OPINI  

Mengenang KH Muhith Muzadi: Khittah NU, Garis dan Konsep Berpolitik Kaum Santri

Oleh HM. Misbahus Salam, Pengurus Laznisnu PBNU, Alumni PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbindo

Avatar photo

KH. Abdul Muhith Muzadi salah satu santri KH. Hasyim Asy’ari yang hidupnya banyak khidmat di NU. Naskah Khittah yang disampaikan KH. Ahmad Shiddiq dalam MUNAS dan MUKTAMAR NU Ke 27 di Pondok Pesantren Sukorejo yang menulis dan mengetik adalah KH. Abdul Muhith Muzadi. Tentu bukan hanya sekedar menulis kedua Kyai tersebut saling melengkapi dan menyempurnakan teks naskah Khittah NU.

Alhamdulillah saya termasuk pernah istifadah kepada KH. Abdul Muhith Muzadi. Karena beliau waktu saya masih di Pondok dan Khidmat di Ma’had Aly, kiai Muhith Mengajar di Ma’had Aly Situbondo, dan bila pulang kiai Muhith diantar mobil ke Jember. Saya Istifadah pada kiai Muhith tidak hanya saat di Pondok, waktu saya pulang ke Jember Kiai Muhith rutin mengisi pengajian dan diskusi di kantor PCNU Jember setiap malam selasa kliwon dan di Masjid Sunan kalijogo.

Kiai Muhith sangat terbuka diskusi dengan kalangan muda, dan saya sering melihat di meja beliau Kitab, Buku dan ada mesin ketik (Saat itu belum ada komputer). Saya pernah melihat hasil ketikan beliau tentang NU. Lalu saya kumpulkan dan dijadikan buku dengan judul Apa dan Bagaimana NU? Buku itu saya bawa ke MUNAS NU di Asrama Haji Jakarta. Saya diledek oleh Mas Ramadhan yang saat itu beliau aktif di majalah AULA. Mas Ramadhan bilang masak saat ini masih ada yang tanya apa dan bagaimana NU?, saya jawab baca dulu isinya. Ternyata buku itu dibaca oleh Rais Am KH. Sahal Mahfud dan Ketua Umum KH. Hasyim Muzadi. Lalu Kiai Hasyim Muzadi manggil saya, dawuh cetak sebanyak banyaknya buku itu dan kirim ke seluruh PCNU se Indonesia. Dan pada tahun 2004 buku itu dicetak lagi dengan judul Mengenal Nahdlatul Ulama.

Di tahun politik ini saya akan menulis kembali tulisan KH. Abdul Muhith Muzadi tentang Nahdlatul Ulama dan Politik agar jadi referensi bagi Pengurus, Tokoh dan Warga NU supaya tidak menafsirkan Khittah NU menurut kemauan pribadi atau kelompok dan tidak mudah menyalahkan sikap dan kebijakan PBNU. Inilah tulisan KH. Abdul Muhith Muzadi tentang Nahdlatul Ulama dan Politik.

Menurut Kiai Muhith, Politik adalah sebuah kata dengan sejuta makna, mulai dari arti yang paling luas sampai yang paling sempit,mulai yang paling umum sampai yang paling khusus, yang pada dasarnya berarti segala hal yang berhubungan dengan kenegaraan, kekuasaan dan pemerintahan. Seorang petani yang membayar pajak, berarti dia mendukung kelestarian pemerintahan, maka sudah bisa dianggap dia melakukan perbuatan politik. Sebaliknya juga orang yang tidak mau (memboikot) bayar pajak, dia juga sudah melakukan perbuatan politik.

Biasanya, politik diartikan upaya mengikutkan diri atau mengikutkan teman masuk dalam kekuasaan, ikut mengambil keputusan dalam pemerintahan/kenegaraan, seperti menjadi anggota legislatif, eksekutif atau yudikatif, perbuatan-perbuatan yang pada biasanya dilakukan oleh partai politik meskipun tidak hanya partai politik yang dapat melakukan perbuatan politik. Pada dasarnya, semua orang yang hidup dalam suatu negara adalah makhluk politik, termasuk kaum nahdliyyin.

Nahdlatul Ulama memang dilahirkan tidak sebagai partai politik, namun merupakan kekuatan (potensi) yang sangat besar, karena anggota/pengikutnya yang puluhan juta jumlahnya. Oleh karena itu, semua partai politik selalu ingin mempengaruhi pimpinan Nahdatul Ulama supaya mendapat kekuatan politiknya. Dalam keadaan seperti ini Nahdlatul Ulama dapat memainkan politiknya, untuk mempengaruhi partai-partai politik.

Nahdlatul Ulama bermain politik pada tingkat tinggi, tidak hanya sekedar mencari kursi-kursi politik, tetapi bagaimana para politisi (yang duduk dalam kursi-kursi politik itu) dapat dikerahkan dan diarahkan sesuai dengan garis politik yang diinginkan oleh Nahdlatul Ulama. Politik yang dimainkan oleh Nahdlatul Ulama adalah politik kebangsaan dalam arti untuk kepentingan seluruh bangsa, tidak hanya kepentingan partai atau kelompok.

Sebagai jam’iyah yang bukan partai politik tetapi merupakan kekuatan politik yang besar, adakalanya Nahdlatul Ulama mengalami kesulitan didalam menyalurkan aspirasi politiknya. Dalam sejarahnya yang sangat Panjang. Nahdlatul Ulama mempunyai pengalaman tentang cara-cara menyalurkan aspirasi politiknya:

Pertama, Pada zaman penjajahan Belanda. Nahdlatul Ulama menyembunyikan perbuatan politiknya kecuali dalam hal hal yang sangat besar seperti:

a. Sikap anti penjajahan, mempersiapkan umat/rakyat untuk merebut kemerdekaan, disembunyikan di pesantren-pesantren.

b. Menuntut Indonesia berperlemen Bersama MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia, gabungan semua organisasi Islam se Indonesia) dan GAPI (Gabungan Politik Indonesia. Gabungan partai partai politik se Indonesia), supaya pemerintah Hindia Belanda didampingi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia.

c. Menolak kewajiban Milisi (menjadi tantara Hindia Belanda] yang diterapkan untuk pemuda Indonesia,

d. dan lain lain.

Kedua, pada zaman penjajahan Jepang yang membekukan semua organisasi rakyat,para tokoh Nahdlatul Ulama Bersama tokoh tokoh lain, memperlihatkan sikap kerja sama dengan Jepang, supaya tetap berhubungan dengan rakyat dan mempersiapkan rakyat merebut kemerdekaan.

Ketiga, Pada zaman revolusi fisik,Nahdlatul Ulama bahu membahu dengan seluruh lapisan bangsa Indonesia mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dan menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai masyumi.

Keempat, Sesudah selesai revolusi fisik, Nahdlatul Ulama mandiri sebagai partai NU dan ternyata berhasil menempatkan diri sebagai kekuatan politik nasional Indonesi. Kelima, pada zaman orde baru yang memaksa partai partai bergabung menjadi dua partai dan satu golkar, Nahdlatul Ulama memfusikan fungsi politiknya ke dalam PPP, sampai tahun 1984, ketika NU menyatakan tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan mana pun.

Keenam, ketika datang zaman reformasi, Nahdlatul Ulama mempersilakan warganya mendirikan partai dengan bimbingan PBNU, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa.

Semua itu hanyalah cara cara yang dipilih oleh NU pada suatu kondisi dan situasi tertentu, untuk kepentingan perjuangan Nahdlatul Ulama sendiri, bukan sesuatu yang qoth’i, bukan sesuatu yang abadi, yang tidak dapat berubah sepanjang zaman tanpa memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan perjuangan

Nahdlatul Ulama sendiri. Yang pokok adalah bahwa Nahdlatul Ulama adalah jam’iyah (organisasi, kelompok) yang mandiri, tidak menjadi bagian dari organisasi lain, baik organisasi politik maupun organisasi kemasyarakan.

Orang mengkritik NU, Ketika NU dekat dengan suatu partai, tetapi orang diam seribu bahasa, ketika NU dekat dengan sesuatu organisasi kemasyarakatan. Dekat, bukan berarti terikat. Dekat atau tidak dekat sangat tergantung kepada kepentingan perjuangan NU sendiri.

Inilah intisari pengertian naskah khittah NU, butir 8 alinea 6 yang berbunyi: ‘’Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah scara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga’’

Kalimat ini diteruskan dengan Alinea berikutnya sebagai berikut: ‘’setiap warga Nahdlatul ulama adalah warga negara yang mempunyai hak hak politik yang dilindungi oleh undang undang.

Di dalam menggunakan hak hak politiknya harus dilakukan secara bertanggung jawab. Sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratif, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama’’.

Lebih dari itu Nahdlatul Ulama memberikan ‘’pedoman berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama’’ (Keputusan muktamar 28 di krapyak jogjakarta) sebagai berikut:

1. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan Langkah-Langkah yang senantiasa menjungjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita cita Bersama,yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan Makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagian di dunia dan akhirat.

3. Politik bagi warga Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis,mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan Bersama.

4. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-ketuhanan yang Maha Esa, berperikemanuasiaan yang adil dan beradab, menjungjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh permusyawaratan perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran Nurani dan moralagama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma norma yang disepakati,serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah Bersama.

6. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dilakukan untuk merperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dan dilakukan sesuai dengan akhagul karimah sebagai pengalaman ajaran islam ahlusunnah waljamaah.

7. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dengan dalih apa pun,tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan Bersama dan memecah belah persatuan.

8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai antara satu dengan yang lain, sehingga dalam berpolitik itu tetep dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemsyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi dalam pembangunan.

***

Salah satu masalah yang cukup penting bagi Nahdlatul Ulama di bidang politik nasional tingkat tinggi adalah sikap terhadap Pancasila, dasar Negara Republik Indonesia. Sebagai mayoritas bangsa, layak kalau kaum muslimun Indonesia, termasuk kaum nahdliyyin mencita-citakan negara Indonesia ini berdasarkan Islam, atau setidak-tidaknya ajaran syari’at Islam berkembang dalam kehidupan di Negara ini. Sejak sebelum Negara Republik Indonesia di proklamasikan, cita-cita tersebut berdengung di masyarakat -sementara pihak lain ada yang mencita citakan negara ini tidak berdasar agama.

Wacana tentang dasar negara ini berlangsung sampai para tokoh-tokoh bangsa ini mempersiapkan kemerdekaan negara, termasuk penyusunan hukum dasar negara, dimana dicantumkan dasar negara.

Melalui perdebatan di dalam dan di luar forum panitia persiapan kemerdekaan Indonesia, dengan pendekatan demi pendekatan, akhirnya disepakati bahwa negara yang akan diproklamasikan itu tidak berdasar islam atau agama lain, tetapi berdasar butir butir nilai yang dapat diterima oleh semua pihak, yaitu butir-butir: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Memang, kalau diucapkan dengan satu kata, Pancasila, maka dapat dipertentangkan antara Pancasila dan Islam. Tetapi, kalau diuraikan satu persatu seperti tersebut diatas, maka jelas bahwa satu persatu dan kelima sila tersebut.