Bayangkan Anda punya rekening bank — kecil, pasif, hanya sesekali digunakan. Lalu, tiba-tiba Anda tak bisa mengaksesnya. Tanpa pemberitahuan, tanpa proses. Rupanya rekening itu diblokir. Bukan karena kejahatan, bukan karena pencucian uang, tapi karena nganggur tiga bulan. Inilah praktik yang sedang gencar dilakukan oleh PPATK, lembaga intelijen keuangan Negara itu, melangkah ke wilayah paling privat warga negara: dompet digital.
Negara Hanya Boleh Mengatur, Bukan Merampas
Pada prinsipnya, dalam hukum keperdataan, hubungan nasabah dan bank adalah hubungan kontraktual yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Rekening adalah hak milik, bukan instrumen negara. Maka, pemblokiran tanpa dasar hukum dan tanpa proses hukum merupakan bentuk intervensi negara yang bertentangan dengan prinsip negara hukum.
Disamping itu, Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas hak milik pribadi dan hak itu tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang.” Konstitusi dengan ini tidak memberi celah kepada siapapun untuk mematikan akses terhadap hak milik pribadi tanpa pembuktian hukum.
Dalam konteks ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memang memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dimana PPTK berwenang untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana.
Perlu digarisbawahi, persyaratan dari kewenangan PPATK itu adalah adanya indikasi yang kuat: “diketahui atau patut diduga” sebagai hasil kejahatan. Konstruksi norma ini menegaskan bahwa pemblokiran harus berbasis pada dugaan adanya tindak pidana, misalkan pencucian uang, terorisme atau yang sekarang lagi marak seperti judi online.
Jika tidak ada indikator kejahatan, maka kebijakan membekukan rekening hanya karena “tidak aktif” selama tiga bulan adalah bentuk penyimpangan kewenangan. Pertanyaannya: apakah rekening dormant (rekening pasif, tidak digunakan selama beberapa bulan) otomatis bisa dianggap sebagai bagian dari skema kejahatan?
Pemblokiran massal tanpa indikator tindak pidana berpotensi memperlakukan seluruh warga negara sebagai “tersangka”— satu watak negara yang sangat kontradiktif dengan cita negara demokrasi konstitusional. Dalam doktrin rule of law, semua tindakan pemerintah yang membatasi hak sipil, apalagi yang menyangkut hak milik dan akses terhadap uang pribadi, harus melalui dasar hukum yang pasti.
Tindakan PPATK ini didasarkan atas dugaan maraknya penyalahgunaan rekening dormant untuk menampung dana hasil tindak pidana sebagai rekening penampungan. Selain itu, dalam Siaran Pers tanggal 29 Juli, PPATK mengklaim bahwa ada 1 juta rekening yang diduga terlibat tindak pidana, dimana 150 ribu rekening adalah nominee dan 50 ribu rekening tidak ada aktifitas transaksi. Ditemukan juga Rp. 2,1 triliun dana bantuan sosial dari 10 juta rekening hanya mengendap dan tidak pernah dipakai lebih dari 3 tahun. Selain itu, PPATK menyatakan lebih dari 2.000 rekening milik pemerintah juga dormant.
Bahwa 150 ribu rekening nominee diduga digunakan untuk kejahatan tidak bisa dijadikan dasar generalisasi terhadap seluruh rekening dormant. Dari 1 juta rekening dormant, hanya sebagian yang bermasalah. Maka tidak boleh PPATK megeneralisasi seluruh rekening pasif sebagai potensi tindak pidana.
Disamping itu, PPATK semestinya membedakan secara tegas antara rekening negara yang memang wajib aktif, transparan, dan akuntabel, dengan rekening warga negara yang merupakan hak privat. Negara bisa mengatur jalannya keuangan publik, tetapi tidak bisa memaksa warga untuk terus “menghidupkan” rekening pribadinya. Menyimpan uang dalam rekening pasif bukanlah kejahatan. Ia adalah bentuk kebebasan sipil yang tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Pemblokiran Tanpa Dasar, Harus Bisa Digugat Ke Praperadilan
Kita tentu sepakat bahwa negara wajib melindungi sistem keuangan nasional dari ancaman kejahatan seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, judi online dan tindak pidana lainnya. Dalam konteks itu, lembaga seperti PPATK menjadi ujung tombak deteksi dini. Namun, kewenangan yang dimilikinya tak boleh menjelma menjadi alat represif yang membungkam hak ekonomi warga.
Pemblokiran rekening—apapun alasannya—harus didasarkan pada hasil analisis intelijen keuangan yang menunjukkan indikasi kuat bahwa rekening tersebut terlibat dalam aktivitas mencurigakan. Pasal 36A huruf c Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, menerangkan bahwa OJK berwenang memerintahkan Bank untuk melakukan pemblokiran rekening tertentu.
Di sisi lain, dalam Pasal 1 angka 8 POJK Nomor 8 Tahun 2023, pemblokiran rekening harus didasarkan pada dugaan atas Tindak Pidana Pencucian Uang, Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal.
Jika tidak ditemukan bukti yang konkret, maka tindakan pemblokiran dapat digolongkan sebagai pembatasan hak secara sepihak (abuse of power). Hal itu dapat dipahami sebab tindakan pemblokiran rekening merupakan pembatasan hak warga negara, ini menyerupai penyadapan, penangkapan, atau penyitaan—semuanya merupakan upaya paksa negara yang berdampak langsung pada hak asasi warga negara.
Meskipun PPATK menyebut kebijakan ini sebagai “penghentian sementara”, langkah ini tetap merupakan pembatasan hak kepemilikan, Pemblokiran (sementara atau tetap) merupakan pembatasan hak milik warga negara.
Dalam sistem hukum kita, semua bentuk pembatasan hak semacam itu apabila tanpa dasar hukum yang sah bisa ditafsirkan sebagai pelanggaran atas hak milik pribadi warga negara. Dan karena itu, seharusnya pemblokiran rekening secara sewenang-wenang dan tanpa dasar yang sah, bisa diuji secara hukum melalui mekanisme praperadilan.
Dalam kerangka pembaruan sistem peradilan pidana nasional, pemblokiran semacam ini seharusnya menjadi bagian dari bahan diskusi yang serius dalam Revisi RUU KUHAP. Kita butuh mekanisme kontrol yudisial atas tindakan-tindakan administratif negara yang berdampak langsung pada hak dasar warga. Negara memang mempunyai kuasa, tapi kekuasaan harus dibatasi oleh hukum.
Penutup: Ketika Rekening Diam, Negara Malah Berisik
Kita hidup di negara hukum, bukan negara kecurigaan. Negara boleh mencurigai, tapi tak boleh menuduh tanpa dasar. Negara boleh mengawasi, tapi tidak boleh menindas.
Pemblokiran rekening nganggur, ditengah wacana negara dapat menyita tanah yang menganggur 2 tahun ini memunculkan sebuah pertanyaan, lalu bagaimana nasib warga negara yang “dibiarkan” menganggur? Di sinilah tampak absurditas pendekatan negara yang lebih fokus pada “data diam” ketimbang “manusia yang hidup”. Negara begitu reaktif terhadap akun yang tak bergerak, tetapi pasif terhadap nasib rakyat yang tak bisa bergerak (menganggur). Bagaiaman menurut anda?