Home » Memaafkan & Teladan Para Nabi-Shiddiqin
opini

Memaafkan & Teladan Para Nabi-Shiddiqin

Saat khotbah Idul Fitri 1 Syawal 1445 H di Masjid Agung Baitul Mukminin Alun-Alun Jombang, Rabu (10/4/2024), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jombang, Dr KH Afifuddin Dimyati Alhafiz, menjelaskan pentingnya meminta maaf dan memberi maaf. ’’Sayidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah berkata; Orang yang mau meminta maaf itu mulia. Namun orang yang mau memberi maaf itu lebih mulia,’’ tuturnya.

Memaafkan termasuk sifatnya orang bertakwa. Sebagaimana sifat orang bertakwa yang disebutkan dalam QS Ali Imron 134. Orang bertakwa yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit. Dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan kesalahan orang. Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat kebagusan. ’’Memaafkan itu sifatnya para nabi dan siddiqin,’’ terangnya.

Sebagaimana disebutkan dalam QS Annisa 69. Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah. Yaitu Nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Nabi Yusuf alaihissalam yang dimasukkan ke sumur oleh saudara-saudaranya pun rela memaafkan. Bahkan Nabi Yusuf berbuat baik kepada mereka dengan memintakan ampunan kepada Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam QS Yusuf 92. Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang.

Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam selama dakwah di Makkah juga mendapat perlakuan tidak baik. Namun giliran Nabi menaklukkan Makkah, Nabi memberikan maaf dan ampunan. Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imron 159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka.

Para sahabat Nabi juga senang memaafkan. Salah satu contohnya Abu Bakar Assiddiq radiyallahu anhu. Abu Bakar rutin memberi nafkah bulanan kepada ponakannya bernama Mistah. Tapi ternyata air susu dibalas air tuba. Mistah ikut menyebarkan berita bohong bahwa Aisyah putri Abu Bakar selingkuh. Abu Bakar marah sehingga bertekad menghentikan nafkah bulanan Mistah.

Allah SWT menegur dengan menurunkan QS Annur 22. Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Mendengar ayat ini Abu Bakar langsung berkata; Iya ya Allah, saya mau mendapatkan ampunanMu. Abu Bakar lantas berbuat baik kepada Mistah dengan menambahi jumlah nafkah bulanan yang diberikan.

Agar bisa memaafkan, pertama, kita harus ingat bahwa orang-orang yang menyakiti kita itu sejatinya digerakkan oleh Allah SWT untuk menguji kita. Sebagaimana disebutkan dalam QS Almulk 2. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Kedua, jika kita memaafkan, maka kita akan mendapatkan maaf dan ampunan dari Allah SWT. Sebagaimana kisah pada Abu Bakar.

Ketiga, dengan memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang menyakiti, kita bisa mengubah keadaan menjadi baik. Sebagaimana disebutkan dalam QS Fussilat 34. Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.

Hidup ini pendek. Eman jika hanya dihabiskan untuk memikirkan membalas dendam. Banyak hal positif yang bisa dilakukan daripada memikirkan cara membalas dendam.

Tidak ada kebaikan yang bisa dihasilkan dari permusuhan dan dendam yang terus dipelihara. Mata rantai kebencian, permusuhan dan dendam harus dihentikan agar bisa muncul kebaikan dalam kehidupan pribadi, rumah tangga, bertetangga, maupun berbangsa dan bernegara. Maka kita harus bisa memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang menyakiti.

Kita tidak pernah dibuang ke sumur seperti Nabi Yusuf alaihissalam. Kita tidak pernah dicaci, dihina dan disakiti seperti Nabi Muhammad sallallalhu alaihi wa sallam. Kita juga tidak pernah mengalami seperti Abu Bakar Assiddiq. Terus kenapa kita sulit memaafkan? (abduh)