Home » Kebenaran Sejarah Pertempuran 10 November, Tiga Santri Tewaskan Mallaby?
opini PEMERINTAHAN & POLITIK PERISTIWA TOKOH

Kebenaran Sejarah Pertempuran 10 November, Tiga Santri Tewaskan Mallaby?

RIADI NGASIRAN

Nahdliyin Journalist cum historian. Penulis Buku ”Kesabaran Revolusioner Djohan Sjahroezah: Pejuang Kemerdekaan Bawah Tanah” (Penerbit Buku Kompas, 2015).

Sejarah adalah fakta kejadian di masa lalu, yang bisa dihadirkan secara aktual di masa kini. Salah satunya melalui film dokumenter dan film cerita berdasar perjalanan hidup seorang tokoh atau momentum penting dalam sejarah.

Persoalan muncul ketika penyusunan naskah skenario dari film cerita tersebut tidak cermat dalam menonjolkan peran tokoh, bahkan nama tokoh, dalam satu fragmen kejadian penting. Penyebutan nama tokoh yang belum terjelaskan dalam kajian sejarah menjadi makin pelik ketika si sutradara film berlantar belakang sejarah dimaksud, makin menjadikan kekaburan di mata masyarakat.

Kasus dalam film berjudul Sang Kiai, yang mengangkat perjuangan Hadlratussyaikh Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari. Tokoh utama film ini diperankan Ikranegara, seorang dramawan yang piawai berseni peran. Juga, Christine Hakim, yang memerankan istri Kiai Hasyim Asy’ari.

Kasus yang saya maksudkan adalah pada saat adegan terbunuhnya Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. Dalam film itu disebut nama ”Harun”sebagai pelaku tewasnya sang jenderal Inggris, yang memimpin pasukan Sekutu karena menang Perang Dunia II.

Benarkah Harun? Dalam kajian sejarah perang di Surabaya, masalah ini masih jadi perdebatan sengit. Daripada berspekulasi soal nama pembunuh Mallaby — termasuk juga siapa sesungguhnya pelaku perobekan bendera Merah-Putih-Biru di Hotel Yamato—para pelaku dan penulis sejarah sepakat untuk menyebut pelakunya sebagai ”Arek-arek Surabaya”.

Alasannya, fakta dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sekaligus penolakan kehadiran Pasukan Sekutu (AFNEI) bersama tentara Gurkha, yang diboncengi tentara Belanda (NICA), yang menjadi korbannya banyak dari kalangan rakyat dan santri yang tak dikenal namanya.

Daripada menimbulkan pemahlawanan seorang atau dua orang, lebih baik disikapi dengan bijaksana tanpa menyebut nama persona melainkan dengan sebutan umum ”Arek-Arek Suroboyo” saja.

Lalu bagaimana dengan soal nama ”Harun”?

Saya mencatat ada kelucuan ketika seorang kiai di Jawa Timur benar-benar percaya akan pelaku dalam film Sang Kiai itu. Bahkan, ada di antara kiai pesantren di Madiun yang mengaku selama menjelang peringatan Hari Santri sejak 1015, yang mengambil momentum dicetuskannya Resolusi Jihad NU – selalu berkirim doa untuk si ”Harun” itu. Demikian pula dalam diskusi tentang perjuangan ulama di satu pesantren terkemuka di Surabaya, ada yang dengan ”percaya diri’ dan penuh yakin, pelaku tewasnya Jenderal Mallaby adalah ”Harun”.

Masalah inilah yang perlu saya jelaskan, berdasar data sejarah perjuangan ulama pesantren sekitar perang di Surabaya – berpuncak pada 10 November 1945 hingga kemudian disebut sebagai Hari Pahlawan itu.

Memoar Perjuangan Kiai Achyat Chalimi

Isykariman aumut syahidan.(Hidup mulia atau mati syahid).

Hubbul wathoni minal iiman(Membela Tanah Air adalah bagian dari iman).

Kata-kata di atas telah tertanam di setiap individu para santri. Di masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949), semangat nasionalisme yang telah tertanam di pesantren, mempunyai momentum yang tepat untuk dimanifestasikan.

Setiap pribadi santri terpanggil untuk terjun ke kancah perang. Demikian kesaksian KH Sholeh Qosim (2011), yang kemudian Pengasuh Pesantren Bahauddin, Ngelom Sepanjang Sidoarjo.

Apalagi setelah mendengar adanya Fatwa Jihad dari Hadlaratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Fatwa inilah kemudian diformulasikan secara resmi sebagai keputusan Hoodfbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) dengan Resolusi Jihad Fii Sabilillah tertanggal 22 Oktober 1945 – ditandatangani KH M. Dahlan atas nama PBNU.

Dengan Resolusi Jihad tersebut menjadi pemicu lahirnya pejuang-pejuang Islam. Pesantren-pesantren Tebuireng Jombang, Lirboyo Kediri, Zainul Hasan Genggong Probolinggo, Besuk Pasuruan, dan sejumlah pesantren lainnya menjadi konsentrasi massa pejuang Islam menuju kota Surabaya.

Dalam perang 10 November 1945 tidak ada panglimanya secara formal. Bila ada yang mempersoalkannya, bisa dijawab: ”Panglimanya ya Resolusi Jihad Fii Sabilillah yang dikeluarkan Nahdlatul Ulama itu”.

Sebagai panglima perang di zaman Revolusi Kemerdekaan Indonesia, Resolusi Jihad disambut seluruh kalangan umat Islam di Indonesia. Bukan hanya dari kalangan pesantren, atau lebih khusus warga NU semata. Melainkan juga seluruh kelompok Islam di Indonesia, mulai dari Aceh hingga ke Maluku. Terbukti dari pengakuan kongres umat Islam di Yogyakarta pada 9 November 1945, yang mendeklarasikan dukungan Fatwa Jihad dari Kiai Hasyim Asy’ari.

Dalam penelusuran data sejarah yang dilakukan Tim Kerja Monumen Resolusi Jihad Fii Sabilillah Nahdlatul Ulama, Surabaya, terungkap adanya data yang menyebutkan adanya peran santri dalam peristiwa tewasnya A.W.S. Mallaby.

Pada 2010, saya (Riadi, Penulis) kebetulan ditugasi menjadi Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Surabaya, di antara amanahnya adalah mewujudkan cita-cita para kiai untuk mendirikan Monumen Resolusi Jihad di Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya, tempat dicetuskannya sikap NU di masa Revolusi Indonesia (1945-1949) itu. Kini, lokasi tersebut menjadi kantor PCNU Kota Surabaya.

Memang, sejauh ini kerap ada pertanyaan siapakah pejuang Indonesia yang menewaskan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. Tentu saja beberapa pelaku perjuangan saat itu banyak yang tahu jawabnya. Dan tidak mau menguraikan apa pendapatnya, lebih-lebih dalam bentuk tulisan. Saya mendapat jawaban tersebut dari Suparto Brata, penulis Sejarah Perang 10 November 1945 di Surabaya.

Terkait penggalian informasi yang dilakukan Lesbumi NU Surabaya, berhasil menemukan dokumen penting. Dalam sebuah memoar wasiat perjuangan KH Achyat Chalimy tersimpan di Perpustakaan Pesantren Tebuireng Jombang disebutkan penjelasan soal terbunuhnya Jenderal Mallaby. Risalah itu berjudul ”Ikut Terlibatnya KH Achyat Chalimy secara langsung dalam Perjuangan merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI di Daerah Mojokerto dan sekitarnya”, setebal 6 halaman, ditulis Zainal Machmud, tertanggal 28 Januari 1986, ditandatangani langsung KH Achyat Chalimy.

Dari wasiat perjuangan itu disebutkan:

”KH Dachlan Abdul Qohhar (Mojokerto, dimakamkan di Kertosono), KH Mas Achmad Zahid (Pondok Pesantren Besuk Pasuruan), dan KH Mustofa Kamil (Garut, Jawa Barat), mukim bertahun-tahun di Makkah. Mereka adalah santri Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. Ketiganya mendapat ilmu dari seorang guru Sayyid Bahrum di Makkah, dikaruniai maziyyah (keistimewaan, ilmu linuwih) oleh Allah Swt – yang memang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu Allah memberikannya.

Pada waktu pecah pertempuran 10 Nopember 1945, ketiga kiai tersebut dan dibantu oleh seorang yang pandai bahasa Belanda ikut melibatkan diri dalam pertempuran sehingga mereka berhasil membunuh Jenderal MALLABY yang peristiwa pembunuhan itu sangat tertutup. Sedang sejarah pertempurannya diabadikan oleh bangsa dan Negara sebagai HARI PAHLAWAN.

Ketiganya berperan agar pembunuhan yang dilakukan itu, tidak dibuka kepada siapa pun selama mereka masih hidup. Kini ketiga kiai tersebut telah pulang kembali ke rahmatullah.

Oleh karena itu, maka KH Achyat Chalimy membentangkan peristiwa pembunuhan tersebut, semata-mata agar anak cucu memaklumi sejarah, perjuangan dan jasa mereka.

Kebenaran sejarah tidaklah mutlak. Karena itu, penulisan sejarah bisa dikoreksi dan mendapat tambahan dengan munculnya data baru”.

Begitulah bunyi wasiat perjuangan Kiai Achyat Chalimi, pimpinan Barisan Hizbullah yang kemudian menjadi Rais Syuriah PCNU Mojokerto. Atas temuan data tersebut, memang masih membutuhkan verifikasi dan penelitian lebih lanjut. Dokumen seperti ini, bagi saya, bisa menjadi salah satu sumber penulisan sejarah ke depan.

Sekalipun demikian, perlu dilakukan kritik sumber karena dokumen tersebut bersifat subjektif. Tak banyak yang tahu kejadian atau peristiwa yang bisa dikonfrontasi dengan sumber sejarah lainnya yang sezaman.

Peristiwa tewasnya Mallaby, terjadi pada 30 Oktober 1945, petang hari. Keesokan harinya dikabarkan, Brigadir Jenderal Mallaby hilang. Maksudnya tak kembali ke markasnya.

Oleh para pemimpin Indonesia  dikatakan vermist. Istilah Belanda itu artinya hilang. Sedangkan pihak Inggris sudah memastikan, Mallaby killed, meskipun pada kenyataannya mereka tidak menemukan mayat Mallaby. Killed artinya bisa tewas, bisa terbunuh.

Kepastian berita itu tentulah gara-gara laporan Kapten R. C. Smith, pengawal Mallaby waktu di Internatio, berhasil menyelamatkan diri dan menghubungi markasnya di pelabuhan, lima jam setelah peristiwa di Jembatan Merah. Ia melaporkan bahwa Mallaby ditembak oleh orang-orang Indonesia bersenjata. Letnan Jendral Christison pada 31 Oktober 1945 menuduh bahwa Mallaby was foully murdered.

Bagi awam, hingga kini tentang kematian Mallaby merupakan misteri.

Wallahu a’lam.

(rng/snm)