Peneliti Puskelogis Uinsa : 9 Tahun Jabatan Kades adalah Kepentingan Elite Desa Bukan Aspirasi Warga

Surabaya, Jurnal9.tv – Perdebatan terhadap tuntutan sejumlah kepala desa yang meminta penambahan Masa Jabatan Kepala Desa terus bergulir. Pada 16 Januari lalu, ribuan kepala desa melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR Jakarta untuk meminta jabatannya diperpanjang menjadi 9 tahun, yang semula 6 tahun dengan 3 batas periode jabatan.

Jurnalis TV9 mencoba mendalami isu tersebut dengan mendatangi sejumlah tokoh kompeten untuk mendapatkan pandangan yang utuh, yaitu Peneliti Pemerintahan Desa Dr. Riza Multazam Luthfy di Surabaya, Kamis0 (25/01/2023).

Dr. Riza Multazam Luthfy menganggap 6 tahun masa jabatan kepala desa dengan 3 periode sudah sangat cukup, bahkan melebihi jabatan publik lainnya setingkat Gubernur hingga Presiden. Jika dibiarkan bertambah, potensi penyalahgunaan kekuasaan akan semakin besar.

“Penyalahgunaan kekuasaan itu semakin besar apabila masa jabatannya juga semakin panjang. Sudah cukup sebenarnya UU No 6 tahun 2014 yang mengatur bahwa masa jabatan kepala desa itu 6 tahun dan bisa menjabat 3 periode, itu lebih dari cukup melebihi jabatan publik lainnya bahkan Gubernur hingga Presiden. Artinya kalau ditambah, potensi penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan semakin besar,” ungkapnya.

Sejumlah pihak menganggap aspirasi itu kepentingan para elite lokal desa dan bukan berasal dari kepentingan maupun kebutuhan masyakat banyak.  Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) kasus Korupsi terbanyak terjadi di sektor Anggaran Dana Desa sebanyak 154 kasus pada tahun 2021 dengan total kerugian 233 Miliar dan kembali meningkat di tahun 2022.

Peneliti Pemerintahan Desa dari PUSKELOGIS Universitas Islam Negeri  Sunan Ampel Surabaya ini juga mengajak para pakar dan akademisi untuk turut bersuara memberikan edukasi kepada masyarakat mengingat sejauh ini ruang publik diisi oleh Opini elite politik dengan kepentingannya masing-masing yang dapat membelenggu sikap kritis masyarakat untuk ikut bergerak

“Ruang diskusi ini harus diperlebar agar semakin terbuka pemahaman publik, kalau selama ini dosen atau akademisi melalui pembelajaran di kelas atau Jurnal, para pakar dan akademisi kita harap ikut serta memberikan pandangan sebagai edukasi agar masyarakat bisa bersikap juga,” ajaknya.

“Selama ini opini publik kita sudah dikuasasi oleh para elite jangan sampai itu kemudian dianggap sebuah kebenaran mutlak dan membelenggu kreatifitas Masyarakat, agar kita juga bisa mencermati lebih kritis,” sambungnya.

Dirinya juga menganggap, aspirasi perpanjangan masa jabatan kepala desa ini merupakan aspirasi elite desa bukan aspirasi warga yang berpeluang besar terjadinya dinasi politik lokal.  Kontitusi telah mengatur Pembatasan masa jabatan karena belajar pada sejarah di masa Orde Baru yang berdampak buruk pada demokrasi dan kesejahteraan.

 “Ini sebenarnya aspirasi elite Lokal bukan aspirasi masyarakat. Potensi dinasti politik juga sangat besar apabila jabatan kepala desa diperpanjang. Kita telah belajar pada sejarah bahwa dinasti politik itu kan sejak orde baru luar biasa dampak negatifnya, makanya kemudian muncullah aturan pembatasan kekuasaan jabatan publik hingga akar rumput,” ungkap Riza.

Dirinya juga menyinggung berkaitan dengan pembangunan nasional yang banyak terfokus kepada Desa sehingga dianggap sexi dan strategis, terlebih kaitannya dengan kepentingan menjelang tahun politik 2024, yang syarat dengan kepentingan untuk ditunggangi pihak tertentu.

“Kita tahu Pembangunan Nasional saat ini banyak terfokus pada Desa melalui banyaknya proyek dari berbagai Kementerian. Oleh karenanya Desa itu sangat Sexi, karena dinilai sangat strategis dan jangan sampai dimanfaatkan oleh elite politik tertentu apalagi ini menjelang tahun politik 2024,” tutupnya. (zen/snm)