Surabaya, Jurnal9.tv – Kecaman dan kritik keras terhadap wacana Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa terus berdatangan baik berkaitan dengan prosedur maupun konteks perubahannya.
Sejumlah Pihak menganggap hal tersebut tidak didasarkan pada prinsip ketatanegaraan sekaligus tidak memenuhi landasan sebuah perubahan terhadap perundang-undangan.
Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa yang semula 6 tahun menjadi 9 tahun dinilai bertentangan dengan amanat UU No 6 tahun 2014 tentang Desa dan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi no 42/PUU-XIX/2021 sehigga mendapat banyak kritik karena dianggap menyimpangi cita-cita hukum dan Konstitusi.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Lutfil Ansori, seorang pakar Hukum Konstitusi yang memandang Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa ini menyalahi Prinsip Konstitusi yang membatasi kekuasaan jabatan publik dan berpotensi melahirkan Penyalahgunaan Kekuasaan.
“Kalau kita lihat dari aspek hukum tatanegara pijakannya adalah paham Konstitusionalisme, yang kita ketahui membatasi kekuasaan terhadap jabatan publik agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuaasaan. Dari konteks inilah perpanjangan masa jabatan ini berpotensi melahirkan penyalahgunaan kekuasaan sehingga menyalahi prinsip konstitusionalisme kita,” terangnya.
Menurut pria yang sekaligus Dosen salah satu kampus ternama di Jawa Timur ini mengkritisi proses yang terlihat ujug-ujug dan bukan mengacu pada kebutuhan hukum berdasarkan Kajian Komprehensif melalui Prolegnas terlebih dahulu.
“Ini yang harus kita kritisi bersama bahwa perubahan Undang-Undang itu harus didasarkan pada adanya kebutuhan hukum, tidak boleh kemudian dilakukan secara ujug-ujug. Kemudian adanya kajian Komprehensif melalui pintu Prolegnas dahulu. Kecuali memang ada amanah Mahkamah sebelumnya,” ungkapnya.
Dirinya juga menganggap, Tuntutan ini tidak cukup Urgen karena tidak adanya naskah akademik yang berdasar sebelumnya, terlebih data-data dilapangan menunjukkan masa jabatan 6 tahun 3 priode sudah sangat cukup dalam penataan demokrasi dan kemajuan desa.
“Kita mengatakan tidak cukup urgen karena belum ada kajian secara komprehensif untuk dilakukan masa perpanjangan masa jabatan itu. Data-data di lapangan juga menunjukkan bahwa masa jabatan 6 tahun 3 periode itu sudah lebih dari cukup untuk penataan demokrasi di lokal desa” lanjut Dr. Luthfil.
Dugaan adanya potensi konfigurasi politik juga harus diwaspadai menurutnya, ia melihat elite politik akan berebut simpatik kepada elite desa sehubungan dengan masuknya tahun politik mendatang. Terlebih koalisi parlemen didominasi pendukung pemerintah yang hal ini memiliki peluang besar tuntutan akan diterima
“Adanya Konfigurasi politik juga perlu diwaspadai, momentum ini menjelang pemilu sehinga semuanya berebut simpatik elite desa yang kita ketahui memiliki akses tinggi dalam mobilisasi warganya. Terlebih parlemen didominasi koalisi pemerintah yang sangat besar peluangnya untuk diterima,” ungkap Dosen UINSA tersebut.
Pakar Hukum Kontitusi ini juga menjelaskan kepada masyarakat untuk bisa menempuh jalur konstitusi apabila perubahan ini ditetapkan. Dengan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dan yang kedua masyarakat punya hak untuk melakukan uji formil ke MK.
“Apabila memang dirasa tidak prosedural dan tidak cukup urgen maka perpanjangan masa jabatan kepala desa ini harus ditolak. Apabila kemudian ternyata disahkan, maka salah satu jalan konstitusional yang bisa ditempuh masyarakat adalah melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Disamping uji materi juga, kedepan kita juga punya hak melakukan uji formil melalui Mahkamah Konstitusi,” tutupnya.
Untuk diketahui, Wacana Perubahan Undang-undang nomor 6 tahun 2014 dengan tuntutan Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa ini sendiri dilakukan oleh Ribuan Kepala Desa yang melakukan unjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 16 Januari 2023 lalu. (zen/snm)