Tradisi dan Kearifan Lokal di Bulan Muharam

Surabaya, Jurnal9.tv – Saat ini kita telah memasuki tahun baru Islam, tepatnya tahun 1445 Hijriyah. Masyarakat Jawa menyebut 1Muharram dengan 1Suro. Tradisi 1 Surodi Jawa berawal dari Sultan Agung yang menyebarkan agama Islam melalui pemaduan ajaran Islam dengan tradisi Jawa. Dalam perjalanan waktu, peringatan 1 Suro mengalami akulturasi dengan budaya daerah, sehingga menghasilkan sejumlah tradisi yang unik.

Berikut adalah beberapa tradisi dan kearifan lokal masyarakat di Indonesia dalam memperingati bulan Muharram.

Bubur Suro

Sesuai Namanya, bubur suro selalu hadir saat tahun baru Islam yang bertepatan dengan tanggal satu Suro di kalenderJawa. Bubur Suro dapat ditemukan di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Selatan. Bumbu yang digunakan pada bubur Suro cukup berbeda dari bubur pada umumnya.Yakni jahe, santan, dan serai, sehingga rasanya gurih dengan nuansa pedas tipis.

Selain itu, bubur Suro juga biasa disajikan dengan lauk berupa opor ayam dan sambal goreng, labu siam berkuah encer dan pedas, selanjutnya di atas bubur ditaburi serpihan jeruk Bali dan bulir bulir buah delima.

Bubur Suro ini penuh filosofi dengan bahan 7 jenis bunga buah dan kacang yang masing-masing berjumlah tujuh butir. Sebagai contoh, 7 jenis kacang yang menjadi bahan bubur adalah kacang tanah, kacang mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tolo dan kacang Bogor. Kacang-kacang tersebut ada yang digoreng dan ada yang direbus.

Ada juga mawar merah yang melambangkan Tekad dan keberanian untuk bertindak.  Semua aktifitas harus dilandasi niat bersih dan benar, ini dilambangkan oleh mawar putih. Sementara bunga melati dan daun pandan melambangkan bahwa kegiatan seseorang bisa mengharumkan dunia.  

Bubur Asyura

Bubur Asyura biasanya akan dimasak dalam porsiyang besar secara bergotong-royong oleh masyarakat sehingga, menjadi ruang untuk mempertahankan tali silaturahim dan menumbuhkan jiwa sosial.

Bubur Asyura sebenarnya sama seperti bubur lainnya hanya saja bahan yang dicampur biasanya dilengkapi hingga 41 jenis, seperti sayur kacang-kacangan dan telur. Tradisi ini berawal dari latar belakang perjuangan Nabi Muhammad SAW saat Perang Badar bahwa, usai Perang Badar jumlah prajurit Islam semakin banyak. Saat itu, seorang sahabat sedang memasak bubur namun ia tidak mengira bahwa porsi bubur yang ia masak tak sebanding dengan jumlah prajurit.

Rasulullah kemudian memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkan bahan makanan apa saja yang ada agar dicampurkan ke bubur yang telah dimasak supaya porsi semakin banyak dan cukup untuk para prajurit. Peristiwa ini pun menjadi tradisi yang terus menerus dilakukan oleh umat Islam dalam rangka menyemarakkan keistimewaan bulanMuharram, lebih tepatnya setiap10 Muharram.

Bubur Merah

Tradisi ini biasa dilakukan untuk menyambut tahun baru Islam 1 Muharam. Biasanya bubur merah putih ini disantap bersama oleh masyarakat di masjid. Bubur Merah Putih merupakan paduan bubur beras berwarna merah dan putih. Bubur yang berwarna merah bukanlah berwarna merah terang tetapi kecoklatan dan bercita rasa manis karena dibubuhi gula merah. Sementara itu, bubur yang berwarna putih memiliki rasa gurih dari santan.

Pada dasarnya bubur merah putih biasanya dihidangkan pada saat upacara syukuran menyambut kelahiran anggota baru dalam keluarga. Bubur Merah Putih di sini menjadi simbolisasi kehidupan manusia. Bubur ini juga dihidangkan sebagai santapan tahun baru Islam sebagai bentuk rasa syukur dan resolusi kehidupan baru di tahun yang akan datang.

Tradisi Mubeng Benteng

Mubeng Benteng merupakan kegiatan warga berjalan kaki mengitari Benteng kraton Yogyakarta sambil membisu atau tanpa bicara sama sekali.Tradisi ini menjadi sarana warga melakukan introspeksi diri atas apa yang terjadi di tahun sebelumnya, sembari memohon kepada Allah agar tahun selanjutnya dapat bersikap lebih baik.

Sebelum pemberangkatan, rombongan mubeng banteng dilakukan penyerahan Duaja atau bendera yang terdiri dari Bendera Merah Putih, Bendera Gula Kelapa, yaitu bendera kesultanan dan Klebed Budi Wadupraja yaitu Bendera Daerah IstimewaYogyakarta.

Selain itu, juga disertakan 5 bendera yang merepresentasikan kabupaten dan Kotamadya yang ada di Yogyakarta. Tepat pada pukul 24 Waktu Indonesia Barat rombongan diberangkatkan dengan dilepas oleh perwakilan dari putri danmantu dalem sultan yang ditandai denganbunyi lonceng kamandungan Lor sebanyak12 kali. Tradisi lampah mubeng benteng telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya nasional tak benda yang dimiliki oleh Yogyakarta sejak tahun 2015.

Tradisi Tabuik / Hoyak Tabuik

Tradisi Tabuik di Pariaman dan Tabot di Bengkulu diadakan pada bulan Muharram. Masyarakat di Pariaman Sumatera Barat menggelar tradisi Tabuik untuk memperingati hari

Asyura yang bertepatan dengan gugurnya cucu Rasulullah SAW yaitu Husein. Pelaksanaan Tabuik di Pariaman diperkirakan berawal sekitar tahun1831. Tabuik di Pariaman terdiri dari dua jenis yaitu Tabuik subarang dan Tabuik Pasa.

Istilah Tabuik atau tabut berasal dari bahasa Arab, yang secara harfiah berarti kotak kayu atau peti. Untuk Tabuik yang ada di Pariaman ia menyerupai patung Burok. Seekor kuda bersayap dengankepala perempuan.

Patung Tabuik terbuat dari bambu, rotan dan kertas. Pada punggungnya terdapat sebuah peti yang berisi perhiasan dekoratif dan paying.Tradisi tersebut dilakukan dengan serangkaian kegiatan yang dimulai dari pembuatan Tabuik sejak tanggal satu hingga sepuluh Muharram.

Pada tanggal 10Muharram, Tabuik di arak dan dibuang ke laut, proses arak-arakan dan pembuangan ke laut diiringi tetabuhan tumbuhan basah.

Upacara serupa juga terdapat di Bengkulu yang dikenal dengan Tabot. Tidak berbeda dari Tabuik, Tabot juga dimaksudkan untuk mengenang peristiwa tewasnya cucu Rasulullah SAW di Padang Karbala saat perang dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid tanggal 10 Muharram 61 Hijriah atau 681 masehi.

Perayaan tabot di Bengkulu pertama kali dikenalkan oleh Syekh Burhanuddin pada tahun1685. Syekh Burhanuddin atau Imam Senggolo menikah dengan wanita Bengkulu, yang kemudian anak keturunan mereka dikenal sebagai keluarga Tabut.

Tradisi tabut telah mengalami asimilasi dan akulturasibudaya dengan budaya setempat yang kemudian diwariskan secara turun-temurun. Tradisi ini semakin meluas dari Bengkulu ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Bandaaceh, meulaboh dan Singkil. Namun, pada perkembangannya kegiatan tabut tidak pernah dilaksanakan lagi di berbagai tempat, akhirnya hanya digelar di dua tempat yaitu di Bengkulu dan Pariaman.

Secara sosial, budaya menyadarkan masyarakat bahwa keberagaman tidak bisa lepas dari nilai-nilai budaya lokal. Selain itu, tradisi ini juga mengingatkan masyarakat tentang buruknya dampak dari praktik penghalalan segala cara untuk mencapai puncak kekuasaan.

Tradisi Kirab Kebo Bule

Tradisi Kirab Kebo Buledi Surakarta adalah satu bagian dari rangkaian tradisi perayaan 1 Suro di Surakarta, Jawa Tengah. Kerbau memiliki makna yang sangat penting dalam sejarah Keraton Surakarta, jauh dari itu kerbau memiliki makna simbolis dari beberapa leluhur keluarga Keraton.

Pada proses kirab kebo bule ini seluruh anggota keluarga dan bagian Keraton terlibat, mulai dari pangeran dan keluarga Raja hingga ribuan Abdi dalem. Abdi dalem Keraton memakai busana adat Jawa berwarna hitam dan tidak mengenakan alas kaki. Kirab kebo bule diawali dari halaman Keraton. Sebelum memulai kirab, kerbau kerbau yang dianggap keramat tersebut memakan sesaji hingga meminum kopi yang dihidangkan oleh Abdi dalem di halaman Keraton. Kemudian, kerbau-kerbau mulai bergerak sebagai cucuk Lampah atau pembuka barisan yang diiringi oleh pawangnya dengan mengenakan pakaianputih, celana hitam, ikat kepala, Samir, summing gajah oling, berupa rangkaian bunga melati yang dipasang di atas telinga.

Keraton Surakarta memiliki17 ekor kebo bule, akan tetapi, tidak semua kerbau akan mengikuti kirab. Setelah kerbau berlalu, piringan pusaka pun keluar, barisan paling depan merupakan pusaka utama yang dibawa oleh para Sentana dan Abdi dalem. Belasan pusaka yang dibawa para Sentana dan Abdi dalem dibungkus dengan kain berwarna hitam lengkap dengan hiasan bunga Melati rute kirab pusaka itu diawali dari Keraton kasunanan, Surakarta menyusuri jalan-jalan utama di kota Solo.

Itulah berbagai macam tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia sebagai perayaan memasuki tahun baru Islam. (aaf/snm)