OPINI  

Pesantren dalam POV Anak Muda Hari Ini

Oleh Hasanuddin Ali, Founder & CEO Alvara Research, Ketua PBNU

Pesantren telah lama menjadi bagian penting dari pendidikan Islam di Indonesia. Namun, seiring perkembangan zaman, ekspektasi anak muda terhadap pesantren juga mengalami perubahan. Mereka tidak hanya melihat pesantren sebagai tempat memperdalam ilmu agama, tetapi juga sebagai lembaga pendidikan yang perlu menyesuaikan diri dengan tantangan modern, baik dari sisi kurikulum, fasilitas, maupun relevansinya dengan kebutuhan sosial dan ekonomi.

Survei nasional yang dilakukan Alvara Research Center terhadap 790 anak muda muslim Indonesia (Gen Z dan Millenial) merekam berbagai temuan penting tentang tingkat awareness/popularitas pesantren di mata anak muda, harapan terhadap fasilitas pesantren, komposisi kurikulum, serta jenis ilmu umum yang diinginkan untuk diajarkan di pesantren.

Favorit: Gontor & Tebuireng
Hasil survei Alvara menunjukkan bahwa tingkat awareness anak muda terhadap pesantren sangat dipengaruhi oleh reputasi historis dan eksposur media. Pondok Modern Darussalam Gontor (35,2%) dan Pesantren Tebuireng Jombang (34,8%) menempati posisi teratas, mengungguli pesantren lain seperti Lirboyo, Kediri (25,9%) maupun Darunnajah, Jakarta (14,4%). Data juga memperlihatkan bahwa anak muda di kawasan urban lebih banyak mengenal pesantren besar dibandingkan di daerah rural. Misalnya, Gontor jauh lebih populer di kota (39,3%) dibanding desa (29,5%). Hal ini menandakan bahwa akses informasi di kota memberikan pengaruh besar dalam memperluas pengenalan pesantren.


(Tabel-1)

Awareness relatif seimbang antara Gen Z dan Millennial, meskipun ada variasi menarik. Tebuireng lebih dikenal oleh Millennial (36,0%) dibanding Gen Z (33,3%), sedangkan Darunnajah justru lebih populer di Gen Z (15,3%) dibanding Millennial (13,7%). Pola ini bisa mencerminkan perbedaan pengalaman generasi dalam berinteraksi dengan tradisi pesantren. Secara keseluruhan, hasil ini menegaskan bahwa meskipun beberapa pesantren telah mencapai tingkat popularitas nasional, sebagian besar pesantren lainnya masih memiliki awareness terbatas dan cenderung hanya dikenal di lingkup regional.

Fasilitas: UKS & MCK
Data survei menunjukkan bahwa fasilitas yang paling diharapkan anak muda ada di pesantren adalah fasilitas kesehatan (UKS) dengan angka tertinggi sebesar 78,2%. Selain itu, fasilitas MCK yang bersih (66,6%) dan perpustakaan (66,8%) juga menempati posisi penting dalam kebutuhan mereka. Fasilitas modern seperti akses internet gratis (59,4%), lapangan olahraga (58,6%), serta kantin (58,0%) juga cukup tinggi dalam daftar harapan, menandakan bahwa generasi muda menginginkan pesantren yang tidak hanya fokus pada aspek pendidikan agama, tetapi juga mendukung kesehatan, kenyamanan, serta kebutuhan penunjang kehidupan sehari-hari.


(Tabel-2)

Jika dibandingkan berdasarkan wilayah, anak muda di perkotaan (urban) cenderung menuntut fasilitas yang lebih tinggi, terutama pada akses internet (65,1% vs 51,5% rural) dan kebersihan MCK (71,0% vs 60,5% rural). Dari sisi generasi, Millennial sedikit lebih menekankan fasilitas dasar seperti UKS (79,1%) dan MCK bersih (68,6%), sedangkan Gen Z lebih menonjol pada kebutuhan intelektual dan teknologi, seperti perpustakaan (69,7%) dan internet gratis (60,3%). Hal ini memperlihatkan bahwa generasi muda menginginkan pesantren yang lebih modern, higienis, dan sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman.

Temuan menarik lainnya menunjukkan bahwa mayoritas anak muda (79%) menginginkan kombinasi kurikulum pesantren dengan porsi agama lebih besar dibandingkan pelajaran umum. Hal ini menegaskan bahwa pesantren masih dipandang sebagai lembaga pendidikan yang utama dalam memperdalam ilmu agama, namun tetap diharapkan memberikan ruang bagi pengetahuan umum sebagai penunjang. Hanya sebagian kecil responden yang menginginkan hanya belajar agama saja (11,1%) atau kombinasi dengan porsi umum lebih besar daripada agama (9,9%), menandakan bahwa keseimbangan kurikulum tetap menjadi kebutuhan dominan.

Ilmu Umum: Komputer & Ekonomi
Bila dianalisis lebih dalam mengenai ilmu ”umum” yang diharapkan diajarkan di pesantren maka hasil survei memperlihatkan bahwa mayoritas responden mengharapkan ilmu komputer (60,5%) menjadi ilmu umum utama yang diajarkan di pesantren, diikuti dengan ilmu ekonomi & manajemen (56,7%) serta ilmu pengetahuan alam (53,0%). Hal ini menunjukkan bahwa anak muda menilai pentingnya keterampilan digital dan literasi ekonomi sebagai bekal untuk menghadapi tantangan zaman modern. Sementara itu, ilmu kesehatan (48,9%) dan matematika (46,3%) juga dianggap relevan, meskipun berada pada tingkat harapan yang lebih rendah dibanding bidang teknologi dan ekonomi.


(Tabel-3)

Jika ditinjau dari lokasi, responden urban lebih tinggi dalam mengharapkan pengajaran ilmu umum dibanding rural. Misalnya, 65,5% responden urban berharap adanya ilmu komputer, sedangkan rural hanya 53,5%. Pola yang sama terlihat pada bidang ilmu pengetahuan alam (59,2% vs 44,1%) dan sosial-politik (47,1% vs 31,6%). Perbedaan ini bisa mencerminkan kebutuhan dan eksposur anak muda kota yang lebih besar terhadap perkembangan teknologi, ekonomi global, dan isu sosial dibandingkan dengan mereka yang tinggal di pedesaan.

Dari sisi generasi, Gen Z dan Millennial menunjukkan preferensi yang sedikit berbeda. Gen Z lebih menekankan pada ilmu komputer (63,0%) dan ilmu pengetahuan alam (54,3%), sementara Millennial cenderung lebih merata, menempatkan perhatian besar pada ekonomi & manajemen (58,6%) dan matematika (48,1%). Hal ini menunjukkan bahwa Gen Z lebih menyoroti kebutuhan digital dan sains, sedangkan Millennial lebih fokus pada keterampilan ekonomi serta penguatan dasar-dasar keilmuan. Secara keseluruhan, tren ini menegaskan bahwa integrasi ilmu umum ke dalam kurikulum pesantren dipandang penting oleh anak muda agar lulusan pesantren mampu bersaing di era modern tanpa kehilangan akar keagamaannya.

Dengan demikian berbagai temuan riset Alvara tersebut memberikan gambaran bahwa pesantren perlu melakukan penyesuaian strategis agar tetap relevan dengan kebutuhan generasi muda. Awareness tinggi terhadap pesantren besar seperti Gontor dan Tebuireng menunjukkan pentingnya reputasi dan branding, namun pesantren lain perlu meningkatkan eksposur agar dikenal lebih luas. Selain itu, harapan besar terhadap fasilitas kesehatan, kebersihan, dan teknologi digital menandakan bahwa kualitas lingkungan belajar kini menjadi faktor penentu dalam menarik minat santri baru. Pesantren yang mampu memenuhi kebutuhan dasar sekaligus menyediakan sarana modern akan lebih mudah diterima oleh generasi muda, baik di perkotaan maupun pedesaan.

Dari sisi kurikulum, mayoritas anak muda menghendaki kombinasi ilmu agama dan umum, dengan porsi agama lebih dominan namun tetap terintegrasi dengan ilmu modern seperti komputer, ekonomi, dan sains. Perbedaan preferensi antara Gen Z dan Millennial juga menjadi catatan penting: Gen Z cenderung menekankan kebutuhan digital dan fleksibilitas kurikulum, sementara Millennial lebih menekankan keseimbangan dengan keterampilan ekonomi dan manajemen. Hal ini mengimplikasikan bahwa pesantren tidak bisa lagi hanya berfokus pada ilmu agama semata, tetapi perlu memperkuat relevansi pendidikan umum agar lulusannya siap menghadapi tantangan global. Dengan demikian, pesantren dapat bertransformasi menjadi lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga mempersiapkan generasi yang adaptif dan berdaya saing. (*)