TOKOH  

HUT ke-78 RI, Alissa Wahid : Seandainya saja Mencintai Indonesia Sesederhana Cinta Monyet Bocah Ingusan

Surabaya, Jurnal9.tv – Dalam rangka memperingati HUT Ke-78 RI dan Harlah Gus Dur, Jaringan GUSDURian mempersembahkan upacara dan refleksi kemerdekaan secara virtual. Acara tersebut juga disiarkan secara langsung melalui youtube TV9 pada hari Kamis, 17 Agustus 2023. Dalam acara tersebut, Alissa Wahid selaku Direktur Jaringan Gusdurian mempersembahkan orasi kemerdekaan yang berjudul “Mencintaimu Indonesia”.

Berikut ini bait orasi kemerdekaan “Mencintaimu Indonesia” karya Alissa Wahid.

Mencintaimu Indonesia, dirgahayu Indonesia. Hari ini, orang-orang sibuk berbicara tentang mencintai Indonesia. Berupa-rupa cara warga kita mencintai negara, bangsa ini. Mulai dari mencintai lingkungan, mengasah diri sendiri agar menjadi orang yang sukses dan tidak perlu bantuan sosial agar bisa menolong sesamanya, bertoleransi kepada semua warga bangsa, bergotong-royong mempersiapkan perayaan 17-an, mendidik anak dengan baik agar anak-anaknya tidak mudah menjadi orang yang dibodohi, mencintai Indonesia dengan terlibat dalam pelayanan masyarakat dan berbagai cara lainnya. Bahkan tadi pagi, seorang netizen berujar caranya mencintai Indonesia adalah dengan selalu mengirim uang kepada adiknya yang seorang guru honorer.

Seandainya saja mencintai Indonesia sesederhana Cinta Monyet bocah ingusan kepada gadis cilik atau sebaliknya. Yang hanya soal mengumbar rasa, tidak terbelenggu oleh bayangan masa depan dan segala persoalannya, tidak perlu memikirkan apakah nanti calon mertua akan bisa menerima, tidak perlu memikirkan apakah nanti bisa membeli mobil, membeli rumah, memiliki deposito, tidak perlu memikirkan childfree atau tidak. Cinta Monyet bocah ingusan memang sederhana, tapi mencintai Indonesia agaknya lebih Selaras dengan bait puisi Sapardi Djoko Damono “ Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya Tiada.”  Ikhlas. Mencintai Indonesia berarti bersiap menjadi kayu yang berubah menjadi abu, atau seperti awan yang hilang bersama hujan.

Apalagi bagi kita, para murid Al Mafullah Gus Dur. Dan tentunya karena beliau sering menyampaikan bahwa beliau hanyalah murid dari guru-gurunya yang banyak, utamanya Kiai Haji Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahid Hasyim. Maka bila kita mendaku sebagai murid Gus Dur, maka kita pun menjadi murid semua guru-guru beliau. Kiai Hasyim Asy’ari yang ikhlas mengirimkan para santri untuk membela bayi Republik, walaupun bayi Republik itu bukanlah sebuah negara Islam. Kiai Wahid Hasyim yang menjadi salah satu pendiri bangsa ini dan ikhlas menghilangkan tujuh kata yang khas untuk orang Islam agar Indonesia tetapi Bhineka Tunggal Ika. Kita diberkahi dengan beban berat menapaki jejak para guru dia, para Ksatria para Kesatria yang terus bekerja untuk menunaikan Janji Suci kemerdekaan.

Mulai dari Janji Suci pada saat republik ini masih bayi, janji Suci untuk mewujudkan kesejahteraan umum, janji Suci untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, janji Suci untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur, janji suci yang sampai saat ini belum terpenuhi kesejahteraan umum, kehidupan bangsa yang cerdas, Indonesia yang adil dan makmur. Kadang, itu seperti asa indah yang lebih terasa semakin menjauh tidak semakin mendekat, kualitas manusia Indonesia belum cukup memadai. Dalam peringkat indeks pembangunan manusia, kita masih jauh di atas 100 negara teratas di bumi ini. Dalam ukuran-ukuran seperti visa, kita masih masuk dalam kategori negara terbelakang.

Kesejahteraan masih jauh dari jangkauan, para warga bangsa khusus yang terdesak dan terpinggirkan tidak kunjung mendapatkan haknya untuk hidup dalam sistem yang adil baginya. Sebagaimana yang diperjuangkan para kelompok adat petani pekerja rumah tangga penyandang difabel, bahkan bagi perempuan yang seringkali kita katakan bahwa Indonesia maju untuk gerakan perempuannya. Tapi masih banyak perempuan yang terdesak oleh tradisi yang memangkas potensi mereka.

Kualitas kehidupan bangsa kita, kehidupan berbangsa kita juga belum cukup memadai. Pertikaian antar kelompok masyarakat, mental mayoritas minoritas yang mengorbankan kelompok-kelompok kecil dan lemah. Sungguh miris membaca, ibadah-ibadah yang dihentikan atas dasar ketidaksukaan warga di sekitarnya. Sungguh miris membaca kasus demi kasus kekerasan yang akhir-akhir ini tidak lagi kita dapat menyebut sebagai kasus, tapi mungkin kita perlu waspada karena bisa jadi sudah mulai menjadi budaya.

Kualitas kehidupan bernegara kita pun belum cukup memadai. Agenda-agenda pembangunan yang dibiayai oleh uang rakyat, dibiayai oleh pajak yang kita bayar, dari setiap benda yang kita beli yang mengandung pajak yang kita setorkan kepada negara, dari setiap pendapatan yang kita miliki kita setorkan kepada negara sebagai uang iuran kita untuk mengelola kehidupan kita bersama. Tapi agenda-agenda pembangunan yang dibiayai dengan uang itu tidak disusun dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh untuk rakyat, melainkan hanya sekadar membuat kegiatan yang berisi lomba pidato para pejabat. Sungguh miris membaca, dari seluruh anggaran program pemberantasan kemiskinan ekstrem Rp 500 miliar habis hanya untuk rapat-rapat saja .

Penyelenggara negara kita masih sibuk berkongkalikong dengan pengusaha, dan mereka-mereka yang serakah untuk memanfaatkan program-program yang ada. Sungguh miris menyimak kasus menara telekomunikasi yang diniatkan untuk mencerahkan kehidupan seluruh penjuru negeri, 8 triliun dicuri, dibagi-bagi, tidak ada menara yang dapat berfungsi.  Bagaimana mungkin kualitas manusia Indonesia melaju menuju Indonesia maju, kalau anggaran untuk meningkatkan kualitas hidup mereka habis.  Habis dibagi-bagi, untuk mereka yang serakah.

Perangkat demokrasi kita lengkap, kita bisa memilih sendiri wakil rakyat kita, kita bisa memilih sendiri pemimpin-pemimpin kita, kita bisa punya banyak cara untuk mengawasi para pejabat kita. Disediakan berbagai cara, sehingga setiap kebijakan harusnya melibatkan kita sebagai rakyat. Tapi perangkat demokrasi itu justru sering dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir elit yang memegang kekuasaan, yang saling bertransaksi di antara mereka, yang jauh dari rakyat, yang bisa mengatakan bahwa polusi Jakarta bisa diatasi kalau warganya mau berangkat ke kantor dengan sepeda atau dengan transportasi publik. Sementara mereka bepergian kemana-mana dengan fasilitas yang dibiayai oleh rakyat, dengan kenyamanan tanpa peduli. Elit politik yang hanya menyebut rakyat pada musim-musim tertentu saja, karena rakyat hanyalah modal untuk mendapatkan kekuasaan. Elit politik yang hari-hari ini sibuk mendekat kepada rakyat karena saatnya berkontestasi atas nama rakyat. 

Kita tentu tahu, di musim penghujan politik seperti sekarang, nama Gusdurian pun ikut disebut-sebut. Apakah nama Gusdurian disebut ketika mereka sedang menikmati fasilitas negara atas nama rakyat? Tidak.  Apakah nama Gusdurian disebut ketika mereka sedang membagi-bagi kekuasaan? Tidak.  Nama Gusdurian disebut bersama dengan rakyat ketika diperlukan suaranya dalam coblosan massal bangsa ini. Ya, Mari kita ambil hikmahnya itulah penanda bahwa Gusdurian dianggap dekat dan bersama rakyat. Tapi saya yakin, para Gusdurian sebagai murid Gus Dur tentu memiliki kearifan, tidaklah cukup hanya mendekati keluarga Gus Dur untuk memenangkan suara dan dukungan seorang Gusdurian. Sebab seorang Gus durian telah memiliki panduan untuk memilih pemimpin yang ideal bagi dirinya, pemimpin yang memiliki kualitas spiritualit, spiritual, pemimpin yang berdiri di atas prinsip kemanusiaan, pemimpin yang terus teruji memperjuangkan keadilan dan  kesetaraan pembebasan, pemimpin yang sederhana tidak bermewah-mewah di atas penderitaan rakyat, pemimpin yang mampu membangun persaudaraan, pemimpin yang mampu menghargai kearifan tradisi dan pemimpin yang selalu bersikap Ksatria.

Hanya itu panduan bagi para gusdurian pada saat ia menentukan pilihan pribadinya jatuh kepada siapa. Tentu tidak harus memenuhi semuanya, tapi teman-teman sudah punya bekal nurani yang kuat untuk memilih siapapun itu. Setiap Gusdurian bebas menentukan. Ya, sungguh mencintai Indonesia kadang berarti harus merasakan patah hati bahkan patah arang. Berulang kali mendampingi mereka yang terancam penghidupannya atas nama pembangunan, dan kalah. Berulang kali mendampingi mereka yang hanya ingin beribadah dengan tenang di tempat ibadahnya, dan gagal. Berulang kali mengingatkan negara untuk tidak melemahkan upaya memberantas korupsi, dan kalah lagi.

Mencintai Indonesia kadang berarti menempuh perjalanan panjang di Jalur yang sunyi, terjal dan penuh belukar duri. Para Gusdurian tahu, menjadi Gudurian tidak akan mendatangkan keuntungan finansial jabatan atau lampu sorot popularitas. Sepertinya lebih mudah menjadi calon bupati atau calon anggota parlemen daripada menjadi Gus durian yang berdiri bersama rakyat. Mencintai Indonesia kadang terasa seperti memanggul karung berat di punggung membuat perjalanan harus kita tempuh dengan tertatih-tatih,  kadang harus menepi semua bantu yang mengganggu perjalanan menyingkirkan semua kerikil yang bahkan mungkin masuk dalam alas kaki kita, kadang harus menepi untuk menyekap keringat deras menyemangati diri sendiri saat di depan tampak Bukittinggi menjulang.

Tapi itulah sejatinya mencintai, cinta sejati teruji oleh tantangan. Ia tumbuh berkembang tak peduli apapun situasinya, cinta sejati akan terus mekar walau dalam situasi yang tidak nyaman. Sebab mencintai adalah kata kerja, mencintai adalah tindakan, mencintai adalah komitmen, mencintai tak mengenal balasan. Gus Dur meneladankan kepada kita, cintanya pada Indonesia tak lekang walau beliau disia-siakan, walau beliau direndahkan, walau beliau tidak dihargai. Cintanya pada Indonesia terus tumbuh dan berkembang walau apa yang dicita-citakan belum terwujud, walau apa yang beliau harapkan mungkin baru tercapai satu atau dua atau tiga, walau tujuan yang ditetapkan mungkin tampak masih jauh di depan sana. Cinta Gus Dur pada Indonesia demikian kuat, sehingga bahkan Kiai Zawawi Imron menyebutkan dalam puisinya, “seperti kami yang tidak punya alasan untuk meragukan cintamu Gus Dur, kepada guru pencangkul yang tidak punya tanah atau kepada nelayan yang tidak kebagian ikan. cintamu Gus Dur akan terus merayap ke seluruh penjuru mata angin dan tak mengenal kata selesai.”

Mari mencintai Indonesia tanpa ragu, Mari kita gulirkan cinta kita pada Indonesia agar terus merayap ke seluruh penjuru angin. Mari kita tekadkan cinta kita pada Indonesia tak mengenal kata selesai marilah kita berjanji Indonesia abadi demi rakyat, demi bangsa. Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita meneruskan. 

Acara virtual tersebut juga menjadi ruang bertemunya seluruh elemen GUSDURian dalam merefleksikan kemerdekaan tersebut, sekaligus merefleksikan perjuangan Gus Dur sebagai pejuang kemanusiaan. (llj/snm)