Sidoarjo, jurnal9.tv -Bencana Lumpur Sidoarjo, yang terjadi pada 29 Mei 2006 silam dan menenggelamkan beberapa desa di sejumlah Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo telah berhasil dirumuskan model pengembangan infrastruktur dan kawasan terbangunnya melalui peneliltian disertasi. Penelitinya, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Dr. Moch. Shofwan, S.Pd., M.Sc., CHRM. Selasa (25/6), model tersebut akan dipertahankan di depan promotor dan penguji pada Sidang Terbuka di Program Studi Doktor Ilmu Administrasi, Bidang Kajian Pengembangan Wilayah dan Kebencanaan, Pasca Sarjana FISIP Untag Surabaya.
Menurut Shofwan, Lumpur Sidoarjo atau sering juga disebut Lumpur Lapindo menjadi sejarah penting dunia kebencanaan di Indonesia dikarenakan adanya peristiwa keluarnya gas dan lumpur panas dari dalam tanah dengan suhu 100°C. Berdasarkan data lapangan dan observasi sejauh ini semburan lumpur masih berlanjut dan belum ada tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat. “Semua usaha untuk menghentikan keluarnya lumpur dari dalam bumi sejauh ini tidak berhasil,” ungkapnya.
Dampak dari semburan Lumpur Sidoarjo, lanjut anggota Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) ini, terletak pada pola perencanaan dan pemanfaatan lahan di sekitar Kawasan bencana, khususnya terkait pengembangan infrastruktur dan kawasan terbangun baik itu untuk permukiman, kawasan industri, kawasan perdagangan dan jasa serta fasilitas umum dan fasilitas sosial. Dia mengungkapkan, penanganan pasca bencana khususnya terkait penataan ruang dan pengembangan wilayah harus mengedepankan fungsi collaborative governance, pelibatan multi pihak. “Misalnya penataan permukiman komunal pasca bencana di beberapa titik di wilayah tiga Kecamatan terdampak, butuh kawasan permukiman baru yang terintegrasi sesuai pola tata ruang di kawasan barat, yakni Tanggulangin, Tulangan, dan Krembung,” rincinya.

Sofwan, yang juga Wakil Ketua Badan Kemaritiman PCNU Sidoarjo ini juga menyebut perlunya mengoptimalkan pembangunan Kawasan Industri di Kawasan timur semburan lumpur yaitu daerah Jabon dan sekitarnya, sehingga tetap menumbuhkan sendi-sendi aktifitas perekonomian Kawasan tersebut.
Dalam disertasinya, Shofwan mengembangkan model baru yang dinamai Post Disaster-Evidence Based Planning, disingkat PD-EBP. Dalam model ini, Shofwan memasukkan unsur penilaian program melalui identifikasi dan analisis masalah serta kebutuhan dan unsur pengembangan anggaran di kawasan terdampak pasca bencana pada sebelum tahapan perencanaan wilayah secara normatif. “Dengan model ini, perencanaan wilayah di kawasan pasca bencana bisa dilaksanakan secara utuh, dimulai dari penyusunan rencana, penetapan, pelaksanaan, hingga evaluasinya,” terangnya. (*)