Pasca Prahara Agustus, Polisi Tahan Dua Aktivis HAM, Jaringan GUSDURian Ajukan Permohonan Penangguhan

Avatar photo

Jakarta, jurnal9.tv -Jaringan Gusdurian mendesak kepolisian membebaskan dua aktivis lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM) Adetya Pramandira dan Fathul Munif yang ditangkap dan sudah ditetapkan sebagai tersangka pada 28 November 2025 lalu atas tuduhan tindak pidana dalam Pasal 45A Jo Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE sebagaimana Pasal 160 KUHP. Keduanya dianggap melakukan penghasutan saat terjadi demonstrasi pada Agustus lalu. Gusdurian telah mengirimkan surat dan mengajukan jaminan atas penahanan kedua aktivis itu.

Dalam siaran persnya, Alissa Wahid, Direktur Jaringan GUSDURian memandang penahanan keduanya tidak perlu dilakukan dengan dua pertimbangan utama. Pertama, keduanya belum pernah melakukan tindak pidana dan kedua, keduanya merupakan aktivis yang aktif melakukan advokasi perlindungan terhadap lingkungan hidup serta penegakan Hak Asasi Manusia dan demokrasi.

Di dalam KUHAP terdapat hak bagi tersangka untuk memintakan penangguhan penahanan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan’.

Selain itu penahanan dilakukan hanya jika diperlukan, jika tidak maka dapat dikategorikan sebagai penahanan yang tidak dibutuhkan (unnecessary detention) dan penahanan sewenang-wenang (arbitary detention), hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005.

Jaringan GUSDURian mengajukan diri sebagai penjamin kedua keluarga Jaringan GUSDURian tersebut dan memohon penangguhan penahanan. Kami menjamin keduanya tidak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan tidak akan mempersulit jalannya proses hukum, serta sanggup dan bersedia untuk menghadiri setiap proses hukum yang ada.

Pada penjamin terdiri dari akademisi, aktivis demokrasi, pakar hukum, hingga penggerak lintas iman yang selama ini bergerak bersama berbagai elemen termasuk pemerintah dalam memperjuangkan kehidupan yang harmonis, adil, dan setara.

“Kami telah mengirimkan permohonan surat penangguhan dengan nomor surat 118-SP-SekNas JGD-XII-2025 tertanggal 2 Desember 2025 yang ditujukan kepada Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Semarang Cq Kasatreskrim Kepolisian Resor Kota Besar Semarang. Kami berharap agar permohonan penangguhan penahanan ini dikabulkan demi tegaknya keadilan,” tegas Alissa.

Putri sulung Gus Dur ini menilai UU ITE kembali menjadi bencana hukum bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi karena digunakan untuk merepresi pihak yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan penguasa. Hal ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum, terutama terhadap fungsi pengawasan yang menjadi bagian penting dari demokrasi. “Jika kritik dibungkam dan pengkritik dikriminalisasi, maka jargon dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat tidak lagi berjalan karena supremasi sipil telah dikooptasi,” serunya.

Jaringan GUSDURian merupakan jejaring masyarakat sipil, tersebar di lebih 100 kota Indonesia yang melanjutkan nilai, pemikiran, dan keteladanan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (*)