Pakar Hukum : Vonis Ringan Richard Eliezer Bisa Jadi Alasannya Kembali Menjadi Anggota Polri

Surabaya, Jurnal9.tv. Putusan ringan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Richard Eliezer tidak lepas karena perannya sebagai Justice Colaborator (JC). Selain itu, DR Hufron SH, MH, pakar hukum  pidana di Surabaya menilai Majelis Hakim menghayati dan mempertimbangkan sosial justice atau keadilan masyakarat.

Hufron menilai,  Majelis Hakim mengacu  Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman nomer 48 tahun 2009,  bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan  yang hidup di masyarakat.

“Jadi rupanya Hakim lebih menghayati amanah pasal 5 ayat 1 tadi yang hidup di masyarakat, yang disebut sebagai sosial justice atau keadilan publik,” ungkap Guru Besar Hukum di Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya ini.

Menurut Hufron,  dari pertimbangan yang dibaca Hakim itu yang memvonis 1,5 tahun pada Eliezer karena 5 hal. Pertama,  Richard Eliezer sebagai Justice Collaborator ( JC), dia masih muda, belum pernah dihukum, dia menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi, serta dia sudah meminta maaf kepada keluarga Joshua, dan keluarga memaafkannya.

“Jadi ada lima alasan kenapa hakim memutus ringan,  meskipun dia pelaku pembunuhan, tetapi lebih ringan dari tuntuan jaksa. Dan itu menurut saya sangat progresif dan fenomenal.  Putusan itu  mengedapankan aspek keadilan sosial atau public,” ujar Hufron.

Dengan adanya putusan ringan dari Majelis Hakim ini, bisa jadi Eliezer jika dia sudah di sidang Kode Etik Kepolisian dan apabila putusannya diberhentikan tidak hormat apakah bisa menjadi anggota Polri lagi?

Hufron menyebutkan,  sidang  etik itu pada intinya terkait adanya  dugaan  pelanggaran kode etik dan  kode disipilin. Tentu kalau  sidang kode etik berbeda dengan sidang  Pidana yang melanggar hukum pidana.

“Sebenarnya sidang kode etik ini bisa disidangkan secara pararel bersamaan dengan sidang Hukum Pidana karena ujungnya keputusannya itu berbeda. Kalau di Sidang Pidana putusannya penjara, tetapi sidang kode etik itu keputusannya maksimal diberhentikan dengan tidak hormat,  diberhentikan dengan hormat, atau saksi etik terhadap bersangkutan seperti tidak dapat kenaikan pangkat ,” jelas Hufron.

“Kalau sidang kode etik itu bisa banding, Kalau putusannya memberatkan yang bersangkutan bisa banding. Kalau keputusannya ringan, bisa jadi putusannya bisa dianulir. Karena putusan  lebih ringan mungkin dia bisa kembali menjadi  anggota Polri, seiring putusannya lebih ringan, tapi kalau putusannya berat dan diberhentikan tidak hormat  mungkin saja tidak bisa kembali. Kecuali tidak menjadi anggota kepolisian,  namun bisa yang bersifat administratif,” pungkasnya. (ahs/snm)