banner 728x250

Halaqah Ulama Berikan Kontribusi Besar untuk Bangsa dan Negara

Lamongan, Jurnal9.tv – Mewakili Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama KH. Yahya Cholil Staquf, KH. Ulil Abshar Abdalla membuka acara sekaligus memberikan pidato kunci pada Halaqah Ulama Nasional Rabithah Ma’ahid  Al – Islamiyah yang digelar di Aula DOM, Ponpes Sunan Drajat, Rabu (12/7/2023).

Sebanyak 500 ulama NU se – Indonesia berkumpul di Pondok Pesantren Sunan Drajat mendiskusikan berbagai problem kebangsaan dan keumatan.

Halaqah ulama menjadi agenda penting untuk  menentukan peta jalan dalam menyambut peradaban baru yang adil, harmonis dan penghargaan atas kesetaraan dan martabat manusia berdasarkan khazanah Pondok Pesantren.

Penguatan Pesantren dan Revitalisasi Kitab Kuning juga dibahas pada tiap komisi yang nantinya akan diplenokan.

Sebab, Saat ini Indonesia tengah menghadapi tiga tantangan serius dalam kaitannya dengan kebangsaan dan keumatan.

Ketiga tantangan tersebut adalah kelangkaan ulama, modernitas, dan masalah kebangsaan.

Untuk itu para ulama bertemu dalam halaqah kali ini untuk menghasilkan resolusi yang tepat agar persoalan tersebut dapat ditangani.

Menantu KH. Ahmad Mustofa Bisri tersebut mengajak semuanya mengingat momen penting sejarah tentang RMI dan kitab kuning di lingkungan Nahdhatul Ulama.

Diceritakan Gus Ulil, Halaqah pertama kali saat itu digagas oleh Alm. Kh. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjadi Ketua umum PBNU periode kedua, Hasil Muktamar NU yang ke 8 di Krapyak Tahun 1989.

Setelah terpilih menjadi Ketum PBNU, Alm Gus Dur menggagas suatu ide yang pengaruhnya bisa kita rasakan sampai saat ini.

Gagasan itu ialah mengadakan Halaqah, yang dijadikan istilah resmi pada acara – acara PBNU sekarang. Orang yang diberikan tugas Alm. Gus Dur saat itu, salah satu tokoh pentingnya adalah KH. Masdar Farid Mas’udi, bersama Alm. KH. Sahal Mahfud (Mantan Rais Aam PBNU) dan KH. Ahmad Mustofa Bisri.

Tiga Kiai itu terlibat dalam Halaqah – halaqah kitab kuning ini bersama Kiai – Kiai lainya pada era 80 an. Halaqah kitab kuning ini memiliki dampak yang luar biasa dan berhasil mendorong kiai kiai untuk membaca kitab kuning dengan cara pandang yang baru di beberapa serial Halaqah yang digelar.

Hasilnya memiliki nilai historis dan monumental dengan munculnya perumusan baru, metode Istinbat yang di dalam lingkungan NU yang dirumuskan dalam Munas Lampung Tahun 1982.

“Munas Lampung tersebut memiliki nilai sejarah dan penting bagi Kiai , terutama Kiai yang aktif dalam Bahtsul Masail. Diputuskan pada Munas lampung bahwa corak bermadzhab di NU berubah secara signifikan dari ber – Madzhab secara Qauli berubah menjadi Manhaji. Sekali lagi saya katakan, ini adalah keputusan yang penting, NU berpegang pada madzhab empat, terutama madzhab Syafi’i, dan tidak secara Qauli melainkan bermadzhab secara Manhaji,” terang Gus Ulil.

Dijelaskanya, Salah satu konsideran penting di dalam perumusan Munas di Lampung saat itu adalah ketika ada keluhan bahwa, di setiap Bahtsul Masail itu sering berujung pada Mauquf atau Tawaquf, Karena saking tawadhu’nya kiai yang tidak berani melakukan terobosan hukum.

 Untuk itu, diperlukan keberanian dan terobosan – terobosan penting untuk merumuskan hukum baru dalam menjawab persoalan – persoalan baru yang sedang terjadi.

Jadi, saya ingin katakan bahwa Halaqah ini mempunyai konstribusi penting di dalam sejarah NU meski sempat mengalami fakum sejak setelah kepemimpinan Gus Dur. Kemudian di era Gus Yahya ini dibangkitkan kembali.

Tahun lalu PBNU menggagas Halaqah massal seperti hitanan. Ada 200 halaqah di seluruh Indonesia. Halaqah-halaqah ini merupakan kelanjutan dari halaqah di era Gus Dur.

Menjadi tindakan yang sangat tepat soal Halaqah yang kembali dibangkitkan saat ini. Kalau boleh meminjam istilahnya santri dalam ilmu balaghah, ini disebut dengan Muthobaqotul hal atau munasabah. Ini sesuai dengan keadaan.

Menurutnya, gagasan yang dimunculkan oleh PBNU saat ini itu pondasinya dua. Yang pertama adalah pondasinya membangun peradaban baru tidak bisa kalau tidak bertumpu kepada tradisi kita  yang sudah ada di masyarakat Nahdhiyin.

Tetapi dengan tradisi saja tidak cukup, untuk itu perlu juga ada rekontekstualisasi atau revitalisasi yang merupakan cerminan dari al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yakni memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.

Sementara itu, Ketua RMI PBNU, KH. Hodri Ariev menyampaikan bahwa Halaqah Ulama Nasional ini bertajuk Menyambut Peradaban Baru, Menguatkan Pesantren dan Revitalisasi Kitab Kuning.

Menurutnya, gagasan tentang topik halaqah ini sebenarnya ingin menyambut tagline besar PBNU, yakni merawat jagat dan membangun peradaban. Sehingga gagasan besar ini perlu didukung oleh semua pihak dan elemen, secara khusus oleh lingkungan NU.

“Tagline itu jika lebih dispesifikkan menjadi merawat pesantren dan membangun peradaban,” ujar Kiai Hodri.

Hodri juga menjelaskan, halaqah ulama ini adalah suatu ikhtiyar untuk bisa terlibat, berpartisipasi aktif dalam mewujudkan dunia yang semakin baik dan mendorong kemaslahatan bagi umat manusia.

“Selain itu, hal ini juga merupakan ikhtiyar untuk memberikan sumbangsih dalam menyelesaikan berbagai permasalahan kemanusiaan,” imbuhnya. (mbs/snm)