Wajah pedesaan di Republik ini masih suram. Pedesaan kita hanya indah dalam ingatan bersama (collective memory). Realitanya tidak ada kesejahteraan di sana, minimnya produktifitas tanaman baik pangan maupun perkebunan, rendahnya sumber daya manusia desa, bahkah akibatnya nir lapangan pekerjaan. Pertanyaannya adalah mengapa hal itu terjadi?

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Tulisan ini tidak menjawab secara komprehensif pertanyaan di atas, hanya mengambil satu sisi dimana terdapat pemisahan antara pengolahan dan pengelolaan tanah dengan industrialisasi pedesaan. Ini adalah warisan kolonial yang hingga sekarang masih tinggal, celakanya direpoduksi terus. Masuknya kapital melalui kolonialisme dulu diniatkan tidak membangun industrialisasi di wilayah pedesaan (baca: pedalaman). Mereka hanya menjadikan wilayah pedesaan sebagai kantung produksi tanaman belaka. Tidak lebih. Lebih dalam dari itu, tulisan ini juga memfokuskan pada program yang sedang berjalan yaitu Perhutanan Sosial.

Ini merupakan program pemerintah yang konsep dasarnya dalam tata kelola hutan melibatkan masyarakat. Secara prinsipil konsep ini bias, karena masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan hutan. Namun pemerintah melihat perlunya kelestarian hutan dan lingkungan. Selain itu, bagi pemerintah keterlibatan masyarakat petani dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus juga meredam konflik yang terjadi, khususnya antara Perhutani dengan masyarakat petani di pinggir hutan.

Niat baik selalu tidak cukup, jika tanpa pelaksanaan dan berpihak kemana sebenarnya program tersebut. Tata kelola era kolonial sudah harus ditinggalkan. Tidak saja urusan produksi dan pengelolaan tanaman yang diserahkan pada petani, akan tetapi urusan tata kelola industri hasil pertanian harus diletakkan di tangan petani. Orientasi pembangunan nasional selama ini masih bias bahwa tata kelola industri pertanian itu membutuhkan efektitifas dan efisiensi, sehingga harus diletakkan pada kekuatan kapital besar. Dasarnya adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional, bukan pemerataan kesejahteraan dan kemakmuran bersama.

Pada titik ini dapat difahami, jika value added tidak ditangan petani pedesaan. Keuntungan terbesar berada di luar petani pedesaan, justru di tangan tengkulak, pedagang pasar, serta pemilik kapital besar yang memborong hasil pertanian atau perkebunan serta hasil hutan di wilayah pedesaan. Karenanya, pembangunan pedesaan dianggap bisa berhasil diwujudkan oleh pemerintah. Bukan hasil jerih payah masyarakat pedesaan setempat. Dengan demikian, sangatlah penting meletakkan gagasan industrialisasi di wilayah pedesaan sebagai mata rantai dengan produksi pertanian desa, dengan aktor utamanya masyarakat pedesaan sendiri.

Arti Sempit Istilah Industrialisasi Pedesaan
Kesan di publik selama ini, kalangan ilmuwan mendefinisikan industrialisasi pedesaan adalah industri rumah tangga (home industry) atau lebih besar dari itu, yaitu industri berukuran kecil di pedesaan, yang tidak terkait dengan pasar yang luas. Itu pun, tidak jarang dikelola oleh orang kaya lokal yang berafiliasi dengan pengusaha kota. Praktek seperti ini dapat dipastikan menghadirkan elite capture, demi keuntungan pribadi dan kelompoknya dalam rangka membangun status quo mereka wilayah pedesaan. Padahal hasil pertanian dan perkebunan sangat terkait dengan pasar yang lebih luas, termasuk pasar seberang lautan. Ide ini sangat bias kolonialistik. Cara pandang ini sudah laiknya ditinggalkan.

Memang bisa jadi pengertian seperti disebutkan di atas itu sangat bermanfaat, setidaknya di dunia akademik, sebagai bahan penelitian. Akan tetapi pengertian tersebut belum cukup untuk dijadikan pedoman bagi istilah industrialisasi pedesaan dalam terminologi tulisan ini. Kenyataan yang terjadi menunjukkan bahwa terdapat industri dengan dukungan kapital besar yang tidak saja memiliki pengaruh tapi sangat terkait dengan ekonomi pertanian di pedesaan.
Masalah lain industrialisasi pedesaan dalam arti sempit tersebut, juga gagal menangkap adanya pertumbuhan jumlah penduduk, yang menghasilkan angkatan kerja. Akibatnya karena tidak adanya industrialisasi pedesaan maka pemerintah di negeri ini lambat mengabsorbsi pertumbuhan angkatan kerja. Akibat lanjutannya adalah pengangguran di wilayah pedesaan, dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Istilah industrialisasi pedesaan di negeri ini cenderung diartikan sebagai bagian dari alat pembangunan pedesaan semata. Ia bukan bagian dari pembangunan industri yang berfungsi meningkatkan produktifitas ekonomi nasional.

Oleh karena itu, industrialisasi pedesaan harus diletakkan secara tidak terpisah  sebagai mata rantai dari hasil produksi di wilayah pedesaan. Industrialisasi pedesaan harus dijabarkan sebagai alat pertumbuhan ekonomi pedesaan. Selain itu, industrialisasi pedesaan juga sebagai alat pertumbuhan ekonomi pedesaan. Ditambah lagi, dan ini harus jadi perhatian pemerintah, industrialisasi pedesaan nantinya juga sebagai penyangga kelangkaan kesempatan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja, pada akhirnya menjadikan wilayah pedesaan produktif kembali.

Strategi Pencapaian
Secara politik, ini membutuhkan strong will (komitmen yang kuat) dari pemerintah terhadap pelaksaan program ini. Komitmen ini harus tergambar dalam kebijakan makro dibidang fiskal dan moneter yang bersifat menciptakan kondisi pendukung bagi pertumbuhan industri yang berhubungan dengan sumberdaya dan ekonomi pedesaan. Orientasi pembangunan di sektor industri selama ini lebih menekankan padat modal, yang ini menafikan sektor pertanian di wilayah pedesaan. Cerminan industri ekstraktif seperti tambang sangat menonjol selama ini. Karenanya komitmen pemerintah merupakan modal dasar dan utama dalam pelaksanaan industrialisasi pedesaan ini nantinya.

Sektor industri yang menekankan padat modal ini melemahkan kaitan sektor industri dengan sektor pertanian di pedesaan. Padahal hal ini kurang menguntungkan bagi perkembangan industri itu sendiri. Akibat industri padat modal juga melahirkan ketergantungan pada bahan baku dari luar negeri, yang itu juga berdampak pada ketergantungan yang lain, yakni modal pada asing. Industri padat modal ini bukan merupakan integrasi dari industri menengah atau kecil, atau setidaknya sebagai mata rantai kelanjutan dari industri pedesaan. Pada titik inilah sebenarnya, investasi sektor industri pedesaan merupakan jawaban dari proyek pembangunan nasional.

Sekali lagi, industrialisasi pedesaan memiliki peran strategis dan lebih luas, yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah pedesaan dengan adanya diversifikasi sumber pendapatan. Pendapatan tidak lagi dari produksi pokok, tapi juga produk turunannya. Adanya pengembangan produk turunan maka diharapkan terjadi permintaan baik dari dalam maupaun luar daerah, termasuk pasar luar negeri juga terbuka. Pada level lain berlangsung hubungan fungsional (functional lingkages) antara sektor pertanian dengan sektor urban.

Pada titik inilah industrialisasi pedesaan akan menyumbang bagi peningkatan produktifitas tenaga kerja. Akan menghindari adanya migrasi terus menerus, serta penumpukan sektor industri di wilayah perkotaan. Pada level yang paling tinggi sumbangan dari industrialisasi pedesaan ini  mengurangi kemiskinan dan disparitas ekonomi uang antara pedesaan dan wilayah perkotaan.*)

Oleh: Tri Chandra Aprianto
Sejarawan UNEJ dan Sekretaris Lembaga Pengembangan Pertanian PBNU