OPINI  

Penataan Ulang Perilaku Elit untuk Menangkap Keresahan Rakyat

Tri Chandra Aprianto, Dosen Sejarah Universitas Jember  

Akhir Agustus lalu berlangsung demontrasi di satu sisi dan serangkaian amok yang berlangsung, belum bisa dianggap berakhir. Selain terdapat korban, sebagian aktifisnya masih ditahan sampai sekarang. Perdebatan mengenai peristiwa tersebut masih terus direproduksi di berbagai media sosial. Bahkan beberapa pengamat mengingatkan, jika pemerintah gagal menangkap akar masalahnya, kejadian tersebut akan berulang. Satu kejadian yang tidak saja berlangsung rusuh dengan membakar fasilitas umum, tapi juga penjarahan rumah elit, beberapa anggota DPR RI dan Menteri.

Belajar dari masa lalu
Terlepas dari tuduhan ada yang ikut bermain dalam peristiwa amok tersebut, namun ada keresahan rakyat atas beban ekonomi yang semakin berat, kesenjangan pendapatan yang nyata ditambah perilaku elit yang menjemukan sudah berlangsung lama. Ini yang menjadi tuntutan utama dari kalangan aktifis gerakan sosial dan mahasiswa untuk segera diperbaiki, ketimbang negara mencari kambing hitam atas peristiwa.

Menelisik dari peristiwa sejarah keresahan rakyat yang pernah berlangsung dalam masa peralihan dari kolonial ke nasional, yang direkam oleh Anton Lukas, dalam buku “Peristiwa Tiga Daerah; Revolusi dalam Revolusi (1989). Sebelum berlangsung perlawanan kaum komunis (1926), telah banyak terdengar keluhan yang menyangkut ketidakpuasan rakyat mengenai gaji dan keadaan kerja di perkebunan Eropa serta kecilnya kesempatan untuk mendapatkan Pendidikan yang layak. Menurut Lucas berbagai keluhan rakyat tersebut berkelindan dengan tuntutan aktifis gerakan sosial (Sarekat Islam) yang aktif menyerang diskriminasi antara priayi dan rakyat. Akibatnya keresahan rakyat semakin meluas dan terus berkembang. Keresahan semakin berkembang manakala Jepang berkuasa dan menggunakan kaum elit birokrat dan tokoh-tokoh rakyat untuk memberatkan rakyat. Jurang perbedaan antara rakyat dengan para pemimpinnya semakin tebal, dan menimbulkan rasa dendam yang meledak sejak agustus 1945.
Jatuhnya kekuasaan Kolonial Belanda, pangreh praja yang selama ini bekerja di pemerintahan bagaikan kehilangan tulang punggung kekuasaannya.

Mereka adalah bagian dari birokrasi yang mengabdi pada pemerintahan kolonial. Suasana gaduh yang terjadi dimana-mana bercampur dendam sosial rakyat terhadap situasi nikmat yang diterima para pangreh praja. Penjarahan yang berbasis rasial, pangreh praja tidak bisa berbuat banyak. Kediaman para priayi, sebagai elit yang dianggap korup dan melukai hati rakyat diserang seperti rumah Kepala Jawatan Perikanan dan Wedana Pemalang, Wijoga Puspojudo. Perabotan rumahnya dikumpulkan di luar, lalu dibakar.

Kemarahan rakyat di Tegal juga tidak terkendali. Massa rakyat berbondong-bondong mendatangi kantor Bupati, Sunarjo, lalu mengobrak-abrik isi rumah. Pakaian kebesaran Bupati dilempar keluar rumah. Karena Bupati tidak di tempat, istri dan mertuanya RA Kardinah (kakak kandung RA Kartini) beserta pembantunya dipaksa berpakaian dari goni dan diarak keliling kota. Lagi-lagi pangreh praja tidak berdaya, karena sebelumnya hanya mengabdi pada elit kekuasaan yang memberinya berbagai fasilitas.

Belajar dari situ, kegagalan menangkap keresahan rakyat akibat kebijakan negara, tidak perlu lagi terjadi. Dibutuhkan deteksi sejak dini, dan agenda paling penting adalah penataan ulang perilaku elit yang perilakunya menyakitkan rakyat.

Penataan ulang perilaku
Inti permasalahan tuntutan dari kalangan aktifis Gerakan Sosial dan mahasiswa yang menyertai gerakan akhir Agustus kemarin adalah penataan atas perilaku elit. Bukan semata penataan ulang struktur dari segi regulasi semata. Dibutuhkan elit memiliki akuntabilitas dan profesionalitas dalam rangka menciptakan elit politik yang berintegritas dan dipercaya publik.
Berangkat dari sini upaya penataan ulang ini harus dipimpin langsung oleh pimpinan tertinggi, dalam hal ini Presiden. Memang Presiden sudah berencana membentuk komite Reformasi Kepolisian, sebagai satu contohnya. Harapan rakyat tidak berhenti pada sebatas penataan regulasi baru, tapi perilaku yang menyeluruh, tidak saja terkait tentang kepolisian tapi juga perilaku elit secara keseluruhan.

Karenanya dibutuhkan pertama tindakan tegas dari Presiden untuk bener-benar memimpin proses penataan ulang atas perilaku elit ini. Ini sangat penting dalam rangka penataan yang benar-benar mendasar, tidak semata perubahan strukturnya, tapi juga kulturnya yang selama ini menyakiti hati rakyat akibat kenikmatan yang diterima. Kedua, Presiden memastikan berjalannya tim penataan secara optimal, adanya pengawasan atas pelaksanaan, dan menjelaskan progresnya pada publik yang lebih luas. Ketiga, menghindari cara negosiasi elit dalam rangka untuk tidak mengurangi kenikmatan yang selama ini telah diterima.

Kecenderungan elit adalah menegosiasikan kenikmatan yang selama ini mereka peroleh dengan harapan tidak ada pengurangan atas hal itu. Termasuk mencari kambing hitam atas peristiwa akhir Agustus adalah cara elit untuk melakukan negosiasi terhadap rakyatnya. Apa yang dilakukan oleh Kapolri sekarang dengan membetuk tim reformasi kepolisian internal adalah proses negosiasi tersebut. Jika hal ini tidak dihindari dapat dipastikan penyelenggara negara akan mengalami kegagalan menangkap keresahan rakyat, maka hukum sejarah akan berkata, revolusi sosial akan berulang.