OPINI  

Trans7 Melukai Kaum Santri Jelang Hari Santri

Oleh Mahathir Muhammad, Keluarga PP. Al Fattah, Talangsari, Jember

Menjelang Hari Santri, hari yang seharusnya menjadi momentum penghormatan bagi para penjaga moral bangsa, kami justru menerima luka dari layar kaca. Luka itu datang dari media besar bernama Trans7, sebuah stasiun televisi nasional yang menyiarkan tayangan dengan narasi melecehkan dan memprovokasi ruang publik. Tayangan itu bukan sekadar kesalahan teknis atau kelalaian redaksi. Itu adalah framing jahat terhadap jutaan santri Indonesia.

Yang menjadi sasaran bukan tokoh sembarangan. Ia adalah Romo Kyai Anwar Mansur, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo sekaligus Rais Syuriah PWNU Jawa Timur. Seorang ulama kharismatik, sederhana, penuh kasih, dihormati lintas generasi dan lintas agama. Dari tangan dan lisannya lahir puluhan ribuan ulama, pendakwah, dan pemimpin yang menebar cahaya ke seluruh penjuru negeri. Bagi siapa pun yang pernah sowan ke kediaman beliau, pasti akan merasakan aura kesederhanaan, keikhlasan, dan wibawa yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Dan kini, wajah mulia itu ditampilkan dengan intonasi meledek, dengan visual yang menertawakan. Dada kami sesak. Hati kami tersentak. Emosi kami meluap. Ini bukan sekadar soal siaran, ini penghinaan terbuka terhadap kehormatan pesantren. Jutaan santri di seluruh negeri merasakan luka yang sama. Kami diseret untuk menonton bagaimana guru kami, panutan kami, diolok-olok di depan publik oleh mereka yang bahkan tak memahami makna adab terhadap ilmu dan ulama.

Ironinya, tayangan yang melukai ini datang dari stasiun televisi milik Bapak Chairul Tanjung, seorang pengusaha muslim yang pada 2015 menerima MUI Award karena dianggap berjasa dalam syiar Islam. Betapa getir rasanya, melihat lembaga penyiaran yang dipimpin oleh tokoh yang dulu dipuji karena kontribusi keislamannya, kini justru menodai nilai-nilai yang ia pernah bela.

Secara etika jurnalistik, tayangan itu cacat sekaligus berbahaya. Ia bukan kritik, melainkan penghakiman. Ia bukan satire, melainkan penghinaan. Tidak ada prinsip cover both side, tidak ada keseimbangan narasi, tidak ada tabayyun. Yang tersisa hanya tawa sinis, framing jahat, dan arogansi media yang melupakan adab dan etika.

Kami bukan anti kritik. Pesantren justru tumbuh dari tradisi berpikir kritis dan dialog terbuka. Kami mengenal perbedaan, kami terbiasa berdebat gagasan dengan penuh hormat. Namun yang kami tolak adalah pelecehan yang dibungkus hiburan, penghinaan yang dikemas parodi. Kami menolak jika martabat ulama dijadikan bahan tertawaan.

Betapa ironis. Di saat negara memberi penghormatan melalui Hari Santri Nasional, sebuah pengakuan atas peran santri dan pesantren yang menjadi garda terdepan dalam perjuangan kemerdekaan. Justru menjelang hari itu, sebuah media televisi nasional dengan enteng menodai kehormatan pesantren melalui tayangan yang tak beradab.

Hari Santri seharusnya menjadi momentum penghormatan atas jasa para pejuang agama dan bangsa. Tapi Trans7 justru memberi kami kado pahit, mempermalukan ulama kami di depan publik. Ini bukan sekadar luka, ini penghinaan terhadap tradisi keilmuan Islam yang telah menopang republik ini sejak awal berdirinya.

Yang perlu dicatat memahami relasi sosial antara santri, kiai, dan pesantren tidak bisa dilakukan hanya dengan kacamata rasional semata terlebih dengan hati yang kotor. Di dalamnya terdapat jalinan emosional yang berakar pada cinta, penghormatan, dan spiritualitas. Relasi ini bukan sekadar hubungan sosial antara murid dan guru, tetapi juga ikatan batin yang diyakini berlanjut hingga akhirat. Karena itu, teori-teori sosial yang sekuler tak akan mampu menjelaskan secara utuh dinamika hubungan tersebut, sebab dimensi transendennya melampaui batas logika duniawi.

Maka dari itu kami tidak akan diam. Luka ini terlalu dalam untuk ditutupi dengan permintaan maaf formal. Kami, para santri, diajarkan untuk sabar, tapi juga diajarkan untuk tegas membela kebenaran. Maka sikap kami jelas:

TUNTUTAN KAMI

1. Produser dan tim redaksi yang terlibat dalam tayangan tersebut harus diberhentikan dan diberi sanksi tegas.

2. Trans7 wajib menayangkan klarifikasi resmi dan program khusus yang memperlihatkan wajah sejati pesantren mulai keilmuan, akhlak, dan pengabdian yang sesungguhnya.

3. Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia harus turun tangan, memeriksa pelanggaran ini, dan menjatuhkan sanksi yang setimpal.

4. Jika tidak ada tindakan nyata, kami akan menyerukan boikot moral terhadap Trans7 sebagai bentuk perlawanan kultural.

5. Bapak Chairul Tanjung perlu melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem editorial perusahaannya.

6. Ke depan, Trans7 perlu membuat langkah perbaikan mulai dari pelatihan etika penyiaran tentang agama dan pesantren, pembentukan dewan penasihat independen, hingga membuka kanal pengaduan publik yang transparan.

Kami tidak menuntut balas, kami menuntut adab. Kami tidak ingin permusuhan, kami ingin keadilan. Tapi ingatlah pesantren adalah benteng moral bangsa. Dan ketika benteng itu dihina, kami, para santri, akan berdiri tegak di garis terdepan. (*)