, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan dan tiba di winongan. Di rumah tujuan, Syarifah Khodijah ditemui istri Mbah Semendi sambil disuguhi Jenang Asem dicampur gula. Syarifah Khodijah sempat meluapkan kemarahannya kepada istri Mbah Semendi. Tak lama berselang, masuk ke ruangan, Mbah Semendi menyala Syarifah Khodijah.

“Bibik apakah sehat?”
“Lho! siapa kamu?”
“Saya Bik, Soleh putra Sultan Hasanuddin Cirebon”
Mendengar jawaban itu, Syarifah Khodijah pun berkata: “Lho, berarti kamu keponakanku.”

Syarifah Khodijah adalah Bibik atau Bulik dari Mbah Semendi, karena ayahanda Mbah Semendi adalah saudara kandung Syarifah Khodijah, sama-sama anak langsung Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarifah Khodijah pun merestui pernikah kedua putranya dengan kedua putri Mbah Sholeh Semendi.

Begitulah Kisah Mbah Sholeh Semendi ini ditulis dan dinuqil dari Kiai Makhin Manaf, Lebak, Winongan yang dinuqil dari Kiai Hasbulloh Bungul, Malang, dari Mbah kyai Djasim Nur, Podokaton, dari Kiai Ahmad Muhammad Lebak, Winongan. Keturunan Mbah Sholeh Semendi sudah menyebar se antero Jawa Timur, khususnya Pasuruan. Hampir semua pondok pesantren, mulai Keboncandi, Besuk, Sidogiri, Bendungan, Gerongan, Podokaton, Tambak, Lecari, Bugul, Rembang dan banyak lagi adalah anak-putu, dzurriyah dan insyaAllah akan menjadi penerus perjuangan Mbah Buyut Soleh Semendi dalam berdakwah dan menyebarkan Islam di masa kini dan mendatang. Semoga kita semua mendapatkan barokah dari beliau, Mbah Buyut Soleh Semendi, amin ya robbal alamin. (*)

Anda bisa mengikuti acara Haul Mbah Soleh Semendi, 27 Februari 2024 di link berikut: