Ning Imaz Dihina, Ning Widad: Sapaan ‘Ning’ Menunjukkan Kapasitas Keilmuan dan Kemanfaatannya di Masyarakat.

Surabaya, Jurnal9.tv – #Ningimaz, #Lirboyo trending twitter. Ning Fatimatuz Zahra atau yang akrab disapa Ning Imaz disebut t*lol  oleh akun Eko Kuntadhi yang mengunggah potongan video ning imaz saat menjelaskan tentang tafsir surat Ali Imran ayat 14.

Ning Imaz menjelaskan sebuah tafsir, karena memang memiliki keilmuan yang mumpuni. Tidak banyak masyarakat yang mengetahui, bahwa sapaan seorang Ning itu tidak tiba-tiba terjadi. Ada proses belajar ilmu agama, dan kemanfaatan dirinya dirasakan oleh masyarakat.

Dalam Kultur  ‘Ning’ itu sapaan akrab untuk seorang kakak perempuan. Kemudian Ning juga menjadi sapaan kepada seorang putri kiai. Itu adalah status sosial yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka yang dianggap tetua, memiliki sanad keilmuaan , kealiman ibadah dan keistiqomahan. Sehingga, Ning itu bukan berasal dari keinginan diri sendiri untuk disapa demikian. Itu adalah sebutan keakraban para masyarakat kepada orang yang menjadi pedoman, teladan dan acuan. Sehingga sebenarnya Ning itu adalah seorang kakak pengayom umat.

Ning Widad Bariroh, Wakil Kepala Pesantren Bayt Al Hikmah Pasuruan,  menjelaskan, menjadi Ning, seorang kakak yang mengayomi umat itu harus memiliki keilmuan yang mumpuni.

“Pesantren punya tuntutan kepada dzuriahnya termasuk para Ning, tuntutan ini tergantung segmen dan bagaimana kebudayaan sekitar membutuhkan. Misalkan pesantren lirboyo yang dominan pendidikannya menjunjung nilai salaf, maka keturunannya biasanya, seringnya belajarnya ke urusan kitab. Seperti yang pernah disampaikan ning Shela di Tv9, Background pendidikan beliau yang pertama mengaji menyeleseikan TPQ  kemudian diharuskan menyeleseikan kitab. Karena itu yang memang dibutuhkan di kawasan Lirboyo. Berbeda dengan kondisi di pesantren Bayt al-hikmah. Kebutuhannya tidak full 100 persen kitab. Tapi lebih kepada pengetahuan secara umum, orientasinya pendidikan modern, mengajarkan anak-anak bisa sesuai dengan zamannya, mengawasi anak-anak agar bisa survive menghadapi tantangan zaman,”

Tipologi pesantren memengaruhi kebutuhan akademik Ning-nya atau akademik dzuriyahnya. Ilmu umum tetap didapat Ning, Namun Background pendidikan agama tetap yang utama. Oleh karenanya, Keilmuan Ning Fatimatuz Zahro atau yang akrab disapa Ning Imaz dalam berdakwah tak perlu diragukan lagi.  Karena background pendidikan kitab di Lirboyo memang Kuat.

Nawa Ning yang ada di Lirboyo itu punya kebiasaan mengikuti bahstul Masail. Bahtsul masail adalah menggali problematika dunia menurut fiqih. Ning Shela dan Ning Imaz punya kapasitas itu. Karena ketika bahtsul masail, harus membuka kitab-kitab yang mungkin belum diketahui orang awam. Kitab-kitab itu juga bisa berjilid-jilid. Apabila dilakukan berkala, maka semakin kayalah literasi keilmuan Ning Shela dan Ning Imaz.

Selain itu Ada juga Ning-ning yang diizinkan kuliah di luar negeri, pun  yang berprofesi sebagai Dokter.

“Banyak lho Ning-ning yang menjadi dokter, yang menjadi pengusaha, bahkan tidak jarang Ning-ning itu yang diperbolehkan oleh para kiainya untuk menempuh pendidikan di luar negeri.  Saya kira kapasitas Ning ini tidak perlu diragukan lagi. Karena bagaimanapun seorang Ning belajar disiplin ilmu umum, Ilmu agama harus cukup. Yang diajarkan kepada kami adalah bagaimana ilmu itu bermanfaat untuk umat,” ujar Ning Widad yang juga lulusan Fisika UNAIR.

Di antara beragam latar belakang keilmuan Ning itu membentuk kolaborasi yang baik. Saling melengkapi, baik di dalam pesantren ataupun antar pesantren. Seorang Ning apapun background dan pekerjaan yang dijalani itu hanya sekadar profesi, kewajiban Ning tetap kembali ke pondok mengajar santri.

Ketika ditanya apakah ada minimal keilmuan yang harus dimiliki seorang Ning?, Ning Widad menjawab, minimal Belajar kitab kuning. “Belajar kitab kuning ya, meskipun belum bisa membacanya tapi bisa memahaminya itu minimal. Detail kemampuannya Itu juga kembali kepada kebutuhan masing-masing” jelasnya

Seorang Ning itu menginginkan kemaslahatan yang baik untuk umat. Sejak kecil kami diajarkan untuk mementingkan urusan umat lebih dulu daripada urusan keluarga kecil kita. Maka kami harus berhati besar untuk kepentingan bersama. Kita memiliki kapasitas yang lebih besar untuk kepentingan yang lebih besar.

Perbedaan itu sudah ada sejak kita lahir. Tetapi kami belajar memahami perbedaan itu. Dan Kami juga mengajarkan kepada santri untuk memahami perbedaan. Bahkan para Ulama terdahulu pun juga mengalami perbedaan pendapat itu. (snm)