Surabaya, Jurnal9.tv – Setiap 30 september, Masyarakat Indonesia seolah diajak kembali ke masa lalu. Masa-masa peristiwa G-30 S PKI. Pada masa komunisme saat itu, lagu genjer-genjer dijadikan alat propaganda pada setiap kampanye PKI.
Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama (PP Lesbumi NU) KH Muhammad Jadul Maula mengungkapkan, Sebagai catatan, Genjer-Genjer merupakan lagu ciptaan seniman asal Banyuwangi Muhammad Arief. Seniman yang juga aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) ini menggambarkan tentang penderitaan rakyat akibat penjajahan Jepang. Lagu ini kemudian dipopulerkan oleh seniman Bing Slamet dan Lilis Suryani. Kepopuleran lagu ini membuat PKI menjadikannya sebagai alat propaganda pada setiap kampanyenya.
Komunisme menggunakan kebudayaan melalui seni rakyat untuk mengusung tema komunisme yang itu bersitegang dengan kiai-kiai. Atas situasi keprihatinan kebangsaan, nasib rakyat, umat itulah shalawat Badar tercipta oleh KH M Ali Manshur sekitar tahun 1960-an.
Syarif Abdurrahman dalam artikel NU Online berjudul ‘Gus Dur, Kiai Ali Manshur, dan Shalawat Badar’, menuliskan bahwa pada tahun 1955, Kiai Ali terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Partai NU Cabang Bali. Pada 1962, ia memutuskan pindah ke Banyuwangi dan dipercaya menjadi Ketua Cabang NU Banyuwangi. Selama di Banyuwangi inilah, Kiai Ali melahirkan karya fenomenal Shalawat Badar . Ada kisah yang sangat menyita perhatian sesaat sebelum Kiai Ali menulis Shalawat Badar.
Kiai Ali bermimpi didatangi orang berjubah putih yang diduga para ahli perang badar. Dalam keputusan Muktamar ke-28 NU di Krapyak, Yogyakarta, Shalawat Badar dikukuhkan menjadi Mars Nahdlatul Ulama (NU).
Awalnya banyak yang tidak mengenal siapa penggubah shalawat badar, Gus Dur yang memerkenalkan KH Ali Manshur sebagai penggubah shalawat badar, karena Almarhum khawatir akan ada orang lain yang mengakuinya.
Hingga kini masih banyak yang belum mengetahui asal-usul Kiai Ali. Beliau dilahirkan di Jember pada 23 Maret 1921. Terkenal haus ilmu. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai dari Pesantren Termas Pacitan, Pesantren Lasem, Pesantren Lirboyo Kediri hingga Pesantren Tebuireng Jombang.
Waktu kecil Kiai Ali belajar di Tuban. Setelah itu Kiai Ali ingin belajar ke Termas namun ia hanya punya modal sepeda onthel dan nasi jagung. Akhirnya dari Tuban ke Tremas, ia naik onthel dan bekal nasi jagung. Selama di pesantren Kiai Ali menerima jasa ojek ke pasar dan hasilnya untuk membeli kitab. “Kiai Ali suka ilmu Arrudh (Ilmu Sya’ir), dan belajar ilmu ini di Lirboyo.
Saat ini, Shalawat badar sudah merambah ke genre musik pop yang dipopulerkan oleh beberapa grup band dan penyanyi religi. Bahkan pernah menggema di kontes pencarian bakat pada tahun 2018 lalu. Tak hanya di Indonesia, Shalawat Badar juga dikenal di berbagai belahan negara Islam di dunia. (snm)