Surabaya, Jurnal9.tv – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Cipta Kerja yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo mendapat sorotan banyak pihak. Termasuk dari Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI ) Jawa Timur yang meminta PERPPU Cipta Kerja tersebut dikaji ulang karena tidak memenuhi syarat dan dinilai cacat.
Ketua DPC (HKHKI) Jawa Timur DR Hufron SH MH menyebutkan, PERPPU Cipta Kerja yang dikeluarkan Presiden tidak memenuhi syarat, seperti situasi negara dalam keadaan genting, dan PERPPU harus diajukan melalui sidang DPR RI, untuk kemudian disetujui atau ditolak, sehingga dianggap tidak pernah ada.
“Jadi menurut saya, perdebatannya saat ini tentang apakah betul alasan terbitnya PERPPU tentang hal ihwal kepentingan memaksa itu terpenuhi atau tidak. Inilah yang kemudian memunculkan perdebatan. Seperti kondisi ekonomi global, geopolitik global perang Rusia – Ukraina, ancamaan resesi inflasi yang begitu besar sehingga perlu diantisipasi dengan PERPPU ini,” ungkap Hufron.
Di sisi lain, Hufron melanjutkan, saat KTT G20 Presiden Jokowi mengatakan, fundamental ekonomi Indonesia cukup bagus. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. ”Namun kenapa tiba-tiba Presiden mengatakan Indonesia seolah-olah dalam situasi genting. Ini tentu pengujian genting atau tidak secara obyektif ada di pihak DPR RI,” imbuhnya.
Selain itu, ternyata pengertian kegetintingan yang memaksa itu juga diberi parameter oleh Mahkamah Konstitusi dalam Keputusannya 138 yang intinya disebut genting ada kebutuhan mendesak, ada Undang-Undang tapi tidak memadai sehingga ada kekosongan hukum, dan ketiga ini butuh waktu yang cepat.
Hufron menjelaskan, selain proses terbitnya PERPPU Cipta Kerja ini tidak memenuhi syarat dan dinilai cacat, namun dari segi substansinya juga harus dikaji. Hal ini karena tidak ada perubahan yang signifikan di dalam pasal-pasalnya, Tak hanya itu, kata Hufron, Perppu ini secara substansi tidak hanya membuat kelompok pekerja dan pengusaha juga keberatan, di antaranya seperti soal outsourcing.
“Ada contoh soal keberatan dari pekerja, seperti soal outsorcing. Pekerja menginginkan kalau outsorcing dibatasi hanya bidang bidang tertentu, tidak termasuk bidang-bidang pokok, hanya boleh bidang penunjang seperti sebelumnya, seperti security, kebersihan, jasa transportasi, kemudian pertambangan itu dibatasi. Pekerja ingin tidak semua bidang itu di-outsorcing,” papar Guru Besar di Universitas 17Agustus (Untag) Surabaya ini.
“Di sisi lain ternyata pengusaha juga keberatan, kalau ternyata formulasi penentuan upah minimum itu bedasarkan pada pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu. Ini yang dinilai para pengusuha tidak jelas lagi,” ujarnya.
“Nah, kira-kiira ada Sembilan materi yang itu menurut saya antara pekerja dan pengusaha yang dinilai masih belum clear. Bagi mereka yang merasa dirugikan bisa mengajukan yudisial review, ke MK, dengan harapan bahwa MK mengabulkan gugatannya,” tandas Hufron. (ahs/snm)