Surabaya, Jurnal9.tv – Menjelang pemilu 2024, suasana politik makin menghangat. Ini menimbulkan gejolak di kalangan masyarakat. NU yang basis massa terbesar se-Indonesia menjadi bidikan para partai politik. Arah kebijakan politik NU pun ditunggu oleh masyarakat sebagai referensi.
Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D. Rais Syuriah PCINU Australia-New Zealand, yang juga dosen pasca sarjana Monash Law University Australia, dalam akun instagramnya @nadirsyahhosen_official menulis tentang “Tafsir khittah NU 1926, khususnya soal relasi NU dan politik, telah bergeser. Dan pergeseran ini menimbulkan gesekan”.
Kalau dulu tafsir-nya itu PBNU menganakemaskan PKB sebagai anak kandung yang lahir dari rahim PBNU, maka tafsir saat ini adalah PBNU merangkul semua Parpol. Gus Nadir juga pernah menjelaskan juga di podcast Akbar Faizal Uncensored (AFU) rasionalisasi tafsir ini bahwa politik NU adalah politik kebangsaan atau keumatan bukan kekuasaan.
Tafsir itu tentu dinamis. Mungkin periode berikutnya, sesuai konteks yang berbeda, tafsir aplikasi khittah akan berbeda lagi.
Jadi, betul bahwa warga NU tidak haram memilih parpol manapun karena urusan siyasah ini memang bukan perkara halal-haram. Kalau PBNU periode sekarang dengan tafsirnya mau merangkul semua Parpol, ya oke saja. Tapi jangan berhenti di sini. Apa agenda kebangsaan dan keumatan yang hendak PBNU titipkan kepada parpol untuk diperjuangkan?
“Saya bayangkan semua kader NU di semua parpol dipanggil secara rutin oleh PBNU dan diminta secara sungguh-sungguh, apapun parpolnya, untuk memperjuangkan kemaslahatan Nahdliyin. Ingat, jika Nahdliyin yang mayoritas ini sejahtera maka otomatis bangsa ini sejahtera” ujar Gus Nadir.
Musuh kita bersama adalah ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan. Ini harus jelas -jelas diperjuangkan oleh semua kader NU di semua parpol.
“PBNU jangan membiarkan warga NU jadi rebutan semua parpol tapi tidak ada agenda ke-NU-an dan kebangsaan yang dititipkan untuk diperjuangkan. Jangan sampai tafsir khittah di atas hanya menguntungkan pihak lain, tapi menggembosi warga NU sendiri. Ini yang perlu kita jaga dan ingatkan,” imbuhnya.
Jangan sampai kelak mereka berkuasa, tapi warga NU terus terpinggirkan di dalam kubangan ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan. Kalau ini yang terjadi maka tafsir aplikasi khittah di atas tidak lagi tasamuh, tawazun, tawasuth & i’tidal.
“Dengan kata lain, jangan sampai NU sibuk menjadi muadzin, memanggil orang untuk menjaga NKRI, tapi NU hanya selalu menjadi makmum ikut agenda pihak lain, asal kebagian sarungnya saja kita sudah merasa cukup,” begitulah analogy yang ditulis Gus Nadir.
“Bisa-bisa NU sebagai rumah kita masih ada, tapi perabotan rumahnya sudah habis diambil pihak lain,” pungkasnya. (snm)