OPINI  

PMII-preneur: Langkah Nyata PMII Jatim Menuju Kemandirian Ekonomi

Oleh: Moh. Sa’i Yusuf, Calon Ketua Umum PKC PMII Jawa Timur 2025-2027

Di tengah tantangan ketergantungan struktural yang selama ini membayangi gerakan mahasiswa Islam, PMII Jawa Timur menghadirkan satu terobosan strategis dalam bidang ekonomi kader dengan meluncurkan inisiatif bernama PMII Preneur. Gagasan ini bukan sekadar program kewirausahaan konvensional yang mengejar profit semata, melainkan merupakan upaya sistematis dalam merekonstruksi paradigma kemandirian organisasi berbasis ideologi dan kerja nyata. Melalui PMII Preneur, ekonomi kader tidak lagi dipandang sebagai ruang kapitalisasi, tetapi sebagai wahana pendidikan nilai, penguatan struktur, dan pemberdayaan sosial yang menyatu dalam arah gerakan jangka panjang.

Kesadaran akan pentingnya kemandirian ekonomi ini tumbuh dari refleksi mendalam atas pola-pola lama yang selama ini menggantungkan keberlangsungan organisasi pada proposal, iuran insidental, atau bahkan sokongan dari aktor politik. Ketergantungan seperti ini menciptakan model kaderisasi yang rapuh, mudah diintervensi, dan tidak memiliki kemampuan produksi nyata di tengah masyarakat. PMII Jawa Timur menjawab tantangan ini dengan menegaskan bahwa ekonomi harus menjadi bagian dari strategi gerakan, bukan pelengkap administratif. Maka, PMII Preneur menjadi jawabannya: gagasan ekonomi yang tidak netral, melainkan berpihak pada keadilan, keberlanjutan, dan integritas nilai.

Langkah pertama dalam implementasi PMII Preneur adalah tahap inkubasi kader dan identifikasi potensi, yang dirancang bukan hanya sebagai pelatihan teknis, melainkan sebagai proses ideologisasi ekonomi. Dalam fase ini, kader-kader PMII dikenalkan pada pendekatan-pendekatan ekonomi berbasis komunitas, pemetaan aset lokal, serta literasi keuangan yang kontekstual. Melalui metode partisipatif, kader diajak mengidentifikasi kekuatan dan peluang di lingkungan masing-masing, yang kemudian dipadukan dengan pelatihan manajerial dan kewirausahaan dasar. Inkubasi ini juga menghasilkan data objektif tentang potensi wilayah yang menjadi dasar awal penyusunan model usaha.

Dari hasil inkubasi tersebut, kader memasuki fase perumusan ide usaha, yang menjadi titik transisi dari kesadaran menjadi rencana konkret. Dalam tahapan ini, gagasan usaha tidak disusun dari atas ke bawah, melainkan digali dari kebutuhan lokal dan potensi kader secara langsung. Ide-ide usaha yang diajukan tidak hanya dinilai dari aspek potensi profit, tetapi juga dari kebermanfaatan sosial, nilai keberpihakan, serta kesinambungan operasional. Hal ini menjadikan proposal usaha kader lebih reflektif, grounded, dan memiliki ruh sosial yang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai PMII.

Proposal-proposal usaha tersebut kemudian melalui proses validasi oleh tim kurator internal yang terdiri dari alumni, kader senior, serta mitra profesional. Validasi dilakukan berdasarkan parameter kelayakan bisnis, ketahanan sosial, dan kesesuaian ideologis. Kegiatan ini sekaligus menjadi ruang belajar bagi kader untuk memahami kritik konstruktif, membaca ulang kelemahan ide, serta mengembangkan kapasitas analitis dan teknokratis mereka. Validasi bukan alat seleksi semata, melainkan bagian dari konsolidasi nilai agar setiap usaha kader yang dijalankan tidak melenceng dari prinsip dasar organisasi.

Usaha yang telah lolos validasi kemudian memasuki tahap pembentukan tim usaha yang diatur secara struktural dan akuntabel. Tim ini harus memiliki pembagian peran jelas, pakta integritas yang mengikat secara moral, serta dokumen kerja seperti SOP, sistem pelaporan, dan mekanisme pengambilan keputusan kolektif. Dalam fase ini, PMII tidak hanya mencetak pelaku ekonomi, tetapi juga membentuk kepemimpinan kewirausahaan yang bertanggung jawab, anti-eksploitatif, dan berbasis gotong-royong. Proses ini menjadi miniatur pemerintahan kader dalam skala mikro—melatih kader untuk tidak hanya berproduksi, tetapi juga mengelola relasi kekuasaan dan tanggung jawab secara sehat.

Setelah tim terbentuk, unit usaha bergerak ke fase operasionalisasi. Ini merupakan fase paling teknis namun sangat krusial karena menjadi momen transformasi ide menjadi kenyataan. Mulai dari pengadaan bahan baku, produksi barang atau layanan, distribusi produk, hingga manajemen keuangan dijalankan sesuai dengan prinsip efisiensi dan keadilan. PMII mendampingi fase ini dengan sistem mentoring, dashboard monitoring, dan pelaporan periodik. Setiap unit usaha diberi keleluasaan dalam strategi teknis, namun tetap dalam koridor prinsip nilai dan akuntabilitas sosial yang telah disepakati sejak awal.

Keunikan dari PMII Preneur tidak hanya pada tahap pelatihan dan usaha, tetapi pada pengawasan ideologis yang sistematik. PMII membentuk Dewan Etika dan Nilai yang bertugas melakukan supervisi moral dan ideologis terhadap seluruh aktivitas usaha kader. Dewan ini mengevaluasi apakah unit usaha melanggar prinsip keberpihakan, berkolaborasi dengan entitas predatoris, atau terjebak dalam logika eksploitasi. Fungsi ini memastikan bahwa PMII Preneur tidak berubah menjadi platform kapitalistik yang mengabaikan fondasi perjuangannya.

Untuk menjaga konsistensi nilai, setiap unit usaha juga diwajibkan menyusun dan menjalankan Kode Etik Usaha Kader, yang mencakup prinsip anti-riba, anti-eksploitasi, transparansi keuangan, dan kebermanfaatan sosial. Kode etik ini bukan hanya formalitas, melainkan menjadi bagian dari laporan evaluasi berkala dan syarat keberlanjutan usaha. Di sinilah PMII memadukan etika dalam ekonomi sebagai sesuatu yang operasional, bukan sekadar deklaratif. Kode etik menjadi alat ukur nilai sekaligus batas moral yang melindungi usaha dari penyimpangan struktural.

Penguatan nilai juga dilakukan melalui forum reflektif ideologis yang berjalan paralel dengan aktivitas usaha. PMII menggelar diskusi nilai, pembacaan ulang naskah ideologi, hingga mentoring oleh senior ideologis agar pelaku usaha tidak kehilangan arah. Dalam forum ini, kader pelaku usaha diajak menganalisis dinamika ekonomi mereka dari kacamata struktural dan etis—apakah usaha mereka masih relevan secara sosial? Apakah orientasinya masih dalam kerangka gerakan? Jika tidak, maka perlu koreksi kolektif.

Sebagai langkah akuntabilitas, PMII Preneur menyusun alat ukur performa usaha berbasis tiga dimensi: kelayakan finansial, kebermanfaatan sosial, dan kesesuaian nilai. Ini menjadi terobosan dalam dunia usaha kader karena menolak evaluasi berbasis profit semata. Alat ukur ini memungkinkan kader melihat sejauh mana usaha mereka mengakar, menjawab kebutuhan komunitas, dan tetap berada dalam rel perjuangan ideologis yang lebih besar. Dengan ini, PMII memformulasikan ekosistem ekonomi kader yang tidak hanya produktif, tetapi juga bermoral.
Proses replikasi dan pengembangan unit usaha PMII Preneur juga dirancang adaptif terhadap kondisi lokal. Model usaha tidak digandakan secara seragam, melainkan melalui pendekatan adaptif berbasis wilayah dan sumber daya kader. Replikasi bukan soal jumlah, tetapi tentang kualitas dan kontekstualitas. Inilah yang membedakan PMII Preneur dari sekadar program ekonomi kampus lainnya—ia hadir sebagai model organisasi yang belajar dari bawah, bukan hanya mendikte dari atas.

Konsolidasi seluruh proses ini hanya bisa berlangsung jika struktur organisasi PMII berjalan seirama. Oleh karena itu, PMII Jawa Timur memasukkan narasi ekonomi kader ke dalam agenda struktural, mulai dari konferensi, musyawarah, hingga dokumen rencana strategis. Hal ini memperkuat posisi PMII Preneur sebagai bagian integral dari arah gerakan, bukan proyek temporer yang berdiri sendiri. Dengan cara ini, ekonomi kader memperoleh legitimasi politik dan ideologis di dalam tubuh organisasi.

PMII Preneur pada akhirnya menjadi media transformasi organisasi yang menyeluruh. Ia tidak hanya menjawab krisis ekonomi, tetapi juga krisis orientasi gerakan. Ia menjadi ruang kaderisasi baru, ruang produksi alternatif, dan ruang pendidikan nilai. Melalui PMII Preneur, kader belajar bagaimana memadukan idealisme dan profesionalisme, bagaimana mengartikulasikan nilai dalam strategi, dan bagaimana membangun ekonomi tanpa tercerabut dari basis perjuangan sosial.

Dengan berjalannya PMII Preneur, PMII telah memindahkan sebagian besar proses kaderisasi dari ruang kelas ke lapangan ekonomi. Dari wacana ke praktik. Dari proposal ke produksi. Dari forum ke pasar. Semua ini bukanlah bentuk komersialisasi gerakan, melainkan perluasan medan juang yang lebih konkret dan berdaya guna. Ekonomi kader menjadi alat untuk merebut ruang, bukan sekadar bertahan hidup.

Sebagai penutup, PMII Preneur adalah contoh bagaimana organisasi kader mampu membangun sistem ekonomi yang mandiri, berkeadilan, dan ideologis. Ia menjadi model baru gerakan mahasiswa Islam yang tidak hanya lantang dalam pernyataan sikap, tetapi juga mampu bertindak dalam kerja nyata. Dengan PMII Preneur, PMII tidak hanya membangun usaha, tetapi juga merawat arah, memperkuat basis, dan mempersiapkan generasi baru kader yang kokoh dalam nilai, tangguh dalam kerja, dan strategis dalam pergerakan. (*)