Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa, Gus Yahya Sampaikan Rekontekstualisasi Ajaran Islam

Yogyakarta, Jurnal9.tv – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, KH Yahya Kholil Staquf dianugerahi gelar doktor honoris causa dari UIN Sunan Kalijaga pada senin (13/02/2023). Dalam pidato ilmiahnya, beliau juga menyisipkan humor Gus Dur.

Gus Yahya (panggilan KH Yahya Kholil Staquf) menceritakan bahwa Gus Dur suatu kali pernah mengatakan “ada dua orang yang baru bisa lulus apabila kampusnya dibakar. Yang pertama kholil Staquf dan yang kedua Syaifullahh Yusuf”. Sontak semua hadirin tertawa mendengar hal tersebut.

Gus Yahya melanjutkan “dan entah kenapa Syaifullah Yusuf ini bisa selamat. Bisa lulus tanpa membakar kampus. Sedangkan saya sekarang diberi gelar oleh UIN Sunan Kalijaga. Itu berarti, sebetulnya di satu sisi UIN telah menyelamatkan UGM dari kebakaran”. Sontak saja humor tersebut menimbulkan gelak tawa hadirin.

Selain humor tersebut, pidato ilmiah Gus Yahya sebenarnya membahas mengenai rekontekstualisasi ajaran Islam pada tatanan dunia yang baru. Pidato ini terbagi ke dalam lima bagian.

Gus Yahya menyinggung konflik atas agama yang masih marak terjadi di berbagai belahan dunia. Upaya penyelesaian yang dilakukan masih belum mampu menyelesaikan permasalahan ini. Gus Yahya juga menceritakan refleksi historis kondisi politik masa lalu, perang dunia, pembentukan PBB, serta perkembangan dinamika internasional akibat ketegangan politik militer yang terus memuncak. Beliau mengingatkan apabila permasalahan terkait pencegahan konflik global tidak segera menemukan jawaban yang meyakinkan, maka masa depan umat manusia sebagai penduduk bumi sungguh terancam.

Adanya perang dunia telah menggeser peta politik dunia berdasar identitas komunal seperti keagamaan yang sudah mapan selama ratusan tahun. kemudian lahirlah konfigurasi politik global yang baru. Perubahan ini melahirkan wajah baru peradaban umat manusia. Ada empat perubahan mendasar, yaitu:

  • Perubahan tatanan politik internasional. Pada masa lalu, identitas agama yang hampir selalu melekat pada setiap kerajaan. Namun sekarang, sebagian besar negara melepaskan identitas agama dan mengganti dengan identitas nasional. Pada masa kini, dengan adanya rezim internasional, perbatasan wilayah negara menjadi lebih terjamin.
  • Perubahan demografi dan kewargaan. Migrasi yang terjadi menjadikan potret demografis saat ini yang sangat heterogen di berbagai kawasan. Hal ini berbeda dengan kondisi masa lalu di mana setiap negara menggunakan identitas agama. Penduduk yang memeluk agama berbeda cenderung dipersekusi atau dianggap warga kelas dua.
  • Perubahan pada standar norma-norma. Praktik  pengabaian sebagian hak-hak kemanusiaan seperti perbudakan, penjajahan, diskriminasi, kini secara umum dipandang buruk dalam norma keadaban.
  • Globalisasi yang didorong interaksi ekonomi dan teknologi telah menjadikan batas-batas fisik menjadi kurang relevan dalam dinamika sosial.

Posisi Agama-Agama dan Tanggapan Islam Terhadap Tata Dunia Baru

Pasca perang dunia kedua, posisi normatif agama masih tetap pada posisi mereka pada peradaban lama. Sehingga tendensi dasar agama yaitu ekspansionisme dan kompetensi supremasi berbenturan dengan kepentingan masyarakat internasional untuk mencegah konflik. Dan yang keempat adalah pandangan menyangkut penyikapan terhadap konflik yang melibatkan kelompok dari umat Islam.

Kehidupan kolektif umat Islam dikerangkai oleh model politik yang hampir tetap dan tanpa perubahan yang berarti selama 13 abad.  Ini berlangsunng sejak rasulullah SAW berhasil menciptakan tatanan sosial politik bagi masyarakat Madinah sampai dengan runtuhnya Turki Utsmani. Maka dari itu, ketika muncul konstruksi politik baru, ortodoksi syariat tidak dapat menyesuaikan diri secara seirama dengan perubahan-perubahan yang terjadi.

Pada dasarnya, di tengah realitas global ini, Islam menghadapi dua pilihan. Pertama, kembali kepada wawasan syariat lama atau kedua, mengembangkan wawasan baru.

Upaya memaksakan mendaulat al imamah al uzhma atau khilafah di tengah keragaman sistem politik  yang sudah mapan malah akan menimbulkan kekacauan yang lebih besar. Hal ini karena negara-negara tempat umat Islam tinggal dipaksa bubar. Maka dari itu, kembali kepada wawasan lama membawa konsekuensi yang bertentangan dengan maqashid asy syariyah untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Maka dari itu, cita-cita untuk menyatukan umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia harus diganti dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat. Cara yang paling manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia adalah dengan memperkuat Kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia serta mengakui persaudaraan seluruh manusia. (swp/snm)